Sabtu, 05 Agustus 2017

Almost is Enough

Nggak, lo nggak salah baca, gue memang nulis judul artikel gue kali ini Almost is Enough, bukan Almost is Never Enough kayak judul lagu. Gue butuh dua kali traveling sampai rasanya gue benar-benar terpikir untuk membagikan pengalaman ini buat teman-teman yang baca.

Dalam perjalanan gue sampai ke titik ini, gue nggak selalu dapat apa yang gue mau. Saat ini, gue bisa bernapas lega dan tersenyum kalau mengingat momen-momen “hampir-berhasil” itu.

Gue hampir menjadi finalis Abang None Jakarta Timur pada tahun 2012, gue berhasil sampai ke babak 18 besar, dan tinggal satu tahap lagi menjadi finalis 15 besar. Gue hampir masuk ke SMA yang gue inginkan. Di SMA itu, sahabat-sahabat gue dari TK sampai SMP berada. Maka waktu tes masuknya menyatakan gue nggak berhasil masuk ke SMA tersebut, rasanya dunia jatuh ke atas kepala gue. Tujuh kali gue ditolak penerbit buku sebelum akhirnya buku pertama gue berhasil diterbitkan penerbit yang gue inginkan. Itu, dan untuk masalah percintaan? Jangan ditanya, ya, berapa kali gue hampir pacaran sama orang yang gue inginkan.

Kenapa gue ceritakan kegagalan yang terjadi dalam hidup gue? Karena semua momen “hampir-berhasil” itu sejatinya membuat gue sampai di titik hidup gue saat ini. Gue bisa sampai di sini untuk menulis apa yang gue pikirkan ini buat kalian semua. Semua kegagalan tersebut membuat gue mencari jalan lain yang baru. Mungkin memang, sudah takdirnya disiapkan jalan lain yang lebih baik, cuma memang bukan jalan yang selalu kita inginkan.

Saat itu gue nggak pernah bisa mengerti kenapa gue hanya sampai di tahap hampir-berhasil. Gue berpikir bahwa dunia nggak adil hanya karena orang lain bisa mendapatkannya sementara gue nggak. Gue tahu kalian nggak akan percaya kalau sekarang gue bilang ini, tapi nggak apa-apa, toh, gue akan tetap bilang (YA, BLOG-BLOG GUE): nikmati semua momen hampir-berhasil tersebut, karena apa? Karena gue nggak yakin kalau gue selalu berhasil di titik-titik pencapaian yang gue inginkan, gue nggak akan tahu bagaimana rasanya mengalami dan mengevaluasi ulang strategi dari kegagalan gue. Mungkin saja gue bisa berhasil di hal-hal yang gue inginkan, tapi mungkin gue nggak mencapai di posisi saat ini. Mungkin gue nggak seberhasil saat ini, atau mungkin lebih berhasil lagi, but who cares. Di titik ini at least gue merasa penuh dan bersyukur.

Gue nggak pernah tahu ternyata lima tahun setelah gagal dari ajang Abang None, gue malah jadi pembicara di ajang tersebut dan memberikan isi pikiran gue untuk para finalis Abang None. Gue di sana, menatap mereka, dan betapa gue lima tahun yang lalu mendambakan untuk menjadi mereka. Salah satu teman dari SMA yang gue inginkan untuk bersekolah di sana, ternyata kini menjadi klien gue. Dia membutuhkan jasa gue untuk melakukan branding total untuk klinik giginya. Buku keempat gue telah diterbitkan oleh penerbit terbesar di Indonesia dan kini sedang dalam proses untuk dipentaskan ke dalam format teater oleh salah satu rumah produksi teater di Jakarta. Buku gue dibeli oleh rumah produksi tersebut untuk konten produksi teaternya yang ketiga. Untuk masalah percintaan, sekarang gue bersama seseorang yang nggak pernah gue minta yang lebih baik dari kekasih gue saat ini.

Semua momen hampir-berhasil itu membuat gue berada di posisi saat ini. Gue belum puas karena gue selalu merasa hampir-berhasil. Selalu merasa cukup itu baik untuk membuat lo selalu merasa rendah hati. Dan segala momen hampir-berhasil yang pernah terjadi sama gue pada kenyataannya nggak membuat gue menjadi gagal, gue hanya menjadi berhasil dengan cara lain.

Betul, gue setuju ketika banyak orang bilang ketika lo gagal akan sesuatu, ini cuma masalah waktu, lo akan berhasil, tapi nggak sekarang. Masalahnya, lo tetap akan gagal kalau lo nggak melakukan sesuatu. Kalau lo pernah gagal, terus lo berharap tahun depan lo akan berhasil, tapi lo hanya mengharapkan mukjizat terjadi tanpa lo melakukan apa-apa, ya sori aja, selamnya lo akan gagal, sampai di titik hampir-berhasil pun rasanya nggak pantes, sih. Karena predikat hampir-berhasil itu hanya untuk orang yang selalu berusaha.


Jadi, kalau lo pernah gagal dan hampir-berhasil meraih suatu hal, lo chill aja. Sesungguhnya lo akan berhasil dengan cara dan jalan yang lain, tapi lo juga harus tetap berusaha. 

Jumat, 07 Juli 2017

Wawancara Proses Menulis Kreatif (2)

1.      Mengapa Anda ingin menjadi seorang penulis?

Ini pertanyaan yang banyak sekali ditanyakan setiap saya mengisi seminar menulis atau sekadar talkshow. Kenapa saya mau jadi penulis? Alasannya karena saya nggak tahu. Sama seperti jatuh cinta. Kalau kita punya alasan kenapa kita mencintai orang tersebut, misalnya, karena dia baik, cerdas, cantic atau tampan. Suatu hari ketika orang tersebut tidak lagi baik, cerdas, dan meluntur ketampanan atau kecantikannya, maka selesai juga rasa cinta kita kepada orang tersebut. Buat saya, alasan kenapa kita bisa jatuh cinta sama seseorang adalah karena kita nggak tahu kenapa. Jatuh nggak butuh alasan, itu terjadi begitu saja. Karena jawaban nggak tahu itu yang mau membuat saya mau terus menulis. Saya nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tapi ketidaktahuan itu yang membuat saya mau terus menerus mencintai dunia menulis.


2.      Ceritakan sedikit mengenai perjalanan Anda menjadi penulis, awal mula mulai menulis hingga saat Anda berhasil menerbitkan buku pertama. 

Mulanya dari kecil saya menulis di buku harian. Ketika SMP, kebiasaan menulis itu jadi meningkat ke tahap menulis cerpen. Bisa dibilang waktu SMP saya sangat meledak-ledak untuk membaca banyak literasi. Saat itu, saya dibimbing oleh guru Bahasa Indonesia dalam menulis cerpen. Setiap satu cerpen selesai, saya selalu meminta penilaian beliau. Berlanjut terus sampai kuliah, saya mengambil jurusan Sastra Indonesia di Universitas Indonesia untuk memperdalam dunia menulis. Saat itu saya dibimbing oleh seorang editor dari penerbit Gagas Media bernama Christian Simamora yang saya panggil Abang. Bersama Abang, jalan saya tidak mudah. Sebelum bertemu Abang, saya pernah ditolak oleh tujuh penerbit. Bersama Abang, saya harus membaca 40 novel sebagai referensi, belajar menulis novel dari dasar, lalu harus menunggu 1,5 tahun sampai buku pertama saya diterbitkan.

Sampai sekarang saya masih suka bertanya-tanya kepada diri saya, apa jadinya jika saat itu saya menyerah di penerbit keempat atau kelima. Apa jadinya jika saya memutuskan untuk berhenti di tengah jalan, mungkin saya tidak akan pernah menjawab pertanyaan wawancara ini. :D



3.      Bagaimana perasaan Anda saat menulis?

Buat saya, membaca itu seperti menarik napas, sementara menulis seperti mengembuskan napas. Saya harus melakukan keduanya agar tetap hidup.

Saya percaya bahwa saya seorang ambivert. Pekerjaan saya adalah seorang PR Manager dan mengharuskan saya menjadi people person (baca: ekstrover). Sementara, ketika saya menulis atau membaca, saya nyaman menjadi diri saya, menjadi kesepian di tengah kedai kopi yang ramai dan sibuk. Saya nyaman menjadi dua pribadi tersebut dan hal itu membuat saya terus “hidup” sampai sekarang.

4.      Bagaimana perasaan Anda saat buku pertama Anda diterbitkan?

Nggak bisa saya tuliskan di sini. Antara terharu, bahagia, excited, juga khawatir kalau-kalau masyarakat mungkin nggak suka dengan isi buku saya. Waktu awal melihat buku pertama saya dipajang di rak toko buku, saya suka berlama-lama dan memperhatikan dari jauh orang-orang yang sedang melihat buku saya, memegang, membaca sinopsis, dan bahkan mengernyitkan wajahnya mungkin karena membaca nama saya yang masih baru di dunia penulisan. Lama-lama saya terbiasa dengan hal itu dan sampai sekarang masih tetap menyenangkan melihat buku saya dibawa ke kasir oleh pembaca, melihat buku saya dibaca di kedai kopi dan menyaksikan ekspresinya membaca isi buku saya. 😊

5.      Buku seperti apakah yang pernah Anda tulis?

Novel remaja hubungan ayah dan anak perempuannya yang cukup rumit dalam novel Percaya, ini masuk ke dalam genre coming-of-age. Novel kedua, Travel in Love, tentang pencarian jati diri seorang remaja perempuan dengan cara berkelana dari satu kota ke kota lain. Novel ketiga, Thy will be Done, bergenre Christian-Romance, tentang kisah cinta pemudi yang rebel dengan seorang pemuda yang religius. Buku keempat, Kepada Gema, tentang kisah cinta dua jiwa tentang janji dan melupakan. Tokoh utama di buku keempat ini mengidap penyakit PTSD (Post Traumatic Syndrome Disorder).

6.      Apa yang menjadi inspirasi Anda dalam menulis buku?

Apapun bisa menjadi inspirasi. Novel pertama saya, Percaya, merupakan percampuran inspirasi ketika saya membaca novel Looking for Alibrandi dari Melina Marchetta dan juga Luna karangan Julie Anne Pieters. Novel kedua, Travel in Love, terinspirasi ketika saya sendiri melakukan solo traveling pertama saya ke Jogja, Solo, dan Malang saat saya berumur 19 tahun. Novel Thy Will be Done adalah hasil renungan saya tentang kehidupan pasangan pemuda dan pemudi Kristen yang hidup di Jakarta. Novel Kepada Gema saya dapatkan inspirasinya ketika saya sedang membaca ulasan tentang penderita Post Traumatic Syndrom Disorder (PTSD), lalu saya mulai melakukan riset dan tertarik menjadikan tokoh penderita gangguan tersebut sebagai cerita utama saya.

Di luar itu semua, saya percaya apapun bisa menjadi inspirasi. Untuk membuat satu buku diperlukan banyak sekali inspirasi dalam membuat alur, bab per bab, nyawa untuk tokohnya. Jadi sebenarnya buat saya besar atau kecil inspirasi itu penting sekali dan bagaimana penulis harus rajin menyimpan tiap inspirasi itu dengan rapi dan teliti.

7.      Siapa penulis kesukaan Anda?

Saya lebih banyak menyukai penulis-penulis Jepang seperti Banana Yoshimoto (Kitchen), Haruki Murakami (Hear the Wind Sing dan Norwegian Wood), Shoko Tendo (Yakuza), Tetsuko Kuroyanagi (The Little Girl at the Window), Yasunari Kawabata (Snow Country). Penulis-penulis Jepang, mereka punya ciri khas selalu menulis dengan hati. Tidak semua novel-novel Jepang bagus, tapi setidaknya menulis buat mereka adalah menyampaikan isi hati, dan bagi saya sudah cukup.

Di Indonesia, penulis favorit saya adalah Dewi Dee Lestari dan Nh. Dhini. Untuk penulis luar saya menyukai Jodi Picoult dan Jojo Moyes.

8.      Apa harapan Anda terhadap pembaca Anda? Apakah ada pelajaran ataupun pemahaman khusus?

Dari banyaknya keinginan saya yang sudah terwujud (best seller, novel akan difilmkan, cetak ulang, talkshow kota ke kota), satu yang pasti, saya ingin sekali pembaca saya mendapat sensasi membaca dan merasakan hal yang sama ketika saya menulisnya. Jika pembaca ikut menangis atau tertawa, buat saya, tujuan saya sudah terpenuhi.

9.      Apa rencana Anda kedepannya? Apakah akan terus menulis? Buku seperti apa yang ingin Anda tulis berikutnya?

Tentu, menulis sudah pasti, tapi akan menulis apa, saya benar-benar terbuka untuk belajar lebih banyak lagi. Ke depan saya sudah dikontrak oleh dua penerbit berbeda untuk menghasilkan masing-masing satu novel. Mungkin akan terbit di awal tahun depan. Buku kelima konsepnya akan seperti novel pertama dan kedua, ruang lingkupnya remaja. Buku keenam, saya keluar dari zona nyaman dan akan mengukuhkan diri menjadi penulis di genre urban-romance untuk waktu yang lama.

10.  Sebutkan beberapa judul buku yang sudah Anda tulis sebelumnya.
Percaya – Gagas Media (2012)
Travel in Love – NouraBooks (2013)
Thy Will be Done – Gramedia (2015)
Kepada Gema – Gramedia (2016)


Selasa, 04 April 2017

I Love Myself & Keep it Low

Dulu, waktu gue sangat belia dan lugu, saat gue baru merasa bisa menyetir, gue selalu senang dengan adrenalin untuk melaju kencang di jalan bebas hambatan. Rasanya begitu menyenangkan dan melegakan. Saat itu, harusnya gue berkarier menjadi pembalap. Namun, kemudian gue sadar, kemampuan gue menyetir belum sejago itu. Seharusnya kemampuan melaju kencang-kencang harus diimbangi dengan kemampuan menyetir yang mumpuni. Alhasil, gue harus rela ketika suatu hari dalam perjalanan pulang ke rumah—dengan kondisi sedikit melamun dan mengantuk—mobil gue menabrak sebuah motor dan juga pengendaranya. Kaca spion pecah, sang pengendara motor berdarah-darah di kaki dan pergelangan tangannya.
           
            Dulu, waktu gue sangat belia dan lugu, saat gue baru merasa bahwa mencintai itu sangat menyenangkan, gue selalu senang dengan antusiasme yang tinggi dan cinta yang meledak-ledak. Saat cinta tidak selalu berbalas, gue selalu percaya bahwa dengan gue berkorban sepenuh hati, suatu hari orang tersebut akan melihat betapa tulusnya gue dalam berjerih payah untuk memperjuangkan dia. Suatu hari hatinya akan tergerak untuk mencintai gue sebesar gue mencintai dia. Sampai suatu hari akhirnya gue “tertabrak” karena “melaju kencang-kencang” dalam perjalanan menuju hatinya.

            Merasa bahwa gue butuh menyembuhkan luka—karena dari saat gue belia dan lugu sampai gue merasa saat ini dewasa dan menuju usia sepertiga abad—gue meminta kepada atasan di kantor untuk mempercepat dinas bulanan ke Bangkok. Sejak tahun 2017, gue belum lagi menginjakkan diri ke kantor gue yang berpusat di negeri Gajah Putih itu. Selalu ada alasan dan rencana busuk di balik permohonan kepada bos gue tersebut. Gue akan mengambil cuti selama satu minggu untuk menyembuhkan luka di Bangkok.

            A long trip might do the trick. Begitu pikir gue saat itu. Ditemani sepupu dan pacarnya, gue menghabiskan liburan di Bangkok yang… ya gitu-gitu aja. Mabuk udah, belanja impulsif udah, makan sampai begah juga udah. Gue pikir, gue cuma sedikit bersenang-senang saja selama di sana. Karena di sudut mana pun gue melangkah, selalu ada wajahnya. Wajah orang yang membuat gue selalu melaju kencang-kencang di jalan menuju hatinya.

            Ketika gue pikir bahwa liburan ini nggak berhasil (yah, party-party lucu, make out with so many strangers, dan belanja barang yang bisa menuhin satu lemari baru cukup membuat gue happy, sih.), di samping jendela pesawat, gue melihat bagaimana sayap pesawat menyentuh lembut gumpalan awan tebal. Gue terpesona sampai nggak sadar bahwa gue sedang melamun. Entah dari mana asalnya, gue merasa sadar bahwa selama ini gue selalu merasa ada di atas garis wajar untuk melakukan sesuatu. Semua yang gue lakukan terlalu tinggi dan terlalu antusias. Nyatanya, semua yang diawali dengan kata “terlalu” nggak pernah baik hasilnya. I have to keep it low cause less is more.

            Seseorang yang pernah menyetir mobil dengan predikat “jago” pasti tahu pada saat yang tepat kapan ia harus melaju kencang dan lambat. Bukan membiarkan dirinya dikuasai adrenalin untuk melaju kencang setiap saat.

            Sama halnya seperti ini: kita nggak bisa mencintai orang lain, kalau kita belum bisa mencintai diri sendiri dan tahu kapan harus menguasai dirinya sendiri dikuasai adrenalin cinta yang meledak-ledak.

Tentu saja dengan mencintai orang lain terlalu dalam sampai kita lupa bahwa diri sendiri sudah lelah dan terluka adalah sebuah indikasi yang jelas bahwa kita belum bisa mencintai diri kita sendiri dengan baik.

Masih memandang gumpalan awan tebal yang terus menerus menyentuh sayap pesawat, gue menempelkan ujung-ujung jari ke jendela yang dingin. Gue tersenyum menyadari bahwa justru dalam perjalanan pulang, gue mendapatkan makna sesungguhnya untuk mencintai diri sendiri dan merendahkan kemampuan untuk melaju kencang yang mana pada akhirnya itu semua akan meledakkan diri gue sendiri.

Gue berjanji untuk mencintai diri gue sendiri. Sampai tulisan ini dipublikasikan, gue masih dalam proses untuk mencintai diri gue sendiri lebih dalam lagi, tapi nggak akan sampai “terlalu”. Cara paling sederhana untuk lebih menghargai diri ini adalah berusaha melupakan seseorang yang pernah kita cintai tersebut dan mulai tanamkan kepada diri sendiri bahwa kita, manusia, sangat berharga dan berhak dicintai oleh orang yang juga kita cintai, sama besarnya.

Gue telah berhenti meminta hati pada orang yang sudah jelas memberikan petunjuk di awal bahwa bukan wajah gue yang ingin dilihatnya setiap dia membuka mata di pagi hari.

Mencintai diri sendiri juga berarti bahwa kita harus berhenti memberi ekspektasi pada orang lain. Mencintai diri sendiri juga berarti bahwa lo akan menerima sebuah take and give yang seimbang dari orang yang lo cintai.

Mungkin seni mencintai diri sendiri ini adalah pelajaran yang baru dan menarik bagi gue di tahun ini. Menarik karena seharusnya gue dan lo dan semua manusia di dunia ini berhak dan wajib menjunjung harga diri setinggi-tingginya.

Jadi, teman-teman (dan kepada gue sendiri), ayo dong, berhentilah meminta hati pada orang lain yang tidak bisa menghargai diri lo.

Karena gue percaya pada suatu hari akan datang seseorang yang mau memberikan dunianya kepada lo, tanpa harus lo minta.

Keep it low!

Kamis, 16 Februari 2017

Cinta yang Sederhana di 2017

(by tumblr)
Tahun 2016 adalah tahun yang penuh kejutan buat gue. Ada banyak sekali hal yang membuat gue berpikir dan pada akhirnya mengucap syukur. Karier, kehidupan percintaan, rencana hidup ke depan, rasanya semua dirombak habis-habisan di tahun kemarin.

Katakanlah perjalanan karier gue mulus-mulus aja, malah cenderung dimudahkan oleh Tuhan untuk semakin naik. Rencana kehidupan ke depan juga udah sesuai track. Namun, kehidupan percintaan gue nggak jauh beda dengan jalanan di Cinere yang gompal dan penuh lubang,

Orang-orang tahu bahwa gue masuk ke dalam tipe I-don’t-give-a-shit person. Jadi kalau sesuatu nggak berjalan dengan semestinya, pilihannya cuma ada dua, mati-matian diperjuangkan atau baiknya ditinggalkan. Tentu pilihan kedua adalah pilihan dengan usaha yang lebih mudah dan terjangkau untuk dilakukan.

Berdasarkan tipe manusia yang memilih untuk hidup sesimpel mungkin, anehnya, gue pernah beberapa kali melakukan pilihan pertama: berjuang mati-matian untuk orang yang salah. Percayalah, itu amat sangat melelahkan.

Beberapa kali gue bangun di pagi hari dan yakin bahwa sesungguhnya orang yang gue perjuangkan akan membuka hatinya untuk gue, atau setidaknya hubungan kami akan menjadi lebih baik setelah tengkar-tangis-drama semalam. Kami pernah tinggal bersama selama tiga bulan dan gue pikir selama tiga bulan itu dia bisa melupakan mantannya, dan apa yang gue korbankan untuknya agar kami bisa tinggal bersama dapat membentuk kami menjadi pasangan yang kuat.

Nyatanya tidak. Cinta itu terlalu sederhana untuk hal yang rumit.

Kisah nyata yang gue alami itu membuat gue sadar bahwa cinta itu benar-benar sederhana. Anggaplah cinta itu adalah seorang manusia. Di dunia ini, cinta adalah seorang manusia yang karakternya paling mudah untuk dikenal dan layak mendapat reward sebagai the most doesn’t-give-a-shit person in universe.

Lantas kenapa cinta itu sederhana?
  •  Cinta tidak akan membuat lo terlihat bodoh dan menderita sendirian karena sejatinya dia sadar bahwa lo berjuang untuknya. Sekali lagi, Cinta itu nggak akan membuat lo terlihat bodoh dan dungu dan fool (ya, sama aja, sih, artinya. Biar keliatan dramatis aja).
  • Cinta nggak akan membuat lo sadar bahwa lo sedang berkorban. Ketika lo sudah merasa berkorban, secara otomatis lo akan berpikir bahwa you will get something in return. Dan, percayalah, itu amat sangat nggak baik.
  • Cinta itu sebuah hal yang murni, kok. Lo bisa menyadarinya meskipun nggak langsung. Mungkin berupa sebuah morning call setelah semalam lo kencan pertama kali dengan seseorang atau bahkan berminggu-minggu kemudian setelah kencan pertama, lo dan dia ketemu nggak sengaja di persimpangan jalan ketika lo sedang jalan-jalan sendirian di Lombok. Terus lo dan dia malah ketawa-ketawa dan memutuskan traveling bareng (oke, ini halu.)
  • Nggak pernah ada kata terlalu dalam kamus kehidupan Cinta. Di dalam hidupnya, Cinta itu nggak akan membuat lo fanatik atau pesimis. Cinta itu nggak akan membuat lo segitu tergila-gilanya. Ingat aja bahwa apapun yang “terlalu” di dunia ini nggak baik. Cinta itu pas banget. It suits perfectly in your life, like a slim fit jeans from Uniqlo.
  • Meskipun terlihat sederhana, Cinta nggak akan membuat lo tetap berada di zona nyaman, Lo dan Cinta akan bahu membahu untuk membangun pribadi yang lebih baik lagi. Sekarang untuk dilakukan akan terlihat menyebalkan karena mungkin lo akan mendengar dia teriak-teriak karena lo selalu taruh handuk lembap di atas kasur habis mandi; dia akan selalu ngingetin lo yang selalu nyetir ngebut-ngebut dan ngerem dadakan; dia akan ngingetin lo ngasih makan Coco, anjing dachshund peliharaan lo, padahal lo tau lo capek banget abis pulang kerja. Tapi, bukankah nanti lo bakal kangen diingetin yang baik-baik setelah dia nggak ada?
  • Cinta itu sederhana karena lo nggak perlu memaksa untuk menemukan dan ditemukan. Sah-sah aja unduh Tinder dan lain-lain, jodoh bisa ditemukan di mana aja. Temen gue yang mau menikah April nanti ketemu partnernya dari Tinder. Ada beberapa orang yang baru ketemu The One di umur 21, ada yang ketemu di umur 30, 50-an, jadi sah-sah aja kok. Kita punya cara dan waktu yang berbeda untuk saling menemukan.


Yang pasti Cinta itu nggak akan pernah membuat lo terluka dan menderita. Lo akan bertemu dengan seseorang yang akan membuat lo berarti untuknya dan membuat lo mencintai diri lo sendiri hingga penuh. Selamat menemukan cinta yang meski sederhana, membuat hidup lo luar biasa.

Selamat hari Valentine!

Minggu, 05 Februari 2017

Rencana Membangunkanmu

Dia datang menggangguku di pertemuan pertama kami. Tatapan matanya mengusikku sampai ke dalam manik mata. Senyumannya tidak perlu diragukan, ia menggunakannya sebagai senjata untuk berperang di meja makan kami malam ini. Semua gurauannya pun sama, aku tak perlu lagi berhati-hati bersikap dan menahan tawaku yang meledak.

Namanya terdiri dari tiga kata. Sementara orang-orang memanggilnya dengan nama tengah, aku lebih suka memanggilnya dengan nama depan. Nama pertamanya adalah sebuah kaum dari bangsa Yahudi. Nama keduanya adalah sebuah suku di Bali. Nama ketiga tentu saja marga keluarganya.

Dia membuatku tertawa. Cuma itu yang bisa aku tangkap dari hasil pertemuanku malam itu. Kurasa itu cukup untuk membuatku ingin bertemunya lagi di suatu hari. Mungkin ditemani secangkir teh hangat di sore yang dingin dan berhujan akhir-akhir ini, atau sambil bergelung menikmati tayangan kartun di hari Minggu pagi. 

Saat hendak berpisah, ia masuk ke dalam taksi sambil mengacungkan jempol kepadaku, aku tahu bahwa ia telah membuatku menurunkan jangkar hatiku sendiri. Aku tidak pernah ambil pusing kapan terakhir kali aku melihat kendaraan yang membawa teman kencanku hilang di ujung sana. Namun, lagi-lagi aku memastikan kendaraan yang ditumpanginya benar-benar hilang di belokan jalan. Rintik hujan membungkus malam itu dengan perpisahan yang tak ingin aku lewati. 

Ditemani hujan yang masih merintik, aku kemudian terpaku dan berpikir kalau saja besok pagi aku bisa melihatnya bangun di sampingku dan menyaksikan matanya membuka dan tersadar bahwa aku adalah orang pertama yang dilihatnya pagi itu.

Maka, di kepalaku yang penuh dengan cerita-cerita liar ini mulai punya sebuah rencana untuk membangunkannya esok pagi dan esoknya lagi.


1.
Esok pagi aku ingin membangunkannya dengan membuat kopi kesukaannya. Dengan uap yang masih mengepul dari cangkir panas, aku akan pelan-pelan meletakkannya di nakas di samping ranjangnya. Sesuai dugaanku, ia akan bangun menghirup aroma kopi yang menepuk lembut hidungnya. Matanya akan membuka begitu aku menyingkap tirai gorden. Ia akan tersenyum sambil menepuk lahan kosong di samping ranjangnya. Pelan-pelan aku akan merangkak naik ke atas ranjang sambil mengambil congkir kopi itu dan kuberikan kepadanya. Ia tidak langsung menghirup harum kopi miliknya, tapi ia akan menatap wajahku sesaat lalu langsung mengambil leherku dan membenamkan wajahnya di sana. Ia menghirup aromaku dulu. Ia malah melupakan kopi miliknya dan sibuk denganku pagi itu.

2.
Esok paginya lagi aku akan membiarkan kamar kami tetap gelap. Kamar kami akan selalu gelap seandainya aku tidak membuka tirai gorden. Cahaya hanya mampu mengintip dari samping gorden jendela kami. Aku akan mencium-cium wajahnya sampai ia sedikit menggerutu, membuka matanya, lalu tersenyum dan menarik kepalaku ke atas dadanya. Aku bisa mendengar jantungnya berdetak. Jantung milikku juga. Ada banyak suara indah di dunia ini: bunyi lonceng di akhir jam pelajaran kelas, suara terompet di Disney Land, suara kembang api meledak di akhir tahun, suara tawa bayi, suara lembut dari mulut ibu yang kau dengar saat kau sakit. Pagi itu aku sadar, ada satu suara indah di dunia ini yang tidak akan kuleawatkan setiap pagi: suara detak jantungnya.

3.
Pagi selanjutnya aku punya rencana untuk memasak sarapan inggris untuknya: sosis, telur mata sapi, krim keju, daging ayam, dan air jeruk hangat untuknya. Kami akan menghabiskan Minggu pagi untuk makan di atas ranjang sambil menonton film kartun sepanjang hari. Siangnya kami akan mandi berdua di bawah pancuran yang sama, memakai baju, dan menuju sebuah mall untuk makan siang dan mengobrol tentang apapun yang menjadi kesibukan kami hari ini. Kami akan menghindari kegiatan membosankan seperti belanja bulanan, menonton film di bioskop, atau membaca buku. Mari singkirkan hal tersebut di saat kami sedang bosan. Hari ini kami akan melaju menuju sebuah kota dengan mengendarai mobil. Kami tidak harus tahu ke mana kami pergi, entah itu menuju laut atau gunung, yang pasti kami hanya ingin lari sejenak dan menghabiskan akhir pekan ini dengan kejutan yang menyenangkan.

4.
Aku akan terbangun ketika malam hari di kota yang aku tidak pernah tahu. Ia tidak ada di belakang setir. Ketika aku keluar dari dalam mobil, suara ombak akan menyapa. Ia telah membuat api unggun di pantai. Di sampingnya ia telah menyiapkan sebuah kantung tidur berukuran besar untuk kami berdua bergelung di dalamnya. Matanya masih menatap lautan sementara angin darat menerbangkan anak-anak rambutnya yang sulit sekali diatur. Aku akan mengambil tempat untuk duduk di sampingnya, ikut menatap lautan, ditemani bunga-bunga api yang terbang ke udara dari api unggun di depan kami.

“Apa yang kamu tunggu selama ini?” tanyanya, sambil terus menatap ombak yang bergulung.

“Menunggu besok pagi bersama kamu,” jawabku.

Dia menyunggingkan senyum.

Kami merebahkan badan di dalam kantung tidur sambil memandang langit malam yang jernih dan bertabur bintang. Tangan kami terangkat ke udara berusaha menggapai rasi-rasi bintang di atas sana.

“Rasi bintang di atas sana,” aku menunjuk, “Nggak ada yang kolinear seperti yang kamu tulis di buku kamu.”

Ia hanya menatapku terus menerus.

“Apa?” tanyaku.

Ia hanya menggeleng sambil tersenyum. Lalu berbisik kepadaku, “Sendiri kita cuma tetesan air, berdua kita adalah lautan.” Kemudian ia mencium dahiku dan membiarkan badanku rebah di dadanya. Lagi, aku mendengar suara paling merdu dalam hidupku. Malam ini, aku tenggelam dalam riuh detak jantungnya.

* * *

5.
Aku dibangunkan suara burung camar, bunyi ombak bergulung yang lebih besar dari semalam, serta cahaya matahari keemasan begitu aku membuka mata. Ia masih merangkulku. Dengan mata terpejam, ia tersenyum, seakan tahu bahwa aku sudah bangun.

“Jangan bangun dulu. Aku masih ingin tidur di samping kamu.”

Aku memejamkan mataku kembali dan merangkulnya lebih erat. Ditemani angin laut pagi ini, aku berbisik di telinganya, “Selamat pagi.”