Minggu, 22 Mei 2011

Lemari


Setiap orang mempunyai satu lemari, bahkan lebih. Demikian pula dengan kau, memiliki lemari di kamarmu sendiri. Tapi, siapa pernah berpikir manusia yang satu terhadap manusia lainnya apakah penting jika mereka tidak memiliki lemari? Ah, biarlah jadi urusannya masing-masing. Siapa yang peduli jika kau atau orang lain hendak meletakkan barang-barang mereka di mana. Di atas kasur mungkin, digantung di daun pintu, di atas lantai paviliun milik karyawan yang baru bekerja, di atas meja belajar di dalam kamar kosan mahasiswa, atau bahkan seperti kau yang memilih meletakkan barang-barangmu di dalam lemari.

Sesungguhnya manusia lebih memikirkan agar bagaimana kamar mereka terlihat bersih, bukan lemarinya. Seperti halnya kau yang membersihkan kamarmu saban Sabtu pagi sebelum kau pergi lagi meninggalkan kamar yang telah bersih ini. Sementara untuk lemari, cukup kau lemparkan kamper ke sembarang arah di dalam lemari itu agar dia tidak lagi lembab. Lemari tidak pernah berdebu, katamu, sehingga kau tidak pernah pusing sendiri untuk rajin-rajin membersihkannya.

Kau memiliki satu buah lemari di dalam kamarmu yang bagus itu. Sama halnya seperti kau memiliki aku untuk kau letakkan bermacam pakaian dan beberapa benda berharga di dalamnya. Kau menaruh hatimu dengan sembarang ke dalamku, kau tinggalkan sesaat, kemudian kau ambil lagi sesukamu. Setelah kau taruh hatimu di dalamku, kau merasa aman karenanya dan tidak pernah sekalipun kau menengoknya untuk sekadar mengawasi apakah hatimu hilang diambil pencuri atau tidak.

Yang kau berikan kepadaku adalah kepercayaan, kepercayaan rasa aman barang-barangmu yang berharga di dalamku. Tapi bagaimana aku bisa percaya kepadamu yang setiap pagi keluar dari ruangan, yang terlanjur menjadi dunia kecil bagiku ini, dan kembali lagi pada malam hari. Bagaimana bisa aku menghilangkan pikiran bahwa kau mungkin keluar melihat lemari yang lain kemudian kapan saja dengan kuasamu kau akan membuangku dari ruangan ini dan kau ganti diriku dengan lemari yang baru. Bagaimana aku bisa berkuasa, Kekasihku?

Kau selalu pergi, kita hanya berada dalam ruangan yang sama hanya jika kau butuh waktu dan tempat untuk merebahkan badanmu. Kadang aku ikut tertidur bersamamu, kadang pula aku terjaga memperhatikan wajahmu saat kau terlelap. Di saat seperti itu entah aku merasa bahagia atau semakin terluka melihat wajahmu di hadapanku sepanjang malam. Lalu pagi hari kembali datang menyambut, aku seringkali tak sempat melihatmu ketika kau terbangun dijemput kembali oleh alam. Sisa kantuk menatapmu semalaman telah mengaturku agar aku hanya mampu melihat pintu tertutup di belakang badanmu yang telah berseragam pakaian kerja. Sekali lagi kau menikmati duniamu di luar sana, sedangkan aku kembali terbangun dengan perasaan takut dan sepi kembali merayapi seluruh jiwaku.

Aku adalah lemari yang kau letakkan di dalam ruangan yang kau ciptakan sendiri, tapi bukan ruangan khusus berdua untukku dan kau. Aku adalah lemari yang bisa kau letakkan apapun yang ingin kau letakkan di dalamnya, termasuk jiwamu meski untuk sesaat. Aku adalah lemari yang kau tempatkan sesukamu di sudut-sudut pikiranmu yang kau inginkan. Aku adalah lemari yang orang lain tidak pernah tahu apakah kau memiliki aku di dalam hidupmu. Lalu aku adalah lemari, di dalamnya kau ciptakan sebuah laci kecil tempat kau meletakkan benda paling berharga di dalamnya. Dan oleh karenanya, sesaat aku merasa teristimewa di antara benda lainnya di kamar ini.

Kasihku, kau selalu tahu ke mana kau harus pulang, tapi aku tidak mempunyai pilihan lain selain menjaga milikmu yang paling berharga, yang kau simpan di dalam laci jantungku.

Aku hanya ingin kau tahu, apakah kau--sekali saja--tahu bahwa aku selalu menjaga hatimu di dalam laci jantungku?



Cinere, 16 Mei 2010
03.00 WIB

Minggu, 08 Mei 2011

Titik Balik


Pengalaman membaca pertama saya dimulai dengan seperangkat boks seri buku binatang yang dibelikan Ibu ketika mengetahui bahwa saya telah lancar membaca pada umur 4 tahun. Kala itu, saya terpesona dengan rangkaian kata-kata indah dipadu dengan ilustrasi gambar yang menarik dan penuh warna-warna lembut bagi anak berumur 4 tahun.
Kecintaan saya pada buku bergambar semakin bertambah ketika Ayah terkadang membelikan saya komik di akhir pekan. Komiknya bermacam-macam, mulai dari komik yang saya senangi hingga komik yang kurang saya senangi. Komik yang saya gemari (bahkan hingga sekarang saya masih menyukainya) adalah Doraemon, Kobochan, Hai, Miko!, sampai Crayon Sinchan. Selain komik yang saya sukai, ada beberapa komik yang rutin dibeli oleh Ayah untuk saya, yang sudah tentu saya sangat lama bagi saya untuk menyelesaikannya, yaitu komik seri pahlawan dunia terbitan Elex Media Komputindo yang menceritakan kisah-kisah Albert Einstein, Isaac Newton, Isadora Duncan, Hellen Keller, Napoleon Bonaparte, dan pahlawan dunia lainnya.
Saya sudah lupa novel (tanpa ilustrasi) apa yang saya baca pertama kali. Yang saya ingat bacaan-bacaan awal saya ketika kecil adalah Charlie and The Chocolate Factory karya Roald Dahl, Ms. Witch (yang saya lupa siapa pengarangnya), dan novel teenlit seperti Vibe.
Masa SMP adalah tahun-tahun keemasan saya dalam membaca. Perpustakaan di sekolah waktu itu cukup lengkap. Saya menyukai berbagai kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Sutardji Chalzoum Bachri, majalah Horison, bahkan saya sempat membaca karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia yang super tebal itu, tapi tidak punya tenaga untuk habis membacanya. Selain itu, masa SMP adalah masa di mana saya menyukai karya populer Sophie Kinsella seperti rangkaian novel Confession of Shopaholic, Meg Cabot: Princess Diaries, dan Julie Anne Peters: Luna.
Saat duduk di kelas 3 SMP, saya mulai terpanggil untuk menulis. Saya mulai mendengar suara-suara yang memanggil saya untuk mengambil pensil lalu mulai menggerakkannya di atas kertas. Kebetulan pada saat itu saya mempunyai beberapa buku catatan kosong yang tidak terpakai untuk saya pakai menulis. Masa-masa itu adalah masa di mana saya begitu bersemangat menulis. Saat itu saya bisa menulis habis 3 buah cerpenpan (cerita pendek panjang) dalam sebuah buku catatan. Biasanya setelah menulis sebuah cerpenpan saya suka memberikannya kepada teman-teman untuk dibaca dan diberi tanggapan. Ketika teman saya mengatakan bahwa karya saya baik, saya semakin semangat untuk menulis cerpenpan lagi.
Entah mengapa ketika SMA saya jarang (bahkan hampir tidak pernah) membaca karya sastra apalagi menulis. Ada sebuah kegiatan lain yang menarik saya untuk ditekuni, Hip Hop. Ya, dance jenis ini saya tekuni selama tiga tahun di SMA yang praktis membuat saya kehilangan waktu dan juga selera untuk menulis. Tapi, di masa-masa itu, saya masih suka mengikuti perkembangan tulisan lewat mading sekolah, bahkan di tahun pertama SMA, saya hampir sempat mengambil ekskul mading. Saya juga masih rutin membeli majalah remaja dan membaca rubrik cerpen di dalamnya.
Akhirnya titik balik semua pengalaman saya itu adalah ketika saya berada di penghujung kelas 3 SMA. Masa ketika saya harus mengambil jenjang yang lebih tinggi lagi di perguruan tinggi. Titik balik itu semakin nyata ketika saya sedang berada di dalam gedung bimbingan belajar tempat saya mempersiapkan diri agar dapat masuk ke universitas yang saya inginkan, saya masih kebingungan untuk mencantumkan pilihan kedua di lembar formulir. Ketika itu, tentor pembimbing saya yang juga guru Bahasa Indonesia di sekolah menyarankan saya untuk mengambil Sastra Indonesia karena belum banyak peminatnya namun berpotensi mendapat banyak pekerjaan selepas lulus dari universitas. Semuanya serasa berputar mulai hari itu, alasan mengapa saya sangat menunggu pelajaran bahasa Indonesia selama saya bersekolah dan yang lebih nyata adalah ketika benar-benar berada pada hari-H pengembalian formulir tes masuk universitas suara-suara itu muncul kembali. Suara-suara yang memanggil saya persis suara yang saya dengar ketika saya SMP, ketika saya melihat jurusan Sastra Indonesia di kolom pilihan itu saya termenung sesaat, lalu dengan sangat mantap saya mengisi pilihan kedua dengan keinginan hati tersebut.
Ketika saya diterima masuk ke dalam jurusan sastra, saya tidak pernah merasa menyesal terhadap pilihan yang saya ambil. Sastra adalah panggilan hati saya, saya menyukai seni, dan terlebih ketika Ibu saya mengatakan bahwa darah seni saya kemungkinan besar berasal dari sahabat Eyang Kakung saya. Ibu Saya, Etty Toersastiti Soegito, nama tengahnya diberikan oleh sahabat Eyang Kakung saya, yang tidak lain adalah Pramoedya Ananta Toer :)