Kamis, 27 September 2012

Berjalan dengan #Percaya




Waktu kecil, ketika sering ditanya orang saya hendak menjadi apa, saya selalu menjawab ingin jadi penulis. Tak jarang cita-cita saya terus berubah sering bertambahnya tahun di dalam hidup saya, kadang pula saya menjawab ingin menjadi pelukis, profesor, bahkan penari. Yang mengherankan adalah saya benar-benar bisa menjadi apa yang saya cita-citakan itu meski beberapa cita-cita tidak serius saya garap, dan hanya cita-cita tentang profesor yang belum saya raih.

Di rumah saya masih punya tiga buah kanvas yang ditutupi dengan lukisan saya, medali kemenangan dalam kompetisi dance se-Jakarta, dan juga sebuah buku tulis Kiko yang isinya saya tulis sendiri dengan cerita bersambung. Dari semua cita-cita, baik yang sudah saya raih maupun yang belum, --that-Professor-thingy-for-sure-- penulis adalah cita-cita yang berkelanjutan. Menulis adalah pekerjaan yang tidak akan pernah berhenti saya lakukan sampai suatu hari nanti saya tidak punya daya lagi untuk menulis. Seperti halnya segala perjalanan yang banyak orang lain lakukan hingga melihat bukunya sendiri terbit, pasti ada awal untuk memulainya. Banyak yang meminta saya menuliskan cerita di balik lahirnya #Percaya. Jadi, apa salahnya kalau saya menceritakan kepada teman-teman bagaimana Percaya bisa menjadi sebuah buku dan akhirnya diterbitkan oleh Gagas Media :)

* * *

Adalah seorang Kak Gita Romadhona yang dengan baik hati setelah saya ditolak berkali-kali oleh berbagai penerbit buku yang tidak memberikan respons terhadap buku saya, sampai yang berkata datar-datar bahwa buku saya tidak layak terbit. Padahal alasan merekalah yang saya butuhkan untuk membuat saya belajar lebih baik. Hanya ada dua penerbit yang saya ingat menjelaskan alasannya mengapa novel saya yang waktu itu berjudul Bintang yang Bermimpi tidak layak terbit oleh penerbit-penerbit itu.

Waktu itu bulan Oktober tahun 2010, ketika saya dikenalkan oleh Kak Gita Romadhona kepada Kak Christian selepas Kak Christian menjadi pembicara di kampus saya dalam seminar menulis kreatif. Dengan segan saya berkenalan dengan Kak Chris dan langsung memberikan naskah beserta brief singkat mengapa novel saya layak terbit, kelebihan, sinopsis, dan biodata diri saya dalam satu paket. Kami berbicara sebentar, sebelum akhirnya Kak Chris bilang kalau saya akan ditelepon setelah naskah saya selesai dibaca.

* * *

Sekitar satu minggu kemudian, di dalam kelas, saya mendapat telepon dari Gagas Media, waktu itu Kak Chris bilang kalau naskah saya sudah dibaca dan saya diminta ke kantor Gagas. Bukan main senangnya saya karena berharap kalau dipanggil ke kantor seperti ini berarti novel saya diterima, mana mungkin saya jauh-jauh dipanggil tapi nyatanya tidak diterima, kan?

Saya datang disambut oleh Kak Christian di teras belakang kantor Gagas Media yang lebih mirip rumah mewah. Beliau mengatakan bahwa naskah saya belum layak terbit, terlalu "aku" penceritaannya, saya hanya mengangguk dan terus mengangguk saat Kak Chris memberikan pelajaran tentang menulis novel dan referensi bacaan yang harus saya baca sebelum menulis, tanpa Kak Chris tahu mungkin betapa sedihnya saya. Sampai tiba waktunya Kak Chris menanyakan kepada saya apa motivasi saya menulis, kemudian saya diam, yang ada hanya hening. Saya menatap lekat mata Kak Chris hingga pandangan saya mengabur karena air yang menggenang di pelupuk mata saya, "Saya... mau bahagiain Papa Mama saya, Kak." Sesederhana itu. Kalau teman-teman sudah membaca post saya sebelumnya, kalian pasti tahu cerita hidup apa saja yang telah saya lalui bersama kedua orangtua saya. Mengingat mereka, membuat saya tidak malu untuk menangis di depan Kak Christian. Kak Christian menenangkan saya, memberikan saya tissue, dan membuat saya bangkit kembali. Sepanjang hari itu, sampai langit gelap, berdua Kak Christian, saya membuat plot di teras belakang kantor Gagas Media. 

* * *

Hari-hari setelah saya menangis di kantor Gagas, saya isi dengan mengerjakan PR yang telah diberi oleh Kak Christian, salah satunya adalah membaca 40 novel yang bergenre sama dengan novel yang akan saya buat. Membaca 40 novel adalah harga mati bagi setiap penulis sebelum menulis agar tulisannya jauh lebih matang. Kesuksesan seorang penulis juga ditentukan dari kuantitas penulis tersebut membaca buku. Penulis yang jarang membaca buku akan terlihat dari tulisan mereka. Salah satu aspek kegagalan naskah saya adalah ada dalam diri saya, saya memang jarang membaca buku lepas dari SMP (baca post saya sebelumnya).

Setelah membaca 40 novel, saya lanjutkan dengan menulis plot yang kemudian disetujui oleh Kak Christian. Tergenaplah sudah semua langkah-langkah yang harus dilakukan selama prapenulisan novel. Kini saya siap melakukan eksekusi terhadap proyek saya.

Saya mengambil waktu menulis di saat yang tepat, yakni saat libur peralihan semester. Liburan semester di bulan Januari kala itu saya benar-benar menolak semua ajakan liburan dari teman-teman saya dan berkutat di dalam rumah untuk menulis. Waktu menulis saya berlangsung dari tengah malam hingga menjelang pagi. Saya tidak akan masuk ke dalam kamar apabila sinar matahari belum jatuh ke atas lantai ruang menulis saya. Orangtua saya mahfum. Mereka mengizinkan saya menulis asal tidak terlalu banyak minum kopi dalam semalam. 

Setiap sore saya bangun, menonton TV, DVD, membaca buku untuk mencari inspirasi sebelum menulis nanti malam sampai menjelang siang. Sore saya akan bangun kembali. Begitu terus pola hidup saya selama sebulan.

Akhirnya, selesailah naskah pertama saya. Kemudian saya bertemu lagi dengan Kak Christian di kantor Gagas dan dengan keramahannya seperti biasa Kak Christian berjanji akan cepat membaca naskah saya. Di teras belakang, saya mulai merasa saya dan Kak Christian mulai menjadi teman curhat yang baik, segala problem penulisan saya tuangkan kepadanya.

* * *

Lepas tiga bulan, saya dipanggil Kak Christian. Inilah saatnya. Jantung saya berdegup kencang saat memasuki area kantor Gagas. Anehnya kini saya tidak berekspektasi seperti pertama kali saya berkunjung ke sini. Kalaupun gagal, saya tidak akan berat hati untuk belajar lagi karena saya suka belajar dan menjadi murid Kak Christian. Ada banyak ilmu yang saya dapat dari beliau.

Di teras belakang, saya memandang Kak Chris dengan penuh tunggu. Kemudian Kak Chris berkata, "Terima kasih untuk segala kerja keras kamu, kamu belajar banyak. Naskah seperti ini, Dear, yang aku maksud. Nanti tinggal tunggu kabar dari aku ya. Naskah ini mau aku ajukan di rapat redaksi. Kalau lolos, naskah kamu siap dibukukan." Hari itu, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat kerja keras saya berhasil sampai di tahap ini. Kak Chris pun bilang agar saya tidak berhenti di buku pertama. Harus ada buku kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Saya tahu sekarang, kalau saya sudah punya guru menulis favorit saya setelah Ibu Ani (baca post sebelumnya).

* * *

Bulan Oktober tahun 2011, ketika saya baru pulang dari kampus, saya mendapat pesan dari Kak Christian kalau naskah saya lolos rapat redaksi. Rasanya saya ingin berteriak di dalam angkot yang membawa saya pulang. Saya masih ingat, malam itu saya menangis di sepanjang jalan saya pulang. Orang-orang pertama yang saya kabarkan tentu saja Mama dan Papa. Sampai sekarang pun saya masih menangis jika ingat reaksi Mama kala itu. Mama tersenyum bahagia, kemudian memeluk saya sambil berkata, "Hebat anak Mama sekarang bisa bahagiain Mama." Saya menangis mendengar Mama berkata begitu. Perjuangan saya untuk menulis novel di larut malam hingga siang hari tidak pernah sia-sia.