Minggu, 11 November 2012

Deleted Chapter from #Percaya


Sebagai bentuk apresiasi saya kepada pembaca #Percaya yang selalu membuat saya tersenyum dan terharu. Bagian ini adalah bagian usang yang sesungguhnya ada di dalam draft, tetapi sengaja dibuang oleh editor karena memang tidak perlu. Namun, saya sendiri selalu ingin tahu bagian "dibuang-sayang" dalam setiap karya milik orang lain. Berikut ini adalah bab yang dibuang, yaitu, bab kedua, bab ketika Tintani kabur dari pesta ulang tahunnya sendiri. Enjoy! :)

* * *

Malam ini seperti biasanya Jakarta dipenuhi dengan lampu-lampu di sepanjang jalan yang seakan tak pernah lelah memamerkan diri bahwa kota ini adalah big city. Sam hanya diam sambil menatap jalanan yang kian sepi sementara Tintan menyetir di sampingnya. Keduanya masih mengenakan dress. Tintan menggantung stiletto-nya di bawah pegangan yang tertempel di langit-langit mobil sementara ia bertelanjang kaki mengatur rem, gas, dan kopling bergantian.

Ini bukan pertama kalinya Tintan berulah hingga saat pulang nanti ia bisa membuat orang-orang seisi rumah terbangun karena panik. Memikirkan tentang apa yang salah pada diri ayahnya (atau dirinya sendiri terkadang) tidak pernah ada habisnya. Normal bagi anak seumuran Tintan untuk mencari perhatian kepada ayahnya dalam batas yang wajar, yang tidak normal adalah mencari perhatian ayahnya dengan cara yang tidak wajar. Salah satunya seperti yang dilakukannya sendiri seperti malam ini.

Malam ini bukan malam pertama kalinya Tintan berulah. Tintan pernah membuang handphone-nya ke parit di depan sekolah lalu tidak pulang sampai larut malam hingga Sofyan dan Anti kebingungan mencari Tintan seharian. Waktu masih lebih kecil lagi, saat Tintan SD, ia pernah menghilangkan tas kerja ayahnya yang membuatnya dimarahi habis-habisan sampai Tintan menangis dan perlu satu hari bagi Anti untuk meredakan anak kecil yang terkejut melihat kemarahan sebesar itu keluar dari jiwa ayahnya sendiri. Tintan juga pernah menabrakkan mobil, menjatuhkan lemari, menyemprotkan saus ke seluruh lantai kamar tidurnya seakan Tintan baru saja bunuh diri, membuat rumah banjir dengan membocorkan ledeng di dapur, kabur lalu tinggal di rumah Sam berhari-hari, dan beberapa insiden lainnya yang bahkan Tintan sendiri lupa pernah melakukannya.

Tintan berkali-kali mendongak ke depan dashboard dari dalam mobilnya memerhatikan apakah lampu merah di jalanan ini rusak atau tidak. Ia kaget sendiri melihat penunjuk detik di samping lampu merah masih menghitung mundur 230 detik lagi. Tintan memainkan gasnya seakan tidak sabar menunggu penunjuk waktu itu segera berganti dari cahaya merah menjadi cahaya hijau.

"Tintan...," bisik Sam panik melihat Tintan, seakan tahu malapetaka apa yang akan dilakukan Tintan sebentar lagi.

Bunyi gas terdengar mengaum-ngaum seakan ada yang mengajak balapan malam itu. Ada kilatan perasaan kesal di mata Tintan ketika memainkan gas sambil melihat penunjuk waktu yang terpampang di samping lampu merah. "Pegangan, Sam!" suruh Tintan tenang.

Sam buru-buru menarik seat belt yang lupa ia pasang sebelumnya. Setelah terdengar bunyi klik dari seat belt yang dipasangnya, cepat-cepat ia mengaitkan tangannya di bawah pegangan fiber yang terletak di langit-langit mobil. Begitu lampu merah berganti menjadi angka nol dan berubah warna menjadi hijau, Tintan lekas menginjak kopling, memindahkan persneling dari gigi tiga ke gigi satu dengan terburu, kemudian melepas kopling, dan menginjak gas dengan cepat. Ada bunyi decitan panjang yang bergesek dari ban mobil Tintan malam itu sebelum ia menyerbu jalanan kosong di depannya.

Teknik nge-drift ini Tintan dapat dari Laura. Tidak biasanya Tintan menggubris saran Laura, tapi kini Tintan melaju kencang malam itu di sepanjang jalan, berharap rasa kesalnya bisa terjatuh di jalanan malam yang kosong. Cahaya dari lampu kota dan lampu-lampu di papan iklan dan pusat perbelanjaan seperti siluet yang berlari dengan cepat dari samping jendela mobilnya. Tidak begitu lama ia mengebut, jalannya kembali melambat ketika melihat ada lampu merah lagi dari kejauhan. Sampai saat itu, aksi gila Tintan berhenti ketika melihat Sam yang kesulitan mengambil napas sambil menatap kosong ke depan jalan. Tintan tertawa terbahak-bahak melihat sahabat yang duduk di sampingnya dan beberapa detik selanjutnya tanpa sadar Tintan telah kehilangan alasan mengapa ia memutuskan kabur dari acara ulang tahunnya sendiri. Sam selalu mampu membuatnya lupa sejenak pada masalah yang dihadapinya.

Tintan memperhatikan Sam yang setelah acara nge-drift tadi kini hanya duduk terdiam di samping Tintan. Ini bukan pertama kalinya Sam harus menemani Tintan berulah. Di saat seperti ini Sam adalah malaikat pasif yang bisa membuat Tintan merasa tenang, cukup ada Sam diam di sampingnya, Tintan akan merasa lega. Sam mempunyai kesabaran yang luar biasa. Bagi Tintan, Sam adalah sahabat sejatinya jauh dibanding Cathy dan Laura. Sam paling tidak menuntut, paling setuju apa kata Tintan, paling tidak peduli pada kata dunia tentang pakaian Tintan yang tidak match dengan bawahannya, paling anti gosip-gosip murahan di sekolah, dan satu-satunya cewek di popular clique yang berpenampilan geek yang bisa masuk jurusan IPA, dan anggota ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (meski tadinya ide masuk kelompok KIR ditolak habis-habisan oleh Cathy dan Laura). Sam sungguh menjadi dirinya sendiri. Kadang Tintan sendiri iri pada Sam.

Setelah aksi ngebut tadi, sepanjang sisa malam itu mereka habiskan hanya dengan berputar-putar di jalanan ibu kota dari ujung ke ujung. Tintan melakukannya sampai ia benar-benar lelah dan segala rasa kesal pada ayahnya benar-benar hilang. Belum sampai Tintan mengantar Sam pulang ke rumahnya, sahabatnya yang sedaritadi menemani di kursi penumpang sudah jatuh tertidur.