Selasa, 21 Oktober 2014

Pada Suatu Hari di Kuta



 
1
kamu pernah duduk menghadap
matahari kuta yang hampir terbenam
di sini, di atas pasir yang kududuki
kamu, dalam bayang tenggelam yang temaram




inikah pulau yang menginspirasimu?
dari nusa dua hingga lovina
ubud sampai kintamani lalu
kita berdua berbagi setiap jejak

aku mendengar setiap bisikkanmu
yang kautinggalkan pada
setiap bisik mengantarku
pada ketiadaanmu

tetiba kubuka hatimu berisi pasir
yang terbawa ke dalamnya
kugenggam halus kemudian terbangku
kembali pada suatu hari di kuta

2
suatu hari di kuta kamu
berbisik kepadaku tentang harta
karun di dalam hati, lalu kamu
mengajakku bertualang

menyusuri uluwatu yang damai
melihat gelegar samudera hindia
bercengkerama dengan ekor panjang
dan nikmatnya berjalan sepanjang ubud

suatu hari di kuta kamu
bercerita kepadaku tentang makna
hidup dan cinta dan jiwa dan
kehilangan, kamu lalu hilang

menyusuri senja yang dramatis
di bawah lembayung dan gugurnya
daun kemboja kamu berbisikku
suatu hari di kuta, kita berdua
jatuh cinta

Senin, 06 Oktober 2014

Kepada Gema-gema di Udara tentang Pesan yang Belum Tersampaikan

Gunung Sikunir, Dieng, 2014
     Aku tidak akan menanyakan apa kabar kepadamu terlebih dahulu karena aku yakin kau akan selalu baik-baik saja. Sebab tanpa perlu kau tahu, aku selalu mendoakan untuk kesehatanmu setiap malam.

            Apa saja yang sudah terjadi ke dalam hidupmu belakangan ini? Apa kabar Ibumu? Apa kabar adikmu? Bagaimana kehidupan barumu?

            Adakah kau memikirkan hal yang sama tentangku, saat aku memikirkan tentangmu di waktu-waktu tertentu?

            Aku selalu mengingat tentangmu saat kita berdua duduk di atas bukit itu. Memandang lampu rumah penduduk seraya kunang-kunang yang sedang bersemayam di lembah bukit. Atau ketika aku mengantarmu ke rumah sakit saat kau tak berdaya setelah semalaman menggigil karena disentri yang kau derita. Adakah yang lebih menyakitkan selain melihat orang yang kaucintai menderita? Aku terbangun tengah malam, menggoyang tubuhmu hanya agar aku tahu bahwa kau masih sadar. Aku keluar dari dalam selimut yang membungkus kita berdua. Dengan celana pendek dan kaus tipis, aku menggigil kedinginan di tengah malam dengan kabut pekat dari jendela kamarmu dan udara dingin yang menusuk. Malam itu sepi, hanya ada suara menggigilmu yang menggugu dan juga suara tanganku yang sedang sibuk menyobek plastik obat untukmu. Aku berjalan ke sudut ruangan dan menyeduh segelas teh untukmu. Aku meletakkan gelas dan sebutir obat demam di atas meja kopi milikmu, kukeluarkan jaket hangat dari dalam tas milikku dan kubungkus dirimu di dalam sana. Agar kau sehangat berada di dalam perut Ibu, berteman dengan amnion dan tembuni.

            Malam semakin larut. Setelah mengucapkan terima kasih dengan suara parau kau semakin lelap. Aku berusaha memelukmu agar kau semakin hangat. Ketika cahaya matahari pagi menepuk lembut wajahku, tanganmu yang sebesar gada yang biasanya merengkuhku masih membungkus tanganku.

            “Kau membaca buku saja dari tadi?” tanyanya.

            “Membaca buku itu seperti bermimpi dengan mata terbuka,” jawabku. “Kau sendiri selalu saja pergi berpetualang.”

            “Berpetualang itu menjadikan kamu pribadi yang lebih baik lagi. Suatu hari kau harus ikut bersamaku pergi.”

            Aku memutar kedua bola mataku dan melanjutkan bacaanku. Kita berdua tahu, aku tidak terlalu suka berpetualang dan kau tidak tidak terlalu suka membaca buku.

            Pesan ini belum juga sampai kepadamu. Tentang isi hati yang sudah pasti, tapi belum juga kau tahu. Hanya sekadar memastikan bahwa rasa yang merelung di dalam ini bukan sekadar teman baik atau sahabat. Ini perasaan yang rasa-rasanya seperti: 1) Aku ingin menatap kedua matamu setiap aku membuka mata di pagi hari; 2) Aku ingin menyadari bahwa kedua tanganmu yang sebesar gada itu masih merengkuh kedua tanganku yang beku; 3) Aku ingin terbangun setiap malam saat kau menggigil dan memberimu segelas air putih dan sebutir obat; 4) Aku ingin jadi orang pertama di rumah saat kau pulang bekerja dari kantor (kepalaku akan menyembul dari balik tirai dapur saat mencuci piring setiap kau berteriak, “Aku pulang….” 5) Aku ingin melihat wajahmu yang disinari lampu-lampu rumah penduduk di atas bukit kota, sambil mendengar kau bercerita tentang apapun. Asal itu kau, aku tidak akan bosan mendengarnya. 6) Aku ingin selalu berbeda dan berdebat denganmu. Sebab dengan begitu aku merasa kepingan puzzle milikku ada yang melengkapi. Setiap sudut hidupku akan lengkap dengan sudut hidupmu.

            Kepada gema-gema di udara tentang pesan yang belum tersampaikan. Aku tidak ingin kau menemukan surat ini dan menemukan aku yang menulisnya. Biar saja kau tahu karena memang sudah waktunya kau untuk tahu. Seperti kita yang saling menemukan di bawah kaki gunung Sikunir saat festival Dieng beberapa waktu yang lalu tanpa kita harus saling tahu. Sebab kau tak tahu aku sengaja pergi menyusulmu meski aku tidak suka mendaki gunung hanya untuk melihat wajahmu.

            Kau masih belum juga tahu. Biarkan gema-gema di atas pemukiman penduduk tertinggi di Pulau Jawa ini yang tahu, yang menyimpan semua perasaanku yang belum juga sampai kepadamu.

            Pada saat yang tepat, kau akan mengetahuinya. Dan mungkin kita tak lagi sama.

P.S: Aku masih ingat setiap milisekon saat aku dan kau saling bertatapan di kaki Gunung Sikunir itu. Kau yang terkejut melihatku dengan pakaian lengkap mendaki gunung dan aku yang terkejut melihatmu membawa buku dengan nama penulis dan judul buku yang kutulis di dalam genggamanmu.

Senopati, 6 Oktober 2014