Minggu, 11 November 2012

Deleted Chapter from #Percaya


Sebagai bentuk apresiasi saya kepada pembaca #Percaya yang selalu membuat saya tersenyum dan terharu. Bagian ini adalah bagian usang yang sesungguhnya ada di dalam draft, tetapi sengaja dibuang oleh editor karena memang tidak perlu. Namun, saya sendiri selalu ingin tahu bagian "dibuang-sayang" dalam setiap karya milik orang lain. Berikut ini adalah bab yang dibuang, yaitu, bab kedua, bab ketika Tintani kabur dari pesta ulang tahunnya sendiri. Enjoy! :)

* * *

Malam ini seperti biasanya Jakarta dipenuhi dengan lampu-lampu di sepanjang jalan yang seakan tak pernah lelah memamerkan diri bahwa kota ini adalah big city. Sam hanya diam sambil menatap jalanan yang kian sepi sementara Tintan menyetir di sampingnya. Keduanya masih mengenakan dress. Tintan menggantung stiletto-nya di bawah pegangan yang tertempel di langit-langit mobil sementara ia bertelanjang kaki mengatur rem, gas, dan kopling bergantian.

Ini bukan pertama kalinya Tintan berulah hingga saat pulang nanti ia bisa membuat orang-orang seisi rumah terbangun karena panik. Memikirkan tentang apa yang salah pada diri ayahnya (atau dirinya sendiri terkadang) tidak pernah ada habisnya. Normal bagi anak seumuran Tintan untuk mencari perhatian kepada ayahnya dalam batas yang wajar, yang tidak normal adalah mencari perhatian ayahnya dengan cara yang tidak wajar. Salah satunya seperti yang dilakukannya sendiri seperti malam ini.

Malam ini bukan malam pertama kalinya Tintan berulah. Tintan pernah membuang handphone-nya ke parit di depan sekolah lalu tidak pulang sampai larut malam hingga Sofyan dan Anti kebingungan mencari Tintan seharian. Waktu masih lebih kecil lagi, saat Tintan SD, ia pernah menghilangkan tas kerja ayahnya yang membuatnya dimarahi habis-habisan sampai Tintan menangis dan perlu satu hari bagi Anti untuk meredakan anak kecil yang terkejut melihat kemarahan sebesar itu keluar dari jiwa ayahnya sendiri. Tintan juga pernah menabrakkan mobil, menjatuhkan lemari, menyemprotkan saus ke seluruh lantai kamar tidurnya seakan Tintan baru saja bunuh diri, membuat rumah banjir dengan membocorkan ledeng di dapur, kabur lalu tinggal di rumah Sam berhari-hari, dan beberapa insiden lainnya yang bahkan Tintan sendiri lupa pernah melakukannya.

Tintan berkali-kali mendongak ke depan dashboard dari dalam mobilnya memerhatikan apakah lampu merah di jalanan ini rusak atau tidak. Ia kaget sendiri melihat penunjuk detik di samping lampu merah masih menghitung mundur 230 detik lagi. Tintan memainkan gasnya seakan tidak sabar menunggu penunjuk waktu itu segera berganti dari cahaya merah menjadi cahaya hijau.

"Tintan...," bisik Sam panik melihat Tintan, seakan tahu malapetaka apa yang akan dilakukan Tintan sebentar lagi.

Bunyi gas terdengar mengaum-ngaum seakan ada yang mengajak balapan malam itu. Ada kilatan perasaan kesal di mata Tintan ketika memainkan gas sambil melihat penunjuk waktu yang terpampang di samping lampu merah. "Pegangan, Sam!" suruh Tintan tenang.

Sam buru-buru menarik seat belt yang lupa ia pasang sebelumnya. Setelah terdengar bunyi klik dari seat belt yang dipasangnya, cepat-cepat ia mengaitkan tangannya di bawah pegangan fiber yang terletak di langit-langit mobil. Begitu lampu merah berganti menjadi angka nol dan berubah warna menjadi hijau, Tintan lekas menginjak kopling, memindahkan persneling dari gigi tiga ke gigi satu dengan terburu, kemudian melepas kopling, dan menginjak gas dengan cepat. Ada bunyi decitan panjang yang bergesek dari ban mobil Tintan malam itu sebelum ia menyerbu jalanan kosong di depannya.

Teknik nge-drift ini Tintan dapat dari Laura. Tidak biasanya Tintan menggubris saran Laura, tapi kini Tintan melaju kencang malam itu di sepanjang jalan, berharap rasa kesalnya bisa terjatuh di jalanan malam yang kosong. Cahaya dari lampu kota dan lampu-lampu di papan iklan dan pusat perbelanjaan seperti siluet yang berlari dengan cepat dari samping jendela mobilnya. Tidak begitu lama ia mengebut, jalannya kembali melambat ketika melihat ada lampu merah lagi dari kejauhan. Sampai saat itu, aksi gila Tintan berhenti ketika melihat Sam yang kesulitan mengambil napas sambil menatap kosong ke depan jalan. Tintan tertawa terbahak-bahak melihat sahabat yang duduk di sampingnya dan beberapa detik selanjutnya tanpa sadar Tintan telah kehilangan alasan mengapa ia memutuskan kabur dari acara ulang tahunnya sendiri. Sam selalu mampu membuatnya lupa sejenak pada masalah yang dihadapinya.

Tintan memperhatikan Sam yang setelah acara nge-drift tadi kini hanya duduk terdiam di samping Tintan. Ini bukan pertama kalinya Sam harus menemani Tintan berulah. Di saat seperti ini Sam adalah malaikat pasif yang bisa membuat Tintan merasa tenang, cukup ada Sam diam di sampingnya, Tintan akan merasa lega. Sam mempunyai kesabaran yang luar biasa. Bagi Tintan, Sam adalah sahabat sejatinya jauh dibanding Cathy dan Laura. Sam paling tidak menuntut, paling setuju apa kata Tintan, paling tidak peduli pada kata dunia tentang pakaian Tintan yang tidak match dengan bawahannya, paling anti gosip-gosip murahan di sekolah, dan satu-satunya cewek di popular clique yang berpenampilan geek yang bisa masuk jurusan IPA, dan anggota ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (meski tadinya ide masuk kelompok KIR ditolak habis-habisan oleh Cathy dan Laura). Sam sungguh menjadi dirinya sendiri. Kadang Tintan sendiri iri pada Sam.

Setelah aksi ngebut tadi, sepanjang sisa malam itu mereka habiskan hanya dengan berputar-putar di jalanan ibu kota dari ujung ke ujung. Tintan melakukannya sampai ia benar-benar lelah dan segala rasa kesal pada ayahnya benar-benar hilang. Belum sampai Tintan mengantar Sam pulang ke rumahnya, sahabatnya yang sedaritadi menemani di kursi penumpang sudah jatuh tertidur.

Minggu, 21 Oktober 2012

Peluk


di atas bau rumput bekas hujan tadi malam
kunikmati kau dalam adamu, dalam caramu
di dalam riuh rendah suara di dekat suara
kudengar hatiku melewati hadirmu

di batas senyumanmu aku memutuskan berhenti
lalu kamu diamdiam berlari ke dalam hati
mencuri yang seharusnya tidakboleh dicuri
lalu kamu mencuri, kamu pencuri

adalah kamu, rasa yang datang merapat
terus menjauh seperti sekiranya sementara
malam ketika kita berpagut dalam pelukan
menit-menit berhenti dalam dekapan




aku hanya mampu mengerang berang
dalam bayang dalam layang dalam sayang
air dari mata dan hati jatuh ke pipiku
tidak bisakah aku berhenti kehilangan?

lalu jatuh dalam lubang yang sama berkalikali
aku seperti keledai terbodoh yang pernah ada
selalu kucoba namun aku tak mampu
tak merindukanmu

tidak bisakah kita memberi jeda pada waktu dunia
saling berhenti di tengah jalan lalu saling memeluk?
atau ditambah mencium atau berpagut?
karena rindu ini tidak lagi mampu diredam, aku remuk.

bukankah kita tahu sama tahu
kita tidak dapat kekal dalam ikatan
pun cinta yang kusemai tanpa perlu kautahu
aku berharap pada peluk yang menusuk

engkau samudra luas yang membiru
aku yang memeluk dalam relung dan ombakmu
seperti saat kita pernah berjalan di atas pasir
menyusuri hati masingmasing sambil menerus berpeluk

harusnya aku telah melupakanmu
dalam bayang dalam deru dalam napsu
namun aku tak bisa  melupakan
semua bayang semua deru semua napsu

malam menjauh pun denganmu
lagilagi kita terpisah
maukah kau sekadar berhenti lalu memelukku kembali
dan mengatakan semua baikbaik saja?

Lalu ketika rasa ini
hanya tinggal gelombang
dan pergi menjauh
kau benar-benar tiada

kenapa jatuh cinta semudah ini?
semudah kau memberi pelukan padaku.
tapi, kenapa dicintai sesulit ini?
sesulit kau mengatakan cinta kepadaku.

Sabtu, 06 Oktober 2012

True Love


Hai, Kamu, maaf aku harus tulis di email karena akan kepanjangan kalau aku nulis lewat chatting atau SMS. Kamu, semakin besar harusnya aku semakin belajar bagaimana caranya harus menghadapi hidup, bukan? Dan kamu salah satu orang yang membuat aku belajar bagaimana caranya menjadi terus kuat dan "hidup". :)


Entah kamu sadar atau nggak, aku udah 3 tahun 6 bulan hidup tanpa kamu, ketika  akhirnya kita harus saling terpisah dan hidup tanpa hubungan lagi. Ketika akhirnya kamu kuliah di Belanda, lalu kamu pulang lagi ke Jakarta dan semuanya semakin berbeda. Kadang, aku mikir, kenapa ya kita harus banget hidup dalam sebuah hubungan, lalu menggalaukan diri sendiri dan mellow? Jadi, aku baca sebuah artikel yang ditulis Sharmi Shotu kalau sebuah hubungan itu cuma tipuan dunia. Kita percaya bahwa kita telah disatukan dengan orang lain dalam proses ritual atau kata-kata, "Aku suka, jadi kamu mau jadi pacar aku?" lalu orang di depannya mengangguk dan jadian, ketimbang kita harus percaya pada hukum alam yang bilang kalau kita harus menerima dan merengkuh kesendirian kita baru setelah itu kita bisa mengalami cinta sejati. Aneh, ya? Atau aku yang tiba-tiba jadi aneh nulis begini ke kamu? Hehe.

Aku masih sayang sama Kamu, tapi sekarang sama sayangnya seperti aku sayang Mamaku, keponakanku di Duren Sawit, anjing-anjingku di rumah, buku-bukuku di rumah. Aku, pada akhirnya, belajar kalau cinta sejati akhirnya nggak pernah mengenal ikatan atau hierarki. Dan bukan mustahil kalau akhirnya aku cinta sama kamu tanpa merasa kamu harus ada dalam kehidupan aku, Kamu. 

Setelah baca tulisan Mbak Sharmi, aku tahu sekarang aku lega, Kamu. Karena aku ikhlas. Dan kamu, mantan terbaik yang pernah ada dalam hidup aku. Aku yakin masa depan kita berdua cerah. Aku harap suatu saat kita bisa lagi ngopi-ngopi tanpa rasa canngung. Atau lewatin malam bareng lagi di rumah kamu di Pondok Kopi atau di rumahku di Cinere? Atau nyanyi lagu "I Don't Miss Your Water"-nya Craig David dengan sangat soulful di dalam mobil kamu?

Akhirnya, lewat email ini, aku cuma mau bilang, kalau akhirnya, aku bisa berjalan terus. Tiga tahun enam bulan ini, aku masih terperangkap selalu mikirin kamu dan itu membuat aku nggak bisa terima orang baru yang datang buat aku. Beberapa orang udah berkorban atas keegoisan aku dengan mempersalahkan kamu. Mulai sekarang dan baru sekarang, aku mau lepasin kamu, seperti kamu bisa lepasin aku. Aku lega akhirnya bisa nulis ini. Lega bisa sejujur ini. Kamu, aku bisa move on mulai sekarang. :)


Milikmu dalam Kemurnian,
Diego.

Kamis, 27 September 2012

Berjalan dengan #Percaya




Waktu kecil, ketika sering ditanya orang saya hendak menjadi apa, saya selalu menjawab ingin jadi penulis. Tak jarang cita-cita saya terus berubah sering bertambahnya tahun di dalam hidup saya, kadang pula saya menjawab ingin menjadi pelukis, profesor, bahkan penari. Yang mengherankan adalah saya benar-benar bisa menjadi apa yang saya cita-citakan itu meski beberapa cita-cita tidak serius saya garap, dan hanya cita-cita tentang profesor yang belum saya raih.

Di rumah saya masih punya tiga buah kanvas yang ditutupi dengan lukisan saya, medali kemenangan dalam kompetisi dance se-Jakarta, dan juga sebuah buku tulis Kiko yang isinya saya tulis sendiri dengan cerita bersambung. Dari semua cita-cita, baik yang sudah saya raih maupun yang belum, --that-Professor-thingy-for-sure-- penulis adalah cita-cita yang berkelanjutan. Menulis adalah pekerjaan yang tidak akan pernah berhenti saya lakukan sampai suatu hari nanti saya tidak punya daya lagi untuk menulis. Seperti halnya segala perjalanan yang banyak orang lain lakukan hingga melihat bukunya sendiri terbit, pasti ada awal untuk memulainya. Banyak yang meminta saya menuliskan cerita di balik lahirnya #Percaya. Jadi, apa salahnya kalau saya menceritakan kepada teman-teman bagaimana Percaya bisa menjadi sebuah buku dan akhirnya diterbitkan oleh Gagas Media :)

* * *

Adalah seorang Kak Gita Romadhona yang dengan baik hati setelah saya ditolak berkali-kali oleh berbagai penerbit buku yang tidak memberikan respons terhadap buku saya, sampai yang berkata datar-datar bahwa buku saya tidak layak terbit. Padahal alasan merekalah yang saya butuhkan untuk membuat saya belajar lebih baik. Hanya ada dua penerbit yang saya ingat menjelaskan alasannya mengapa novel saya yang waktu itu berjudul Bintang yang Bermimpi tidak layak terbit oleh penerbit-penerbit itu.

Waktu itu bulan Oktober tahun 2010, ketika saya dikenalkan oleh Kak Gita Romadhona kepada Kak Christian selepas Kak Christian menjadi pembicara di kampus saya dalam seminar menulis kreatif. Dengan segan saya berkenalan dengan Kak Chris dan langsung memberikan naskah beserta brief singkat mengapa novel saya layak terbit, kelebihan, sinopsis, dan biodata diri saya dalam satu paket. Kami berbicara sebentar, sebelum akhirnya Kak Chris bilang kalau saya akan ditelepon setelah naskah saya selesai dibaca.

* * *

Sekitar satu minggu kemudian, di dalam kelas, saya mendapat telepon dari Gagas Media, waktu itu Kak Chris bilang kalau naskah saya sudah dibaca dan saya diminta ke kantor Gagas. Bukan main senangnya saya karena berharap kalau dipanggil ke kantor seperti ini berarti novel saya diterima, mana mungkin saya jauh-jauh dipanggil tapi nyatanya tidak diterima, kan?

Saya datang disambut oleh Kak Christian di teras belakang kantor Gagas Media yang lebih mirip rumah mewah. Beliau mengatakan bahwa naskah saya belum layak terbit, terlalu "aku" penceritaannya, saya hanya mengangguk dan terus mengangguk saat Kak Chris memberikan pelajaran tentang menulis novel dan referensi bacaan yang harus saya baca sebelum menulis, tanpa Kak Chris tahu mungkin betapa sedihnya saya. Sampai tiba waktunya Kak Chris menanyakan kepada saya apa motivasi saya menulis, kemudian saya diam, yang ada hanya hening. Saya menatap lekat mata Kak Chris hingga pandangan saya mengabur karena air yang menggenang di pelupuk mata saya, "Saya... mau bahagiain Papa Mama saya, Kak." Sesederhana itu. Kalau teman-teman sudah membaca post saya sebelumnya, kalian pasti tahu cerita hidup apa saja yang telah saya lalui bersama kedua orangtua saya. Mengingat mereka, membuat saya tidak malu untuk menangis di depan Kak Christian. Kak Christian menenangkan saya, memberikan saya tissue, dan membuat saya bangkit kembali. Sepanjang hari itu, sampai langit gelap, berdua Kak Christian, saya membuat plot di teras belakang kantor Gagas Media. 

* * *

Hari-hari setelah saya menangis di kantor Gagas, saya isi dengan mengerjakan PR yang telah diberi oleh Kak Christian, salah satunya adalah membaca 40 novel yang bergenre sama dengan novel yang akan saya buat. Membaca 40 novel adalah harga mati bagi setiap penulis sebelum menulis agar tulisannya jauh lebih matang. Kesuksesan seorang penulis juga ditentukan dari kuantitas penulis tersebut membaca buku. Penulis yang jarang membaca buku akan terlihat dari tulisan mereka. Salah satu aspek kegagalan naskah saya adalah ada dalam diri saya, saya memang jarang membaca buku lepas dari SMP (baca post saya sebelumnya).

Setelah membaca 40 novel, saya lanjutkan dengan menulis plot yang kemudian disetujui oleh Kak Christian. Tergenaplah sudah semua langkah-langkah yang harus dilakukan selama prapenulisan novel. Kini saya siap melakukan eksekusi terhadap proyek saya.

Saya mengambil waktu menulis di saat yang tepat, yakni saat libur peralihan semester. Liburan semester di bulan Januari kala itu saya benar-benar menolak semua ajakan liburan dari teman-teman saya dan berkutat di dalam rumah untuk menulis. Waktu menulis saya berlangsung dari tengah malam hingga menjelang pagi. Saya tidak akan masuk ke dalam kamar apabila sinar matahari belum jatuh ke atas lantai ruang menulis saya. Orangtua saya mahfum. Mereka mengizinkan saya menulis asal tidak terlalu banyak minum kopi dalam semalam. 

Setiap sore saya bangun, menonton TV, DVD, membaca buku untuk mencari inspirasi sebelum menulis nanti malam sampai menjelang siang. Sore saya akan bangun kembali. Begitu terus pola hidup saya selama sebulan.

Akhirnya, selesailah naskah pertama saya. Kemudian saya bertemu lagi dengan Kak Christian di kantor Gagas dan dengan keramahannya seperti biasa Kak Christian berjanji akan cepat membaca naskah saya. Di teras belakang, saya mulai merasa saya dan Kak Christian mulai menjadi teman curhat yang baik, segala problem penulisan saya tuangkan kepadanya.

* * *

Lepas tiga bulan, saya dipanggil Kak Christian. Inilah saatnya. Jantung saya berdegup kencang saat memasuki area kantor Gagas. Anehnya kini saya tidak berekspektasi seperti pertama kali saya berkunjung ke sini. Kalaupun gagal, saya tidak akan berat hati untuk belajar lagi karena saya suka belajar dan menjadi murid Kak Christian. Ada banyak ilmu yang saya dapat dari beliau.

Di teras belakang, saya memandang Kak Chris dengan penuh tunggu. Kemudian Kak Chris berkata, "Terima kasih untuk segala kerja keras kamu, kamu belajar banyak. Naskah seperti ini, Dear, yang aku maksud. Nanti tinggal tunggu kabar dari aku ya. Naskah ini mau aku ajukan di rapat redaksi. Kalau lolos, naskah kamu siap dibukukan." Hari itu, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat kerja keras saya berhasil sampai di tahap ini. Kak Chris pun bilang agar saya tidak berhenti di buku pertama. Harus ada buku kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Saya tahu sekarang, kalau saya sudah punya guru menulis favorit saya setelah Ibu Ani (baca post sebelumnya).

* * *

Bulan Oktober tahun 2011, ketika saya baru pulang dari kampus, saya mendapat pesan dari Kak Christian kalau naskah saya lolos rapat redaksi. Rasanya saya ingin berteriak di dalam angkot yang membawa saya pulang. Saya masih ingat, malam itu saya menangis di sepanjang jalan saya pulang. Orang-orang pertama yang saya kabarkan tentu saja Mama dan Papa. Sampai sekarang pun saya masih menangis jika ingat reaksi Mama kala itu. Mama tersenyum bahagia, kemudian memeluk saya sambil berkata, "Hebat anak Mama sekarang bisa bahagiain Mama." Saya menangis mendengar Mama berkata begitu. Perjuangan saya untuk menulis novel di larut malam hingga siang hari tidak pernah sia-sia.


Kamis, 30 Agustus 2012

Titik Balik




2001
Setiap berjalan masuk ke dalam toko buku, saya selalu mengagumi setiap nama yang tertulis di depan setiap buku. Bukan, bukan judul buku yang saya maksud, tapi setiap nama penulisnya. Saya selalu berpikir secara sempit bahwa setiap orang yang menulis buku pastilah kaya. Kaya dalam maksud materi. Sesempit itu pikiran saya. Saya hanya mampu berandai-andai bahwa setiap penulis yang bukunya terpajang setiap hari di toko buku ini pastilah orang yang berbahagia. Menulis dan kemudian bukunya dipajang. Keluar dari toko buku, saya selalu bermimpi, andai saja buku saya bisa dipajang suatu saat nanti. Ketika itu saya masih SD dan pulang dari toko buku membawa novel Harry Potter and the Sorcerer Stone.
* * *

2004
Bertambah umur, saya menyadari bahwa saya tidak bisa selalu mempunyai uang lebih untuk membeli buku. Dari kecil saya dibiasakan untuk membeli barang yang saya inginkan sendiri oleh orangtua, termasuk handphone, scooter (dulu generasi saya menyebutnya otopet), sampai buku-buku. Saya hanya mempunyai uang lebih pada saat Lebaran, Natal, dan ulang tahun. Padahal kebutuhan untuk membaca saya lebih dari itu. Sayang di antara keluarga saya, hanya Kakek saya yang suka membaca, bahkan Kakek memiliki perpustakaan kecil di rumah keluarga besar kami di Menteng waktu itu. 
Untuk menghapus rasa kecewa saya karena tidak memiliki uang untuk membeli buku, maka saya memutar akal, setiap pulang sekolah saat saya masih SMP, bukannya bermain bersama teman-teman, saya malah pergi ke perpustakaan dan mulai melahap karya-karya milik Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, kumpulan puisi dan prosa majalah puisi Horison, Sapardi Djoko Damono, dan Isbedy Setiawan. Saya malah melewati novel-novel populer dan berkutat pada bacaan sastra yang cenderung berat. Entah mengapa saya merasa normal ketika melakukan aktivtas tersebut. Teman-teman saya pun maklum, cenderung kagum, mereka malah senang saat nama saya muncul sebagai kontributor lepas di sebuah majalah elektronik. Waktu itu saya mendapat 150 ribu rupiah untuk satu artikel di majalah. Saya bahkan masih ingat uang itu saya belikan sepatu santai berwarna biru. 

Hari demi hari selama di SMP, saya habiskan dengan membaca buku di perpustakaan sekolah, terkadang saya menulis puisi dan menulis cerpen. Saya masih ingat, saya mempunyai sebuah buku khusus yang saya isi dengan cerpen-cerpen saya. Isinya tentang pengalaman pribadi yang saya bumbui kisah fiksi agar lebih dramatis. Selesai menulis satu cerita, saya izinkan teman-teman dan guru bahasa Indonesia untuk membaca dan menilai buku saya. Sungguh senang ketika saya mendapati buku saya kembali dengan coretan pujian dan karikatur gambar dari teman-teman saya. Bahkan, guru bahasa Indonesia saya mengagumi tulisan yang saya buat, walaupun beliau bilang tulisan saya cenderung melompat-lompat, macam novel detektif, macam tulisan sastrawan ucap beliau. Beliau tersenyum dan mengatakan saya harus terus menulis. Senyuman Ibu Ani, guru bahasa Indonesia terbaik saya kala itu, mengalahkan semua rasa lelah saya. Tidak ada yang lebih indah selain senyuman Ibu Ani. Kala itu dalam dunia kecil saya, Ibu Ani adalah guru besar bahasa Indonesia yang paling saya kagumi.

* * *

2006
Saya mengalami titik balik dalam hidup saya. Saya gagal dalam tes masuk SMA St. Theresia kala itu. Dari TK sampai SMP saya habiskan dengan belajar di Santa Theresia. Saya hidup, tumbuh, bernapas, dan bermain di Santa Theresia. Ayah dan Ibu saya bilang saya berkembang lebih baik di sekolah swasta itu, bukan di sekolah negeri yang isinya anak-anak malas semua. Hidup saya hancur. Saya menangis tidak berhenti. Rasanya dunia jatuh di atas kepala saya. Saya sakit saat mengikuti psikotes ke SMA. Mungkin hal itu membuat saya tidak konsen saat mengerjakannya. Saya melepaskan teman-teman yang bertumbuh dengan saya dari TK. Mereka sudah seperti keluarga saya. Titik balik ini memengaruhi kecintaan saya juga terhadap menulis, terutama kepada dunia membaca saya.

Saya diterima sebagai siswa di SMA Negeri 1 Jakarta. Tidak jelek menurut orang-orang, malah cenderung bagus. Namun itu tidak berlaku bagi saya, semua sekolah negeri sama saja. Isinya anak kampung semua. Reputasinya jauh di bawah Santa Theresia. Saya pasti akan menghabiskan diri menjadi anak pendiam dan selalu pergi ke perpustakaan setiap hari. 

Yang pertama saya lakukan saat hari pertama MOS di sekolah ini adalah terdiam melihat kenyataan di dalam gedung sekolah. Oke, mereka semua bersih dan tidak seburuk dugaan saya, tapi tetap saja sekolah negeri jauh di bawah ekspetasi saya. Saya masih menjadi anak pendiam dan berharap hidup saya akan lebih menyenangkan dengan melihat perpustakaan sekolah ini. Tahukah kalian apa yang saya lihat? Perpustakaan sekolah ini tidak lebih baik dari perpustakaan di Santa Theresia. Jumlah bukunya tidak lebih dari 10% jumlah yang ada di perpustakaan Santa Theresia. Buku-bukunya juga hampir sumbangan dari ikatan alumni sekolah ini. Hanya sedikit yang terdapat cap sekolah. Menyedihkan, batin saya dalam hati. 

Langkah berikutnya adalah pemilihan ekskul di sekolah ini, saya bimbang untuk memilih antara Mading atau Hip Hop. Jujur saja, Hip Hop lebih menggiurkan. Dari kecil saya sudah menyukai dunia tari, suka menari sendiri dan yang paling penting adalah kakak-kakak senior di kelas Hip Hop adalah anak populer di sekolah ini. Belum seminggu saya sekolah di sini, saya sudah terpengaruh oleh gaya anak-anak di sekolah ini untuk menjadi populer. Maka, lupakan soal dunia tulis menulis. Saya mengambil jalan lain, saya mau menjadi orang lain. Saya memutuskan mengambil Hip-Hop dan berusaha menjadi populer di sekolah ini.

* * *

2008
Katakanlah saya mendapat semua yang saya inginkan dalam hidup saya di SMA ini. Populer, menjadi Kapten Hip Hop, dikenal seluruh warga sekolah, memberikan piala untuk sekolah dalam lomba dance se-DKI. Damaikah hati saya? Belum. Sampai saya bersahabat dengan sekumpulan teman dari organisasi Rohani Kristen SMA 1, mereka mebawa saya ke arah yang berbeda dalam hidup saya. Mereka yang membuat frasa titik balik menjadi berkat dalam hidup saya. Mereka yang membuka mata saya bahwa tidak semua teman di sekolah negeri adalah anak kampung dan pemalas. Bersama mereka, saya berjalan dengan rasa percaya. Di antara sahabat Rokris saya itu, adalah Keke, sahabat yang lekat dengan diri saya. sampai-sampai kami dijuluki sahabat skrotum, karena ke mana-mana kami selalu berdua. Pacar Keke juga anak Rokris sama seperti kami. Dari Keke-lah saya belajar menjadi diri saya sendiri, belajar menerima segala hal, dan mensyukuri hidup. Di SMA yang pernah saya sebut kampungan ini, saya malah mendapat sahabat layaknya saudara sendiri.

Akhir tahun 2008, yang seharusnya tahun penuh sukacita untuk merayakan segalanya di dalam hidup saya. Saya mengalami titik balik terdahsyat di dalam keluarga kami. Saya, kakak, Papa, dan Mama, diusir dari rumah kami sendiri. Rumah kami di Menteng memang telah dijual sejak enam bulan lalu. Uangnya bahkan sudah Papa terima dari pembeli rumah yang kaya raya. Sebenarnya bisa saja kami pindah sejak enam bulan lalu, tapi Papa meminta kepada pembeli rumah untuk bersabar sebentar sementara rumah kami di Cinere sedang dibangun. Lagipula saya masih bersekolah di Jakarta Pusat, Kakak masih kuliah di daerah Salemba. Sang pembeli rupanya mengiyakan keinginan Papa.

Awal Januari semuanya tidak bisa dibendung lagi. Sang pembeli tiba-tiba masuk ke rumah kami bersama istrinya, kemudian marah-marah kepada saya, kakak, dan asisten rumah tangga kami sementara Papa dan Mama masih menginap di Cinere yang belum pantas untuk dihuni. Ketika sang pembeli sudah mengancam kami untuk segera keluar dari "rumahnya", saya menangis di ruang keluarga kami. Minggu depan rumah kami harus sudah bersih. Saya masih menatap lekat rumah kami. Rumah yang menjadi saksi hidup saya selama 18 tahun. Saya mengamati setiap sudut ruangan dengan mata mengabur akibat air mata yang menumpuk di kantung mata. Teman-teman saya datang, Kina, Edo, Heni, Ipah, Pute kala itu, menghibur saya yang malam itu masih sedih harus secepatnya keluar dari rumah. Kami menghabiskan malam yang penuh hangat itu di sebuah warung makan di bilangan Menteng. Bersama sahabat-sahabat yang pernah mengisi hidup saya kala itu, masalah hanyalah serpihan debu yang hinggap di baju.

* * *

Maret 2009
Saya masih bersekolah. Malah hampir Ujian Nasional. Saat Papa bingung mencari tempat kos untuk saya sementara tinggal di Jakarta, adalah Tante saya yang bernama Bou Tuti menawari sebuah kamar kosong di bilangan Duren Sawit. Di sana, saya tinggal selama tiga bulan. Lumayan lebih dekat menuju sekolah dibanding jika saya harus menempuh perjalanan dari Cinere. Namun rupanya tinggal di Duren Sawit jauh dari kata gratis. Saya harus belajar untuk mandiri, layaknya anak yang memang tinggal indekos. Saya harus mencuci dan menyeterika baju sendiri, kadang-kadang masak sendiri, dan mengatur uang mingguan yang diberikan Mama. Lebih seringnya setiap pagi saya diantar oleh Bou dengan mobil menuju ke sekolah. Begitulah titik balik dalam hidup saya, saya kira hanya itu. Tapi ternyata belum. Ada titik balik yang belum dahsyat yang hendak saya ceritakan.

Sejak bulan Januari, saya mengambil les untuk persiapan SNMPTN. Saya belum tahu mengambil jurusan apa, tapi yang saya tahu saya harus masuk UI. Pergolakan batin dan titik balik serta keinginan untuk membahagiakan Papa dan Mama sejak melihat raut sedihnya saat tahu anak-anaknya yang harus menghadapi si pembeli rumah mengusir kami dari rumah, membuat saya bertekad dalam hati sekali ini saja untuk membahagiakan Papa dan Mama dengan berhasil lolos SNMPTN. Tuhan rupanya berkehendak lain lagi, saya mendapati enam sahabat baru di tempat les saya di Nurul Fikri. Bertujuh, kami berjuang untuk bisa masuk UI. Mereka saya panggil Uta, Wening, Wei, Ninda, Aza, dan Uta cowok. Kami saling menyemangati agar siap menghadapi SNMPTN. 

Dalam satu kesempatan saya bingung harus mengisi apa di pilihan kedua. Papa menyuruh saya untuk mengambil hukum, saya mengiyakan dengan alasan membahagiakan Papa. Tentor saya menyarankan agar mengambil Sastra Indonesia, "Nggak tahu kenapa Kakak lihat kamu punya potensi di sastra, Diego. sebaiknya kamu ambil Sastra."

Ketika mendengar ucapan tentor saya kala itu, pikiran saya terputar bersama waktu kembali ke masa SD ketika setiap kali saya diantar Papa ke toko buku demi membeli buku-buku cerita yang saya senangi, perjuangan saya sampai tidak tidur demi menyelesaikan cerita bersambung di buku tulis penuh coretan teman-teman dan kesan Ibu Ani, demi Chairul Anwar, Sapardi Djoko Damono, Pramoedya Ananta Toer, dan penyair di majalah Horison yang bersamanya saya bertumbuh di pepustakaan besar di Santa Theresia. Saya mantap mengambil sastra. Bahkan setelah ujian SNMPTN, saya berharap masuk Sastra. Saya berdoa berkali-kali tiap malam. Kalau jalan saya untuk masuk sastra maka izinkanlah. Sekali ini saya mohon.

Agustus 2009.
Saya masuk Sastra Indonesia UI. Saya berlonjak kegirangan mendengar berita ini dari teman-teman les saya. Kami bertujuh masuk UI. Uta dan Wening masuk Psikologi, Aza Akuntansi, Ninda Hukum, Uta cowok Ilmu Komputer, dan Wei masuk jurusan Biologi. Doa dan usaha kami tidak sia-sia. Dan,benar saja beberapa bulan otak kami serasa dicuci, banyak pengetahuan baru yang saya terima dengan belajar di kampus ini. Ilmu berharga tentu saja saya dapatkan dari guru terbaik di dalam hidup saya, pengalaman. Di post berikutnya akan saya jabarkan bagaimana saya berjalan dengan novel pertama saya, bagaimana saya berjuang bersamanya. Cerita ini adalah awal bagi saya untuk meraih lebih banyak lagi hal di dalam hidup saya. Akhirnya saya menjadi kaya. Kaya seperti penulis yang buku-bukunya telah dipajang di dalam toko buku. Saya merasa kaya atas semua pengalaman yang telah menjadi guru terbaik dalam hidup saya dan terus menjadi kaya karena pengalaman di depan telah siap menanti saya.

Jumat, 27 Juli 2012

172


Kalau saja beberapa di antara kami bukan teman satu jurusan, satu fakultas, satu organisasi, atau satu apa pun yang lain: kami tidak akan saling mengenal dan mendekat. Kami tidak akan pernah tahu bahwa perjalanan 45 hari ke depan akan mengubah segalanya: mengubah wajah-wajah dingin, mengubah sekat-sekat yang kami buat, mengubah program-program melebur menjadi satu ikatan persaudaraan yang kuat. Kami mungkin hanya saling melihat dengan ekor mata atau saling berbisik menanyakan siapa nama anak yang berbaju merah yang menjadi komandan pleton itu, siapa yang menyiapkan doa sebelum makan di marinir, dan sebagainya.

Kemudian beberapa dari kami mulai berinisiatif untuk membentuk ikatan yang lebih dalam satu sama lain: ketika betapa sulitnya kamu menghabiskan banyak makanan sendiri dengan waktu terbatas, seorang, dua orang, kemudian semua "teman" di dalam satu pleton mulai menjulurkan tangannya untuk membantumu menghabiskan makanannmu demi tidak mendapat hukuman dari danki. Ketika matamu yang merah dan mulai memejamkan mata barang sejenak karena kurang tidur, kepalamu mulai terantuk berkali-kali dalam posisi duduk di dalam aula marinir, beberapa "teman"-mu yang lucu akan menyegarkan hari-harimu dengan lawakannya, sebut saja Dian May, Cem, Kak Ojan, sampai Sopa. Untuk semua kerja sama yang baik, tindakan heroik yang kami coba lakukan semaksimal mungkin di Tanjung Pasir, bagaimana saya menahan tangis sebisa mungkin saat rapat skenario drama pembelaan di dalam tenda peserta pria untuk 35 teman kami yang dipanggil menghadap "atasan", saat salah seorang "teman" mengatakan untuk menggagalkan saja siapa yang tidak lolos tes kali ini, saya menahan tangis ketika seorang "teman" belum sadar bahwa kami semua berjalan pada jalan menghilangkan status "teman" ini menjadi saudara.

Jadi "teman", cobalah kamu ingat-ingat, siapa yang berjalan bersamamu menghadapi hanmars 7 kilometer mengitari separuh Cilandak; yang tidak pernah ragu untuk menghabiskan buah pear-mu yang habis digigit oleh gigi "teman" lain; yang membantu menyelamatkanmu ke pinggir lautan saat kau panik menyelesaikan sea survival di Tanjung Pasir; yang tidak segan memberimu sedikit obat vitaminnya ketika mendengar kamu mulai bersin dan terlihat pusing; yang tidak akan malu untuk memakai baju yang salah denganmu ketika semua orang memakai baju merah sementara kamu berdua hanya memakai baju biru; yang meminjamkanmu kaus kaki ketika kamu tidak membawa satu pun kaus kaki ke Tanjung Pasir yang dasar lautnya penuh dengan kerikil tajam; yang menghiburmu dengan canda tawanya saat dirimu penuh tekanan dari "atasan", PL, ataupun marinir; yang menjagamu saat kau jatuh sakit di titik pengabdian sehingga sampai kini kau bisa membaca surat ini di atas tempat tidurmu yang nyaman; dan yang paling penting adalah ketika kamu diberikan begitu banyak pelukan dan air mata yang bergulir begitu kamu berpisah dengan orang-orang yang tidak lagi kamu anggap "teman" selama ini.

Bukan lagi "teman" ketika yang ada hanya isak tangis dan tawa bahagia ketika kamu menjalani 45 hari yang mengubah hidupmu ini. Adalah "saudara"mu, 172 saudara baru yang nama-nama mereka tidak segan akan kausimpan dalam hati dan kaurapalkan dalam doa di malam hari. Kau tidak akan segan memeluk mereka dalam mimpimu dan tanpa sadar kau akan tersenyum mengingat cerita yang tidak akan berkesudahan untuk diceritakan kepada anak cucumu nantinya. 

Maka saudaraku, ketika kata terima kasih saja belum cukup untuk 45 hari yang begitu menyenangkan ini, maka kata-kata ini tidak akan pernah selesai untuk dibaca dan dituliskan kembali dengan kenangan-kenangan yang pernah kita anyam bersama dimulai dari pembekalan di auditorium FH, bertemu untuk jatuh cinta pertama di gedung PPMT, merapatkan hati di marinir, menguatkan pelukan di Tanjung Pasir, beberapa saudara terpisah ke Surabaya dengan tangis dan pelukan (selamat jalan Pahlawan Muda), melabuhkan lelah dan tawa di atas KRI Teluk Celukan Bawang, sampai merajut cerita di titik masing-masing. Then, give me a thousand sorries for my beloved brothers and sisters if your name disappear in this acknowledgment. Percayalah, bahwa kamu ada di hati kami masing-masing.

Untuk Mita, Icha, Ria, Ari, Novi, dan Fira kalian adalah cerita yang tidak akan pernah selesai kita habiskan bersama satu sampai dua malam saja, belum pernah ketika suatu hari saya bermimpi mendapat tangisan yang menjerit dari anak-anak satu pulau saat kita akan pulang.

Untuk Dzihan: the best sister I never had, K2N ini seperti berlibur denganmu. Untuk Winda, Dian, Sopa, dan Evan malam terakhir di buritan kapal yang gelap, berjanjilah apa yang kita lakukan itu hanya rahasia antarkita saja :p

Untuk Kak Ojan, Cem, Mama Asti, Azza, Uli, Clarissa, Kak Owi, Rista perempuan, Kevin, Hesty, Arga, Syahdan, tanti, Dimas, Delisa, Uung, Resti, Dwi, saya masih belum paham kalau tidak ada kalian, perjalanan ini akan hambar tapa tawa dari kalian.

Untuk Destiny's Child: Kelly "Rista" Rowland dan Michelle "Didit" Williams, akumulasi enam malam di atas KRI cukup bagi kita untuk tahu karakter masing-masing, terima kasih untuk hari-hari menyenangkan di atas kapal bersama kalian.

Untuk KM, Amel, Ayi, Andre, Adi, Yohana, Reza, Tomo, Areta, Anida, bagi saya kalian adalah teman-teman yang tidak segan membantu siapapun yang kesusahan.

Untuk Rifky, Lukman, Ba'ank, Ririn, Akbar, Zara, teman-teman pleton 3 kompi 2, bagaimana mungkin kalian mudah dilupakan, terutama untuk Lukman, sahabat yang saya temukan dengan segala kebaikan hatinya.

Untuk semua yang belum disebutkan namanya, sekali lagi percayalah bahwa kalian tidak akan mudah dilupakan. Salam dan peluk untuk 172 saudara baru.

Senin, 28 Mei 2012

Resensi Buku: Rumah di Seribu Ombak


Di Kalidukuh, Singaraja, Bali Utara, sepasang sahabat bernama Samihi Ismail dan WayanYanik bershabat dalam indahnya perbedaan mereka. Samihi, pemeluk agama Islam yang tekun beribadah, dan Wayan Yanik, pemeluk Hindu yang selalu sumarah dan taat terhadap agamanya, saling berteman akrab, berbagi cerita, merangkai pahit manisnya jalan kehidupan bersama. Mereka saling mendukung bersama, misalnya, pada saat Lebaran, Yanik ikut merayakannya bersama keluarga Samihi, sedangkan saat Nyepi, Samihi menghormatinya dengan tidak keluar dari rumah dan ikut menyepi bersama. Kemudian Yanik membantu Samihi untuk latihan sebelum lomba qiraah dimulai di kampung mereka. Qiraah adalah lomba melantunkan ayat-ayat Al-Quran dengan tembang yang merdu. Samihi adalah wakil kampung mereka dalam kompetisi Qiraah se-Bali Utara.

Cerita demi cerita yang berhubungan dengan Bali pun banyak dikupas di dalam novel ini, seperti kejadian bom Bali di Kuta, Legian, pada tahun 2002, agama Islam dan Hindu sebagai sosiologis latar agama di Singaraja, Pantai Lovina dan ikan lumba-lumba, juga masalah pelecehan seksual turis asing terhadap anak-anak lokal Bali diceritakan pula di dalam novel ini.  

Rumah di Seribu Ombak menceritakan kepada kita secara apik bagaimana persahabatan dapat dibangun di atas peliknya perbedaan. Contoh kecil perdamaian dunia dapat digambarkan lewat Samihi dan Yanik. Mimpi dan perjuangan diceritakan dengan mengalir oleh penulisnya, Erwin Arnada. Tampak betul betapa telitinya penulis melakukan riset sebelum menulis novel Rumah di Seribu Ombak ini. Intinya, buku ini ingin memberitahu kepada pembaca bahwa persahabatan dan masa depan berjalan beriringan. Sahabat adalah manusia yang mampu menghilangkan ketakutan terbesar sahabatnya dan salah satusistem pendukung terbesar bagi keberhasilan sahabatnya. 

"Sebenarnya, rahasia yang kami jaga untuk menjadi juara adalah konsentrasi dan doa." - Rumah di Seribu Ombak (halaman 330)

Arnada, Erwin. 2011. Rumah di Seribu Ombak. Jakarta: Gagas Media.

Selasa, 22 Mei 2012

Mengapa Saya Ingin Kuliah 4 Tahun, Bukannya 3,5 Tahun?

Suatu ketika saat sedang santai menjalani kuliah Spanyol bersama seorang teman saya, Dewi, saya mengajukan hal ini padanya, "Dew, abis semester ini lo udah tahu mau kerja di mana?" Teman saya hanya memandang saya sedetik kemudian ia menjawab tegas, "Gue mau kuliah lagi."

"S2, maksudnya?"

"Nggak, kuliah lagi aja, nambah SKS. Bayar lagilah sesuai jumlah SKS."

"Emang bisa kalo udah abis 144 SKS terus nambah lagi?"

"Bisa?"

"Kok?"

"Gue mau belajar lagi aja. Gapapa dong. Bukannya gue mau jadi mahasiswa abadi, gue ngerasa belum matang aja buat keluar. Ngapain punya IPK tinggi tapi nanti gue plang plongo. Ya, gue mau belajar lagi aja."

Sampai kapan pun, belajar tidak akan pernah selesai. Di mana pun kita bisa belajar, begitu pun prinsip Dewi. Bedanya, dia punya pemahaman sendiri yang bisa saya mengerti untuk menambah pelajaran lagi. Mungkin kuliah Spanyol sampai level 3 yang jatuhnya lebih murah untuk belajar di kelas reguler dibanding kursus di LBI. Sampai sekarang misteri mengapa Dewi ingin terus kuliah belum bisa saya pecahkan, mentok sampai, "Ya, mau belajar lagi aja."

Tidak ada yang mengalahkan pengalaman hidup. Bagi saya kata-kata "pengalaman adalah guru terbaik" memiliki makna yang pada kejadian sebenarnya jauh lebih berarti. Artinya, semakin banyak pengalaman berarti semakin banyak guru berharga yang kita temui. Bukan bermaksud menyinggung, tapi saya ingin sekali bertanya pada teman-teman yang kuliah 3,5 tahun tapi belum punya rencana apa pun setelah lulus nanti. "Ngapain Kak, lulus cepet-cepet ujungnya nganggur? Liburan 3 bulan di rumah bosennya udah luar biasa. Apalagi nanti lulus terus bengang bengong planga plongo."

 
Baru-baru ini ada kakak angkatan dari jurusan lain di kampus saya, lulus 3,5 tahun dengan IPK 3.8 sekian, tapi sampai sekarang belum dapat pekerjaan apa-apa. Lalu bukan berarti saya mau memahsyurkan mahasiswa yang kerjaannya organisasi melulu tapi IP-nya NASAKOM (Nasib Satu Koma) amit-amit *ketok-ketok meja*, semuanya juga harus seimbang dan dilakukan penuh tujuan. 

 
Pilih mana? Dewi, teman saya itu misalnya, mau fasih berbahasa Spanyol dulu, maka ketika lulus nanti dia mau bekerja di Kedutaan Besar Spanyol, syukur-syukur bisa ke Barcelona, Madrid, Leon, Ibiza, dan kota-kota lain di Spanyol. Keren kan kalau udah punya tujuan. Lagian saya percaya kok, Dewi di kampus juga nggak terlalu pasif, pernah ikut organisasi, kepanitiaan sekali dua kali, nggak cuma kuliah aja buat dapat IPK tinggi tapi juga punya tujuan.

Minggu, 20 Mei 2012

Resensi Buku: The Five People You Meet in Heaven



Ini kisah tentang Eddie, seorang penjaga taman bermain Ruby Pier, yang ditunggu oleh lima orang yang dengan tak sengaja berkorban bagi hidup Eddie. Di alam baka, Eddie bertemu kelima orang itu: Manusia Biru, Kapten Perang, Ruby sang pemilik Taman Bermain Ruby Pier, istrinya, Marguerite, dan yang terakhir Tala, gadis Filipina. 

Eddie meninggal saat tengah menyelamatkan seorang anak kecil di Freddys Free Fall saat wahana bermain itu seketika macet. Novel ini memberikan gambaran kepada kita bahwa hidup setiap individu berhubungan dengan hidup orang lainnya. Disadari atau tidak, kita saling berkorban bagi kehidupan orang lain dan hal itu tidak akan pernah putus. Selalu ada lima orang yang akan menunggu di alam baka tentang kehidupan di dunia. 

Yang menarik dalam The Five People You Meet in Heaven adalah ide ceritanya. Ya, ini adalah novel titik balik pertama, yang saya baca, yang terjadi di alam baka bukan di dunia. Ide ceritanya sederhana, tentang surga dalam benak pemikiran Mitch Albom yang konsep mengenai surga ia dapatkan dari pamannya. 

The Five People You Meet in Heaven mengingatkan saya pada film The Lovely Bones yang ternyata juga diangkat dari novelnya. Mengapa The Lovely Bones? Saya mengingat kedua novel ini bermakna entah ditulis pada tahun yang berdekatan atau tidak, tetapi konsep surga bagi kedua penulis ini waktu itu adalah memiliki langit berwarna-warni. Di surga dalam kedua novel ini kita juga bertemu orang-orang yang memberikan pemahaman tentang makna kehidupan. Di dunia, kita hanya melihat dunia dari sepasang mata kita, tetapi di alam baka kehidupan di dunia dilihat dari banyak sudut.

Entah karena ini novel sepanjang masa dan juga faktor terhanyut dalam proses pembacaan The Five People You Meet in Heaven saya tidak menemukan kelemahan penulis dalam novel ini.

Salah seorang teman saya mengatakan, ketika membaca novel ini ia ingin terus berbuat baik kepada orang lain. Saat saya menutup novel ini, saya kemudian mengerti mengapa teman saya mengatakan hal tersebut. Jadi, jika Anda penyuka novel self development, coming of age, dan aliran batin, sebaiknya Anda membaca novel ini. Novel ini termasuk novel yang wajib dibaca sepanjang masa. 

I give 5 out of 5 stars

Kamis, 05 April 2012

Minggu, 01 April 2012

Hadiah untuk Abadi

Halo Abadi, sudah lama aku tidak berbicara hati ke hati denganmu. Sekarang hari ulangtahunmu, bukan? Jadi, lebih baik aku menghadiahkanmu cerita-cerita yang mungkin kau lewatkan atau perasaan-perasaan tentang kita dulu yang pernah tidak sengaja terlewatkan. Sebelumnya, aku minta maaf kalau aku sebut namamu dengan Abadi di sini. Tidak ada yang tahu nama tengahmu Abadi, bukan?

Dulu sekali, aku pernah tinggal sementara di jalan Abadi. Bukankah itu nama tengah yang tidak pernah suka kausebutkan. "Halo, Abadi, bagaimana kabarmu?" Aku selalu menyapamu begitu setiap kali kamu mengantarku pergi ke sekolah, ke mana pun sesaat aku duduk di sampingmu di kemudi mobil. Masih ingatkah kamu saat pulang sekolah saat aku bertemu seorang ibu di atas metromini. Ibu itu bercerita sebuah kerinduan terhadap anaknya yang kuliah di Prancis. Aku bilang aku mau sekolah di Prancis waktu itu kepadamu, entah sekolah apa. Sekarang aku sudah tahu aku mau sekolah apa di Prancis, aku mau sekolah menulis kreatif di Sorbonne, Abadi. Ibu yang mengajakku mengobrol di atas metromini itu membuatku rindu ibuku sendiri yang setiap hari sedang mengurus rumah baru di Cinere bersama Ayah. Aku tidak pernah sabar bagaimana rupa rumah baruku waktu itu.

Bagaimana kabar ibumu, adikmu, juga ayahmu, dan... daerah perumahanmu? Aku masih terus bertanya-tanya bagaimana banyak kebetulan yang terjadi dalam kehidupan kita. Lingkungan perumahanmu yang membuatku deja vu, ternyata teman kecilku adalah tetanggamu waktu itu, Greg. Lagu kesukaan kita bersama yang sering berkumandang di mana pun kita berada, You Don't Miss Your Water yang dinyanyikan Craig David. Masih menyimpan burung-burung bangau dari origami yang kubuat?

Kuharap kau masih menyimpan semua cerita kebetulan yang kurangkum di dalam kertas-kertas lipat yang kubentuk menjadi burung-burung bangau tersebut. Aku minta maaf jika selama berhubungan denganmu aku lebih menyukai duduk diam di sampingmu sambil menatap pemandangan dari kaca jendela mobilmu. Kurasa saat itu hubungan kita tidak akan pernah selesai sehingga aku ingin lebih banyak menghabiskan pemandangan yang menarik di sampingku. Jika dan hanya jika aku tahu waktu yang kita miliki secepat itu, aku ingin banyak menghabiskan pandangan mata hanya denganmu. Semua pelukan, ciuman hangat, kecupan kecil di pipi, tiga tahun yang lalu tetapi semuanya masih terasa jelas dalam ingatan.

Sekarang kita punya dunia yang berbeda, bolehkan aku miliki setidaknya lima menit lagi bersama denganmu di dalam mobilmu. Satu menit untuk mengucapkan selamat ulang tahun, tiga menit lagi untuk memelukmu, satu menit yang tersisa untuk mencium pipimu, dan satu menit lagi untuk memandangmu sebelum kita kembali lagi pada dunia masing-masing. Aku masih sayang kepadamu, tapi mungkin kini dengan cara yang berbeda. Masih ada sebagian tentang dirimu di sebuah ruang dalam hatiku. Mungkin suatu saat, di masa depan, kita akan bertemu di suatu persimpangan, kita mungkin akan berdiri tertegun kemudian melambaikan tangan sambil tersenyum, atau kita akan berdiri tertegun, saling menghampiri lalu bergandengan tangan berjalan bersama.

Senin, 26 Maret 2012

Resensi Buku: Jump

Kiera Shenriva, ex-captain tim cheerleader Parahyangan Vista mulai kebakaran jenggot ketika squad yang pernah dipimpinnya sendiri mulai mengalami penurunan kualitas, ditambah ketidakpedulian kapten barunya, Hers, yang ternyata malah menghina-hina kapten sebelumnya, yaitu Kiera sendiri, dan PV yang mulai tahun ini tidak mendapatkan anggaran biaya ektrakurikuler dari sekolah, padahal PV masuk 8 besar di ICC (Indonesia Cheerleading Competition) tahun kemarin. Malah, tim modern dance PIHS (Parahyangan International High School) mendapatkan anggaran biaya pendidikan ektrakurikuler tahun ini, meski ekskul itu tidak pernah becus dan tidak sekeren ekskul PV yang selalu mendapat jatah tepukan gemuruh adik-adik kelas pada saat tampil untuk acara MOS, kapten cheers PV selalu menjadi orang populer seantero PIHS, belum lagi job-job seantero Bandung yang membuat nama PIHS naik karena PV.

Semuanya berubah begitu Kiera turun jabatan, semuanya semakin tidak terkendali dan membuat Kiera semakin tak berdaya untuk menolong squad kebanggaannya. Belum lagi cemooh dan hinaan khas Hers, juga Sheila dan antek-anteknya. Beruntung Kiera masih memiliki Viani, sahabat terbaiknya, dan Jevana, cowok yang membuat hatinya kembali berdebar-debar setelah Kiera ingat pertolongan Jevana dua tahun yang lalu untuk Kiera.

Membaca novel ini saya jamin tidak akan membuat kalian berhenti membacanya. Apalagi kata-kata khas mean girl semasa SMA yang selalu cerdas dan mengena bagi saya. Betapa kreatifnya anak SMA untuk mencemooh orang lain. Siapa yang tidak bisa membalas cemooh musuhnya: dia kalah. Misalnya, ketika Kiera menyindir Jamie, antek-antek Sheilla di WC perempuan,

"Makasih ya Allah... punya gue asli. Nggak mesti tekanan batin karena jiwa gue nggak sesuai ama body gue. Amien." Lalu, aku merapikan bulu mata.

"Maksud lo gue?" bentak Jamie ngamuk.

Aku menoleh dengan santai, menatap Jamie dari atas sampai bawah, dan memutar bola mata, "Scoozy," kataku. "Who are you?" Ini ladies toilet. Jadi gue cuma ngobrol ama penghuni asli toilet ini. El-e le, de-i di, s, ladies!"

Membaca novel ini, ada kecerdasan konflik yang tertanam di dalamnya. Penulis benar-benar membuat plot dengan rapi dan tertata dari awal hingga akhir. Ada beberapa tambahan asam manis di dalam novel berupa quote dan dialog yang kadang membuat pembaca terenyuh karena persis dengan realita kehidupan sewaktu SMA dulu. Dialog asam manis itu ketika Jevana dan Kiera mengobrol di atap sekolah. Saya pikir di sinilah scene coming-of-age yang membuat Kiera selama ini sadar.

Over all, membaca novel ini tidak akan menyesal. Misalnya, saya jadi sadar kalau ingin melakukan sesuatu yang kita percayai, lakukan saja, jangan menyerah oleh keadaan yang terus menerus memaksa untuk menyerah. Justru di situlah esensi perjuangan, kita digiring lewat peristiwa-peristiwa itu sampai ke puncaknya. Percaya bahwa ujung peristiwa tersebut adalah happy-grande-ending yang selalu membuat kita belajar bahwa teori kehidupan tidak pernah salah.

I give 4 out of 5 stars :)

Daftar Pustaka
Rizal, Moemoe. 2011. Jump. Jakarta: Gagas Media.

Sabtu, 17 Maret 2012

DreamCatcher: Menjadi Penulis yang Sesungguhnya

Kalau di dalam sebuah permainan CTR, saat kita sering memainkannya ketika kecil dulu lewat sebuah PlayStation, kita diwajibkan untuk melewati setiap stage untuk mencapai kemenangan. Bukan tanpa arti, kita bisa rehat sejenak dari usaha kita setiap melewati check point di dalam permainan itu. Apa yang membuat kita ingin terus melewati setiap stage tersebut? Karena banyaknya buah yang kita dapatkan selama di perjalanan? Keinginan kuat untuk menghancurkan semua musuh yang mengganggu selama perjalanan mencapai kemenangan itu? Atau terus terganggu karena begitu bernapsu untuk melawan sang musuh besar di akhir permainan? Tapi yang lebih penting dari itu semua, tidak ada yang lebih membahagiakan selain menyaksikan tokoh utama yang kita mainkan berlompat-lompat kesenangan dan membaca tulisan yang bergerak-gerak di akhir permainan, "Congratulation, you are the winner!" Tulisan yang bergerak itu lahir karena adanya keinginan kuat di awal permainan, kalau saya mampu menyelesaikannya sampai akhir.

Saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang sederhana, tidak kurang dan tidak lebih. Dalam kesederhanaan itulah saya belajar banyak hal. Saya selalu diajarkan untuk selalu berusaha mendapatkan apa yang saya inginkan. Orangtua hanya membantu sesuai dengan kemampuan, sisanya saya sendiri yang mengusahakan. Ajaran seperti itu kemudian yang tertanam, tumbuh, dan subur di dalam kehidupan saya seiring bertumbuhnya sebuah "pohon" pribadi yang kuat.

Dari kecil saya selalu berprinsip untuk menyelesaikan apa yang selalu saya mulai. Contoh kecilnya adalah permainan game CTR saat kecil itu tadi, contoh besarnya adalah cita-cita yang selalu saya angan-angankan di dalam hati. Selain bermain game, kesukaan terbesar saya adalah menulis. Sewaktu kecil, saya tidak tahu kalau buku itu ternyata bisa dihasilkan oleh manusia yang juga sama seperti saya. Jadilah ketika kecil saya hanya terus menulis dan membaca buku-buku yang serupa kitab yang memberi napas kepada tangan saya untuk terus menggurat kata-kata di dalam pikiran saya. Yang saya tahu waktu itu saya hanya ingin menulis, menulis di buku tulis kosong, dan menunjukkannya kepada guru bahasa Indonesia dan teman-teman sekelas. Kemudian biasanya mereka akan tersenyum dan mengatakan bahwa tulisan saya bagus menurut mereka. Lambat laun "pohon" pribadi terus tumbuh dan saatnya menyatakan mimpi untuk menjadi seorang penulis. Ketika mimpi dinyatakan, tidak lagi semua orang mengatakan bahwa tulisan saya bagus. Dalam perjalanannya, semua manusia belajar untuk menjadi semakin baik, beban bertambah, dan yang harus saya lakukan untuk mewujudkannya adalah dengan terus berlatih menulis, menambah ilmu dan wawasan dengan membaca literatur, prioritaskan hal, membangun jaringan.

Masih ingat bukan, di dalam permainan terkadang kita berhasil melangkah dari stage yang satu ke stage berikutnya. Itulah representasi yang sebenarnya dari kehidupan nyata, saya melangkah lagi dengan perjuangan dan komitmen yang disediakan selebar mungkin di dalam kepala dan hati. Pencapaian terbesar saya kemudian adalah lolos SNMPTN dan menjadi mahasiswa sastra di sebuah perguruan tinggi negeri di Indonesia. Kemudian menemukan banyak jaringan yang mempertemukan saya dengan mimpi saya, bulan Mei nanti buku saya akan terbit oleh sebuah penerbit buku yang saya idam-idamkan: Gagas Media. Salah satu mimpi terbesar saya terwujud. Rasanya saya ingin melompat-lompat kegirangan seperti tokoh utama dalam sebuah game CTR.

Selasa, 13 Maret 2012

Jumat, 09 Maret 2012

Cerita tentang Taman

Di taman itu, pernah kau bisikkan rahasia kehidupan: tentang hati, harapan, kehidupan, mimpi, dan masa depan. Lalu kita bicara banyak tentang hari-hari yang kau lalui di kampus, rumah, perpustakaan, toko buku, dan danau tempatmu biasa menggambar.

Aku kemudian membentangkan cerita tentang rumah, kantor, pantai, kehidupan malam, suara laut, dan segala ingar bingar tenggat waktu tempatku biasa membuang segala rinduku tentangmu. Maafkan aku sayang, kutahu rasa rinduku terhadapmu tidak boleh dibuang, tapi semakin memikirkan tentangmu, yang kulakukan hanya ingin terus menghabiskan waktuku untuk giat bekerja.

Malam hari, adalah waktu yang paling menyebalkan dalam kurun waktu kehidupan di Indonesia tengah ini. Memikirkanmu membuatku selalu ingin menggambar di buku sketsa yang selalu kau rebut sedatangnya kau dari Jakarta ke pulau ini. Aku selalu ingin mengajarimu menggambar namun kau selalu menolak. Kau bilang gambar terbaik yang dihasilkan di atas kertas semata hanya karena kemurnian jiwa si penggambar. Tapi, kau selalu bilang akulah penggambar hati di dalam hidupmu. Mengingat wajahmu dalam malam-malam sepiku saat kau mengatakan itu selalu ingin membuatku memelukmu semakin dalam. Kamu, penulisku, maukah kamu sekadar datang malam ini, atau kita kembali ke taman tempatku dan kamu sama-sama menggambar kemarin dulu?

Aku masih ingat kau pernah bilang bahwa kau tidak peduli tahun ini akan kiamat atau apa, karena kaubilang, kau sudah miliki dua hal istimewa di dalam hidpumu. Satu, kamu miliki buku pertamamu yang telah terbit (aku masih ingat kau teriak kegirangan di toko buku di kotaku ini kemudian kau tidak peduli pada mata orang-orang yang memandang kebingungan ke arah kita berdua). Dua, saat kau tiada henti tersenyum di atas pasir Pantai Kuta, tersenyum memandangi ombak di depanmu, juga bukumu di genggamanmu, dan aku di sampingmu, kaubilang kau bahagia miliki aku di dalam hidupmu. Kubilang padamu, besok aku hendak mengajakmu kembali ke taman tempat kita sibuk dengan pikiran dan buku sketsa masing-masing. Kamu tersenyum, lalu mencium pipiku dalam-dalam.

***

Aku sedang menikmati senja di sebuah taman di negara Singapura saat aku memandang lagi gambar yang kaubuat untukku terakhir kalinya. Aku tidak tahu kau berada di mana, di dewata yang sesungguhnya? Di dalam nirwana yang penuh awan-awan buih serupa kapas, atau serupa bulu-bulu domba australia seperti katamu. Aku percaya kau telah sampai di negeri awan, meskipun kau tidak percaya dosa, kau percaya pada karma-karma yang baik. Kau telah banyak menabung karma-karma suci di hatiku, di hati semua orang yang kau senyumi, di hati orang tuamu, juga di mana kini angin membawa kecupan manis dan kehangatanmu.

Maafkan aku karena merusak gambar yang kubuat untukmu dengan dua titik airmata yang menempel di atasnya. Nanti, ketika sampai di atas nisanmu, kuharap kau tidak marah akan gambarku ini. Kuharap kau menyukainya, sebab kali ini aku sudah menepati janjiku untuk menggambar taman di negeri singa ini dengan sepenuh jiwaku dan seluruh ingatan hatiku tentang kamu.




Kamis, 09 Februari 2012

Resensi Buku: Coming Home

Amira dan Rayhan bertemu kembali setelah lima tahun perceraian mereka di Jogja, tempat Amira kini mengasingkan hati dan hidupnya dari rasa sakit yang tak tertahankan. Semuanya tidak lagi sama ketika mereka kembali bertemu, ditambah dengan hadirnya Nana, buah hati Rayhan dengan Elsa, istri Rayhan setelah ia resmi bercerai dengan Amira.

Amira dan Rayhan bermain dengan teka-teki hati yang mereka buat sendiri, sampai terkadang melibatkan Nana ke dalam hidup Amira dan Rayhan. Nana, juga kebetulan merupakan murid di TK tempat Amira mengajar. Ketika semuanya menjadi semakin dalam dan sulit, Amira dan Rayhan sama-sama dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang menjadi ujian sulit bagi masa depan mereka berdua. Bisakah mereka berdua menjawab pertanyaan tersebut? Terus berjuang atau menyerahkah Amira terhadap rasa sakit yang ditorehkan Rayhan di masa lalu? Mampukah Rayhan membuat Amira percaya bahwa ternyata wanita yang dicintainya hanya Amira di dalam hidupnya?

Membaca novel ini seperti mengurai jawaban dari pertanyaan masa kecil saya: bisakah sepasang manusia kembali mengucap janji ketika mereka sendiri yang mengakhirinya? Jawabannya: bisa.

Tata bahasa yang rapi dan indah tidak bisa dipungkiri karena latar belakang Sefryana sebagai mahasiswi Sastra Indonesia di salah satu universitas negeri di Jakarta. Premisnya sederhana, namun Sefryana mampu mengurai emosi dengan untaian kata-kata yang terus mengajak kita mengalir dalam cerita yang dibuatnya.

I give 4 out of 5 stars :)

Daftar Pustaka
Khairil, Sefryana. 2011. Coming Home. Jakarta: Gagas Media.

Kamis, 19 Januari 2012

Tentang Perjalanan


Ketika hidup lebih dari sekadar hidup, aku mencari mati yang telah mati untuk mencapai hidup. Perjalanan dari luar kereta adalah detik dan fragmen yang menjadi bingkai gambar terindah dalam semesta.

Hidup dimulai ketika mengangkat bungkus tas dan melangkah keluar gerbong kereta. Berjalan lebih dari sekadar proses melangkah. Berjalan adalah caramu menapakkan keberanian dan kekuatan untuk melewati hal yang sudah seharusnya dilewati. Maka, persetan pada yang katakan luka hatimu akan sembuh seiring waktu. Catat ini dalam-dalam dalam kepalamu: "luka hatimu hanya akan sembuh, jika dan hanya jika kau yang mau dan merasa mampu menyembuhkannya sendiri."

Berjalan adalah melangkah lalu mencari tempat yang tepat bagi jiwamu untuk berlabuh. Meski sekadar meletakkan kepala, menyangkarkan hati, dan merebahkan raga. Terserah padamu yang ingin kembali melihat ke luar atau bertahan dalam lingkaran kenyamananmu. Hidup itu tentang berjuang, Sayang.

Pagi pertama di kota ini (dan seterusnya) aku melihat dan membaca banyak hal baru. Hidup lebih dari sekadar hidup ketika kita mulai berani melangkah, mencari, dan keluar kembali. Walaupun hanya sendirian.

Sabtu, 07 Januari 2012

Kemudian saat Malam Tiba

Kemudian saat malam tiba
tidak lupa kita akan menyisipkan
mimpi yang kemarin lupa dilanjutkan
mimpi adalah ombak adalah laut adalah hidup



kamu adalah mimpi yang paling mimpi
dari semua mimpi
sekuntum bunga mekar di ujung kasur
baru benarbenar mekar ketika kita tidur






hidup adalah tidur, mimpi, bangun, bekerja, bermimpi lalu tidur
hidupku tentang bermimpi
kamu yang membuatku bermimpi lalu suatu malam terbangun gelisah dengan
keringat lahir di seluruh poripori tubuh


meski hanya mampu mencapaimu lewat mimpi
kurasa cukup
karena semuanya akan berbeda jika dan hanya jika mimpi bukan lagi mimpi


jadi tahukah kamu sejak kapan mimpikan kamu jadi sukaku?
sejak kamu tidur dan tak pernah terbangun lagi.