Jumat, 11 November 2011

Sebotol Minyak Kayu Putih


Aku menghirup lagi sebotol penuh minyak kayu putih yang kugenggam di tangan kananku. Setiap tarik an hirupan mengembalikanku ke setiap susunan memori yang terjalin rapi lewat indera penciuman. Jalinan kenangan yang pernah kami rajut bersama ditemani sebotol minyak kayu putih untuk mengusir rasa dingin setiap malam. Semakin lama kuhirup minyak kayu putih di tengah malam yang sepi ini, semakin ramai kenangan di kepalaku berlari-lari.

Dia pernah mengatakan jangan pernah meminum minyak kayu putih kecuali jika aku frustrasi. Waktu itu aku tertawa sambil melihat dia membiarkan setetes minyak kayu putih jatuh ke dalam mulutnya. Pahit, katanya. Sama pahitnya seperti jamu brotowali yang hitam pekat nan pahit. Aku tertawa sambil mengejeknya tolol karena telah melakukan hal tolol saat itu. Sambil mengusap air mata yang terus jatuh dan mengusap hidung yang terus menerus mengeluarkan lendir karena terlalu pedas menghirup minyak kayu putih sepanjang malam, aku teruskan menghirup minyak kayu putih sampai kantuk menyerang lalu tertidur di atas dipan kayu di teras rumah. Rasanya aku layak diejek lebih tolol daripada dia yang pernah melakukan hal tolol.

* * *

Sedihku belum juga hilang. Malam berikutnya aku lakukan ritual yang sama sejak sebulan terakhir: menghirup minyak kayu putih setiap tengah malam di depan teras rumah sambil membungkus diri dengan selimut tebal. Ditemani suara tonggeret, jangkrik, dan tokek di halaman rumahku, aku memulai ritual menyedihkan ini lagi selama sebulan terakhir. Menghirup minyak kayu putih setiap tengah malam adalah upaya satu-satunya yang aku tahu untuk menghirup kembali rinduku yang begitu besar kepada dia.

Dia tidak pernah bisa hidup tanpa minyak kayu putih. Setiap kami pergi ke mana pun, dia tidak pernah lupa memasukkan sebotol minyak kayu putih ke dalam tasnya. Bahkan waktu kami ke Bali berdua tahun lalu, sudah kukatakan lebih dari sekali bahwa pada malam hari pun di sana tidak akan dingin, tapi dia bersikeras membawa sebotol minyak kayu putih ikut serta dalam acara jalan-jalan kami.

Lain waktu kami mengikuti kegiatan kuliah kerja nyata yang diadakan oleh kampus kami. Satu rumah penduduk diisi oleh delapan mahasiswa. Suatu malam yang panas di Pulau Alor, ia membalurkan minyak kayu putih ke seluruh badannya karena tak tahan dengan terpaan angin malam dari arah pantai. Ternyata teman sekamar kami tidak tahan dengan aroma minyak kayu putih yang menguar ke seisi ruangan. Semuanya tidur di dipan teras, dan hanya aku yang bertahan tidur di sampingnya sampai keesokan harinya kami bangun kembali. Aku kasihan melihat temanku yang tidur di dipan keesokan harinya bermata sembap seperti kurang menikmati tidurnya semalaman. Mulai saat itu, akhirnya dia mengalah untuk tidur di dipan sambil membalurkan banyak-banyak minyak kayu putih ke badannya sebelum tidur.

Aku selalu berhasil membuat dia melakukan apa pun yang kuinginkan, tapi tidak pernah berhasil membuatnya meninggalkan minyak kayu putih dari sisinya. Mulai saat itu, aku berpendapat sendiri bahwa setelah aku, sebotol minyak kayu putih adalah kekasih keduanya.

* * *

Sejak pertama hingga sekarang botol minyak kayu putih yang kupakai bersama dia tidak pernah habis. Malam ini sudah kutekadkan akan menjadi malam terakhirku menghirup minyak kayu putih alih-alih mengenang segala kisah tentangnya. Tidak akan ada lagi ritual menghirup minyak kayu putih setiap tengah malam. Tidak ada lagi acara menghirup kembali lagi rindu tentang dia.

Sekali lagi aku ingat, dia pernah mengatakan jangan pernah meminum minyak kayu putih kecuali jika aku frustrasi. Waktu itu aku tertawa begitu hebatnya karena kupikir hanya orang bodoh yang akan meminum minyak kayu putih mentah-mentah mengalir di tenggorokannya. Sekarang aku menangis, karena mungkin aku benar-benar bodoh sekarang. Sambil membuka tutup botol minyak kayu putih, kuhirup sekali lagi aroma minyak kayu putih yang setiap malam selama sebulan terakhir ini menjadi sahabatku. Kutempelkan bibirku ke pinggir mulut botol minyak kayu putih lalu kutenggak cairan minyak kayu putih itu sampai tersisa setengahnya. Aku tak sanggup lagi meneruskannya. Rasanya pahit, meski belum seberapa pahitnya dibandingkan kenanganku bersama dia.

Aku berniat menghabiskan seluruh isi cairan di dalam botol yang kugenggam tapi kepalaku mendadak pusing hebat, langit malam yang gelap menjadi makin gelap dalam pandanganku, cahaya lampu yang menempel di atas kepala mulai berubah-ubah menjadi terang redup seperti kisah kasihku bersama dia.

Di kejauhan, kulihat sebuah bayangan sedang berjalan ke sini. Aku menajamkan mataku melihat bayangan makhluk remang-remang sambil mencoba angkat badan, tapi ternyata aku terlalu lemah untuk mengangkat badanku. Lamat-lamat pandanganku kabur seutuhnya hingga semuanya hampir menjadi gelap sampai makhluk bayangan remang-remang itu kini menyentuhku. Aku hanya mampu melihat pinggangnya yang berdiri di depanku. Menatap ke atas untuk mengetahui siapa pemilik badan ini pun aku tak sanggup. Makhluk bayang remang-remang itu kini menjongkokkan dirinya hingga wajahnya sejajar dengan wajahku. Itu dia, manusia yang mengenalkanku pada minyak kayu putih ini. Aku bahkan tak sanggup tersenyum meskipun aku ingin melakukannya agar ia tahu betapa aku merindukan jiwanya menyatu kembali dengan jiwaku.

Tidak lama berjongkok di depanku, ia tersenyum, seakan tahu bahwa aku rindu kepadanya. Senyumnya yang lebih hangat dari minyak kayu putih mampu menghalau setiap tusukan angin dingin di malam gelap ini. Ia memegang tanganku yang sedang memegang minyak kayu putih, kemudian ia memindahkan sebotol minyak kayu putih milikku ke dalam genggaman tangannya. Ia membuka putar tutup botol minyak kayu putih milikku yang tersisa setengah, lalu menempelkan bibirnya pada pinggir mulut botol. Dengan cepat ia menenggak cairan itu ke dalam mulutnya sampai habis. Lalu sorot matanya mulai redup seperti mataku.

Pelan-pelan kuajak dia duduk di sampingku, menjadi pengganti selimutku malam ini. Malam ini kami berdua menikmati suara tonggeret, jangkrik, dan tokek. Rindu kami dimulai dengan menghirup minyak kayu putih yang sama dan mengakhirinya dengan menenggak minyak kayu putih sampai habis dengan bersama-sama pula. Kini aku tidak lagi membutuhkan sebotol minyak kayu putih untuk menghirup rindu yang tidak terkendalikan. Kini dia sudah pulang dan aku tahu bahwa kami tidak akan membutuhkan sebotol minyak kayu putih lagi untuk mengusir rasa rindu yang menggema malam demi malam.

Cinere, 3 Nov '11
21:43