Kamis, 30 Agustus 2012

Titik Balik




2001
Setiap berjalan masuk ke dalam toko buku, saya selalu mengagumi setiap nama yang tertulis di depan setiap buku. Bukan, bukan judul buku yang saya maksud, tapi setiap nama penulisnya. Saya selalu berpikir secara sempit bahwa setiap orang yang menulis buku pastilah kaya. Kaya dalam maksud materi. Sesempit itu pikiran saya. Saya hanya mampu berandai-andai bahwa setiap penulis yang bukunya terpajang setiap hari di toko buku ini pastilah orang yang berbahagia. Menulis dan kemudian bukunya dipajang. Keluar dari toko buku, saya selalu bermimpi, andai saja buku saya bisa dipajang suatu saat nanti. Ketika itu saya masih SD dan pulang dari toko buku membawa novel Harry Potter and the Sorcerer Stone.
* * *

2004
Bertambah umur, saya menyadari bahwa saya tidak bisa selalu mempunyai uang lebih untuk membeli buku. Dari kecil saya dibiasakan untuk membeli barang yang saya inginkan sendiri oleh orangtua, termasuk handphone, scooter (dulu generasi saya menyebutnya otopet), sampai buku-buku. Saya hanya mempunyai uang lebih pada saat Lebaran, Natal, dan ulang tahun. Padahal kebutuhan untuk membaca saya lebih dari itu. Sayang di antara keluarga saya, hanya Kakek saya yang suka membaca, bahkan Kakek memiliki perpustakaan kecil di rumah keluarga besar kami di Menteng waktu itu. 
Untuk menghapus rasa kecewa saya karena tidak memiliki uang untuk membeli buku, maka saya memutar akal, setiap pulang sekolah saat saya masih SMP, bukannya bermain bersama teman-teman, saya malah pergi ke perpustakaan dan mulai melahap karya-karya milik Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, kumpulan puisi dan prosa majalah puisi Horison, Sapardi Djoko Damono, dan Isbedy Setiawan. Saya malah melewati novel-novel populer dan berkutat pada bacaan sastra yang cenderung berat. Entah mengapa saya merasa normal ketika melakukan aktivtas tersebut. Teman-teman saya pun maklum, cenderung kagum, mereka malah senang saat nama saya muncul sebagai kontributor lepas di sebuah majalah elektronik. Waktu itu saya mendapat 150 ribu rupiah untuk satu artikel di majalah. Saya bahkan masih ingat uang itu saya belikan sepatu santai berwarna biru. 

Hari demi hari selama di SMP, saya habiskan dengan membaca buku di perpustakaan sekolah, terkadang saya menulis puisi dan menulis cerpen. Saya masih ingat, saya mempunyai sebuah buku khusus yang saya isi dengan cerpen-cerpen saya. Isinya tentang pengalaman pribadi yang saya bumbui kisah fiksi agar lebih dramatis. Selesai menulis satu cerita, saya izinkan teman-teman dan guru bahasa Indonesia untuk membaca dan menilai buku saya. Sungguh senang ketika saya mendapati buku saya kembali dengan coretan pujian dan karikatur gambar dari teman-teman saya. Bahkan, guru bahasa Indonesia saya mengagumi tulisan yang saya buat, walaupun beliau bilang tulisan saya cenderung melompat-lompat, macam novel detektif, macam tulisan sastrawan ucap beliau. Beliau tersenyum dan mengatakan saya harus terus menulis. Senyuman Ibu Ani, guru bahasa Indonesia terbaik saya kala itu, mengalahkan semua rasa lelah saya. Tidak ada yang lebih indah selain senyuman Ibu Ani. Kala itu dalam dunia kecil saya, Ibu Ani adalah guru besar bahasa Indonesia yang paling saya kagumi.

* * *

2006
Saya mengalami titik balik dalam hidup saya. Saya gagal dalam tes masuk SMA St. Theresia kala itu. Dari TK sampai SMP saya habiskan dengan belajar di Santa Theresia. Saya hidup, tumbuh, bernapas, dan bermain di Santa Theresia. Ayah dan Ibu saya bilang saya berkembang lebih baik di sekolah swasta itu, bukan di sekolah negeri yang isinya anak-anak malas semua. Hidup saya hancur. Saya menangis tidak berhenti. Rasanya dunia jatuh di atas kepala saya. Saya sakit saat mengikuti psikotes ke SMA. Mungkin hal itu membuat saya tidak konsen saat mengerjakannya. Saya melepaskan teman-teman yang bertumbuh dengan saya dari TK. Mereka sudah seperti keluarga saya. Titik balik ini memengaruhi kecintaan saya juga terhadap menulis, terutama kepada dunia membaca saya.

Saya diterima sebagai siswa di SMA Negeri 1 Jakarta. Tidak jelek menurut orang-orang, malah cenderung bagus. Namun itu tidak berlaku bagi saya, semua sekolah negeri sama saja. Isinya anak kampung semua. Reputasinya jauh di bawah Santa Theresia. Saya pasti akan menghabiskan diri menjadi anak pendiam dan selalu pergi ke perpustakaan setiap hari. 

Yang pertama saya lakukan saat hari pertama MOS di sekolah ini adalah terdiam melihat kenyataan di dalam gedung sekolah. Oke, mereka semua bersih dan tidak seburuk dugaan saya, tapi tetap saja sekolah negeri jauh di bawah ekspetasi saya. Saya masih menjadi anak pendiam dan berharap hidup saya akan lebih menyenangkan dengan melihat perpustakaan sekolah ini. Tahukah kalian apa yang saya lihat? Perpustakaan sekolah ini tidak lebih baik dari perpustakaan di Santa Theresia. Jumlah bukunya tidak lebih dari 10% jumlah yang ada di perpustakaan Santa Theresia. Buku-bukunya juga hampir sumbangan dari ikatan alumni sekolah ini. Hanya sedikit yang terdapat cap sekolah. Menyedihkan, batin saya dalam hati. 

Langkah berikutnya adalah pemilihan ekskul di sekolah ini, saya bimbang untuk memilih antara Mading atau Hip Hop. Jujur saja, Hip Hop lebih menggiurkan. Dari kecil saya sudah menyukai dunia tari, suka menari sendiri dan yang paling penting adalah kakak-kakak senior di kelas Hip Hop adalah anak populer di sekolah ini. Belum seminggu saya sekolah di sini, saya sudah terpengaruh oleh gaya anak-anak di sekolah ini untuk menjadi populer. Maka, lupakan soal dunia tulis menulis. Saya mengambil jalan lain, saya mau menjadi orang lain. Saya memutuskan mengambil Hip-Hop dan berusaha menjadi populer di sekolah ini.

* * *

2008
Katakanlah saya mendapat semua yang saya inginkan dalam hidup saya di SMA ini. Populer, menjadi Kapten Hip Hop, dikenal seluruh warga sekolah, memberikan piala untuk sekolah dalam lomba dance se-DKI. Damaikah hati saya? Belum. Sampai saya bersahabat dengan sekumpulan teman dari organisasi Rohani Kristen SMA 1, mereka mebawa saya ke arah yang berbeda dalam hidup saya. Mereka yang membuat frasa titik balik menjadi berkat dalam hidup saya. Mereka yang membuka mata saya bahwa tidak semua teman di sekolah negeri adalah anak kampung dan pemalas. Bersama mereka, saya berjalan dengan rasa percaya. Di antara sahabat Rokris saya itu, adalah Keke, sahabat yang lekat dengan diri saya. sampai-sampai kami dijuluki sahabat skrotum, karena ke mana-mana kami selalu berdua. Pacar Keke juga anak Rokris sama seperti kami. Dari Keke-lah saya belajar menjadi diri saya sendiri, belajar menerima segala hal, dan mensyukuri hidup. Di SMA yang pernah saya sebut kampungan ini, saya malah mendapat sahabat layaknya saudara sendiri.

Akhir tahun 2008, yang seharusnya tahun penuh sukacita untuk merayakan segalanya di dalam hidup saya. Saya mengalami titik balik terdahsyat di dalam keluarga kami. Saya, kakak, Papa, dan Mama, diusir dari rumah kami sendiri. Rumah kami di Menteng memang telah dijual sejak enam bulan lalu. Uangnya bahkan sudah Papa terima dari pembeli rumah yang kaya raya. Sebenarnya bisa saja kami pindah sejak enam bulan lalu, tapi Papa meminta kepada pembeli rumah untuk bersabar sebentar sementara rumah kami di Cinere sedang dibangun. Lagipula saya masih bersekolah di Jakarta Pusat, Kakak masih kuliah di daerah Salemba. Sang pembeli rupanya mengiyakan keinginan Papa.

Awal Januari semuanya tidak bisa dibendung lagi. Sang pembeli tiba-tiba masuk ke rumah kami bersama istrinya, kemudian marah-marah kepada saya, kakak, dan asisten rumah tangga kami sementara Papa dan Mama masih menginap di Cinere yang belum pantas untuk dihuni. Ketika sang pembeli sudah mengancam kami untuk segera keluar dari "rumahnya", saya menangis di ruang keluarga kami. Minggu depan rumah kami harus sudah bersih. Saya masih menatap lekat rumah kami. Rumah yang menjadi saksi hidup saya selama 18 tahun. Saya mengamati setiap sudut ruangan dengan mata mengabur akibat air mata yang menumpuk di kantung mata. Teman-teman saya datang, Kina, Edo, Heni, Ipah, Pute kala itu, menghibur saya yang malam itu masih sedih harus secepatnya keluar dari rumah. Kami menghabiskan malam yang penuh hangat itu di sebuah warung makan di bilangan Menteng. Bersama sahabat-sahabat yang pernah mengisi hidup saya kala itu, masalah hanyalah serpihan debu yang hinggap di baju.

* * *

Maret 2009
Saya masih bersekolah. Malah hampir Ujian Nasional. Saat Papa bingung mencari tempat kos untuk saya sementara tinggal di Jakarta, adalah Tante saya yang bernama Bou Tuti menawari sebuah kamar kosong di bilangan Duren Sawit. Di sana, saya tinggal selama tiga bulan. Lumayan lebih dekat menuju sekolah dibanding jika saya harus menempuh perjalanan dari Cinere. Namun rupanya tinggal di Duren Sawit jauh dari kata gratis. Saya harus belajar untuk mandiri, layaknya anak yang memang tinggal indekos. Saya harus mencuci dan menyeterika baju sendiri, kadang-kadang masak sendiri, dan mengatur uang mingguan yang diberikan Mama. Lebih seringnya setiap pagi saya diantar oleh Bou dengan mobil menuju ke sekolah. Begitulah titik balik dalam hidup saya, saya kira hanya itu. Tapi ternyata belum. Ada titik balik yang belum dahsyat yang hendak saya ceritakan.

Sejak bulan Januari, saya mengambil les untuk persiapan SNMPTN. Saya belum tahu mengambil jurusan apa, tapi yang saya tahu saya harus masuk UI. Pergolakan batin dan titik balik serta keinginan untuk membahagiakan Papa dan Mama sejak melihat raut sedihnya saat tahu anak-anaknya yang harus menghadapi si pembeli rumah mengusir kami dari rumah, membuat saya bertekad dalam hati sekali ini saja untuk membahagiakan Papa dan Mama dengan berhasil lolos SNMPTN. Tuhan rupanya berkehendak lain lagi, saya mendapati enam sahabat baru di tempat les saya di Nurul Fikri. Bertujuh, kami berjuang untuk bisa masuk UI. Mereka saya panggil Uta, Wening, Wei, Ninda, Aza, dan Uta cowok. Kami saling menyemangati agar siap menghadapi SNMPTN. 

Dalam satu kesempatan saya bingung harus mengisi apa di pilihan kedua. Papa menyuruh saya untuk mengambil hukum, saya mengiyakan dengan alasan membahagiakan Papa. Tentor saya menyarankan agar mengambil Sastra Indonesia, "Nggak tahu kenapa Kakak lihat kamu punya potensi di sastra, Diego. sebaiknya kamu ambil Sastra."

Ketika mendengar ucapan tentor saya kala itu, pikiran saya terputar bersama waktu kembali ke masa SD ketika setiap kali saya diantar Papa ke toko buku demi membeli buku-buku cerita yang saya senangi, perjuangan saya sampai tidak tidur demi menyelesaikan cerita bersambung di buku tulis penuh coretan teman-teman dan kesan Ibu Ani, demi Chairul Anwar, Sapardi Djoko Damono, Pramoedya Ananta Toer, dan penyair di majalah Horison yang bersamanya saya bertumbuh di pepustakaan besar di Santa Theresia. Saya mantap mengambil sastra. Bahkan setelah ujian SNMPTN, saya berharap masuk Sastra. Saya berdoa berkali-kali tiap malam. Kalau jalan saya untuk masuk sastra maka izinkanlah. Sekali ini saya mohon.

Agustus 2009.
Saya masuk Sastra Indonesia UI. Saya berlonjak kegirangan mendengar berita ini dari teman-teman les saya. Kami bertujuh masuk UI. Uta dan Wening masuk Psikologi, Aza Akuntansi, Ninda Hukum, Uta cowok Ilmu Komputer, dan Wei masuk jurusan Biologi. Doa dan usaha kami tidak sia-sia. Dan,benar saja beberapa bulan otak kami serasa dicuci, banyak pengetahuan baru yang saya terima dengan belajar di kampus ini. Ilmu berharga tentu saja saya dapatkan dari guru terbaik di dalam hidup saya, pengalaman. Di post berikutnya akan saya jabarkan bagaimana saya berjalan dengan novel pertama saya, bagaimana saya berjuang bersamanya. Cerita ini adalah awal bagi saya untuk meraih lebih banyak lagi hal di dalam hidup saya. Akhirnya saya menjadi kaya. Kaya seperti penulis yang buku-bukunya telah dipajang di dalam toko buku. Saya merasa kaya atas semua pengalaman yang telah menjadi guru terbaik dalam hidup saya dan terus menjadi kaya karena pengalaman di depan telah siap menanti saya.

2 komentar:

  1. "when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.” (Paulo Coelho -- The Alchemist)

    Tetaplah berkarya, teman...
    Ukirlah sejuta cerita di lembar-lembar kertas kehidupanmu, tentang cinta, mimpi, keluarga, persahabatan, dan juga perjuangan!!!

    Keep Fighting ^_^

    BalasHapus
  2. Praise the Lord. Aku suka membaca kisah hidupmu Diego. Bukumu percaya aku juga sudah baca. Sukses selalu buatmu :)

    BalasHapus