Jumat, 29 Agustus 2014

Karina and Her Love Story #EPLChallenge



“Love never felt so good, Diego.”

            Saya pertama mendengar kalimat itu bukan dari Michael Jackson dan Justin Timberlake. Bukan. Saya pertama mendengarnya justru dari seorang backpacker asal Prancis bernama Karina Evrard. Saya pertama kali berkomunikasi dengannya lewat sebuah situs backpacking hospitality terkenal di dunia, CouchSurfing.

            Di Stasiun Senen siang itu, Karina menelepon saya untuk memastikan seminggu depan saya akan menemuinya di Malang. Kami akan tinggal dalam satu rumah dengan host kami di Malang. Dalam solo traveling saya kali ini, saya tidak akan menyangka saya akan menyaksikan cerita cinta yang begitu indah dan…. tentu saja nyata.

* * *

            Passport sudah di tangan saya, sementara tiket menuju Malaysia sudah di tangan teman saya. Hari itu saya termangu, hanya menatap nanar passport di tangan saya. Saya ketinggalan pesawat yang telah terbang membawa tiga orang teman kampus saya.

            Bagi saya, tidak perlu waktu lama untuk bersedih. Perjalanan harus tetap dilanjutkan. Solo traveling bukan masalah karena toh pada akhirnya kegagalan saya ke Malaysia dan Singapura malah akan membawa saya menemui orang-orang baru. Hari itu juga saya membuka situs CouchSurfing. Saya menulis post di dalam forum Jakarta dan melempar topik dengan judul “A Novel Writer Solo Traveling to Jogja, Solo, and Malang. Anyone?”

            Tidak butuh waktu lama seorang CouchSurfing Ambassador dari Jogja yang akrab dipanggil DJ (nama aslinya Djamaludin) menawarkan rumahnya untuk saya tumpangi. Berturut-turut seorang radio announcer dari Malang juga menawarkan rumahnya, lalu penulis buku travel dari Solo menawarkan sebuah kamar hostel yang sudah direkomendasikan oleh penulis Lonely Planet, lalu yang terakhir seorang wanita asal Prancis turut serta dalam trip saya di Malang. Sehari beres, saya menyimpan nomor mereka ke dalam ponsel saya. Hari itu juga saya berangkat ke Stasiun Senen. Packing? Saya langsung menyambar carrier saya tanpa perlu packing lagi. Semalam kan saya sudah packing dalam maksud dan tujuan ke Malaysia. J

* * *

            Di dalam kereta selama 12 jam menuju Jogja, saya sadar ini perjalanan pertama saya seorang diri naik kereta ekonomi. Kebetulan orang-orang yang duduk di samping dan di depan saya sangat ramah sehingga mereka kadang juga memberi saran saat saya pergi sendirian. Waktu itu umur saya masih 21 tahun, saya masih kuliah dan jam terbang untuk traveling masih sangat lowong. Begitu sampai di Jogja, saya sering diajak Mas DJ untuk makan di tempat-tempat yang belum pernah jarang saya kunjungi. Siangnya saat Mas DJ pergi bekerja, saya berkeliling kota Jogja dengan sepeda yang dipinjam oleh Mas DJ. Saya benar-benar merasa bebas. Malamnya saya diajak oleh Mas DJ dan teman-teman CS Jogja untuk gathering di Raminten, sebuah rumah makan yang dimiliki oleh seorang waria. Di Raminten itu pula, saya pertama kali janjian bertemu dengan Karina. Begitu saya menerima pesan teks darinya kalau dia sudah sampai, saya menemuinya. Ia begitu antusias, memeluk saya dan juga mencium. Pribadinya begitu hangat. Malam itu kami bercerita tentang apa pun. Sayangnya ia tidak punya banyak waktu karena sudah janji untuk jalan-jalan malam dengan teman-teman dari Prancis. Sebelum pulan, ia mengingatkan saya agar tidak lupa akan trip kami di Malang. Saya mengangguk penuh antusias.

Hari-hari liburan saya sangat menyenangkan. Tidak hanya di Jogja, tetapi juga di Solo, saya malah ikut kelas membatik di Kauman dan pergi ke Keraton Solo dan Pasar Antik. Tibalah saya di Malang. Sehari bersama si radio announcer, esoknya saya pindah ke host yang baru. Namanya Nurina Evawani, ia sedang cuti dan berlibur di rumah orangtuanya di Malang. Kebetulan ia menawarkan rumahnya untuk saya tumpangi. Mbak Nuri, begitu ia sering dipanggil, ternyata juga mendatangkan dua backpacker asal Jakarta yang kemudian sampai saat ini menjadi teman baik saya, Nova dan adiknya, Desty. Saya kemudian menanyakan kesediaannya untuk menampung satu orang lagi. Begitu Mbak Nuri setuju, resmi sudah Karina Evrard tinggal bersama kami selama tiga hari ke depan. Saya pikir, biasa saja selama ini traveling bersama bule, tapi tidak dengan Karina. Ia benar-benar berbeda.

* * *

            Saat saya, Nova, Desty, dan Mbak Nuri sedang bersantai di ruang tengah sambil menonton re-run American Idol di channel Star World, sebuah klakson mobil terdengar tiga kali dari luar rumah. Kami semua serentak terbangun dan berlari kecil ke arah teras rumah Mbak Nuri. Itu dia yang kami tunggu-tunggu. Karina diantar oleh mobil travel menuju rumah Mbak Nuri. Begitu ia turun, saya bersalaman dan memeluknya. Ia mencium saya sambil tersenyum sumringah. Begitu pula dengan Mbak Nuri, Nova, dan Desty. Kami langsung bercerita tentang apa saja. Karina adalah tipe manusia yang cocok untuk mengobrol dengan siapa pun karena keahliannya yang cepat beradaptasi dan mengobrol dalam topik apa pun.
           
* * *

            Nova dan Desty memutuskan pulang besoknya karena mereka ingin mencapai Bromo dengan menumpang truk pasar. Meski mereka perempuan berumur 20-an dan yang satu belasan tahun, saya akui mereka sangat pemberani. Selepas mengantar Nova dan Desty ke depan komplek, saya, Mbak Nuri, dan Karina memutuskan untuk berjalan kaki sampai alun-alun. Sepanjang perjalanan, sambil memotret, Karina sesekali memperlihatkan teknik memotret yang didapatnya dari sang kekasih yang kini tinggal di Prancis. Karina kemudian menanyakan kepada kami, apakah kami punya pasangan. Saya menggeleng, Mbak Nuri pun juga menggeleng. Karina tersenyum sambil berkata, “Sooner or later, you both will find your true love. Until the day you meet him, just be yourself. He or she will love you unconditionally.”

            Saya mengerutkan kening, “True love? Are they exist?”

            Kami kemudian duduk di Java Dancer, atas permintaan Karina, sebuah kedai kopi di dekat alun-alun kota Malang. Karina yang memilih tempat duduk di dekat bar. Saya memesan teh aroma peppermint, sementara Karina memesan Americano, Mbak Nuri memesan kopi tubruk.

            “Sebelum bertemu Romain, saya nggak percaya cinta sejati. Perempuan yang hampir 40 tahun ini sudah berkali-kali disakiti oleh laki-laki. Kalian tahu, di saat saya tidak ingin menikah dan selamanya hidup sendiri, seorang laki-laki datang kepada saya dan berjuang begitu kerasnya untuk meluluhkan hati saya. Bisa bayangkan betapa kerasnya ia berjuang untuk mendapatkan kepercayaan dari wanita yang hampir memutuskan tidak ingin berharap lagi kepada cinta?”

            Saya dan Mbak Nuri takzim mendengarkan cerita Karina.

            “Hidup kadang mengejutkan kita, Diego, Nuri.” Karina kini menyesap Americano miliknya, “Kalian bebas tidak ingin percaya cinta, tidak ingin menikah, tapi ada satu titik ketika hidup memutar skenario kita dan membuat kita banting stir.”

            “Jadi itukah alasan kamu ke sini?” Mbak Nuri yang biasa selalu tertawa kini serius mendengarkan cerita Karina.

            “You are smart, Nuri. Iya, saya ke sini karena saya mau mendatangi tempat-tempat yang dikunjungi Romain, termasuk ke kedai kopi ini, memesan kopi yang sama, dan duduk di tempat yang sama dengan Romain. Kalian tahu, seminggu setelah Indonesia trip yang ia lakukan, kami berpacaran. Sesimpel itu. Saya ke Indonesia karena Romain menyatakan cintanya di tiap kota yang ia kunjungi sambil berfoto dengan kertas yang ia tulisi “Will You Marry Me?”, padahal bukan negara ini yang jadi tujuan saya untuk berlibur. Hidup penuh kejutan, saya jatuh cinta sama negeri kalian. Di negara ini yang penuh cinta buat saya, bukan Prancis.”
            Saya dan Mbak Nuri melenguh tertahan. Kami berdua terharu mendengar cerita dari Karina.

            “Setelah ini kau mau ke mana, Karina?” tanya saya.  “Sampai ujung negara ini, Diego. Saya baru setengah perjalanan. Saya akan sampai ke Merauke.”

            Saya betul-betul malu.Malu karena sempat tidak percaya kepada true love dan tidak jalan-jalan sebanyak Karina mengelilingin Indonesia. Lama setelah itu saya membaca Eat, Play, Leave (Kisah Buke-Bule Bali) dari Jenny Jusuf. Saya tersenyum saat menutup buku tersebut. Saya yakin, teman bukan hanya orang yang bersemayam di negara kita. Saya akan mendapat banyak cerita dari teman di luar negeri. Saya sangat merekomendasikan buku ini bagi siapapun kalian yang ingin terinspirasi cerita dari Jenny Jusuf. Di Goodreads saya telah mereview buku ini. Bisa kalian lihat di sini. https://www.goodreads.com/review/show/1015965126?book_show_action=false It was a good experience reading this book. 



Rabu, 23 Juli 2014

Resensi Buku: Steal Like an Artist by Austin Kleon

Buku ini berhasil untuk saya. Saya suka banget membaca buku-buku tentang kreativitas. Saya suka melakukan hal yang baru untuk memancing ide kreatif. Buku ini seperti multivitamin ilmu bagi saya.

Lewat buku ini saya belajar banyak untuk memeluk keterbatasan saya. Saya belajar untuk bersahabat dengan rutinitas pekerjaan di kantor dan hobi menulis saya. Saya belajar untuk bersahabat dengan keterbatasan saya dan bagaimana membagi waktu untuknya.

Mau curhat sedikit, boleh? Saat hari terang, saya bekerja di kantor advertising. Dengan menjadi content writer, saya belajar untuk menjual brand lewat kata-kata. Saat malam, saya berubah menjadi penulis novel. Mempertahankan jauh lebih sulit saat meraihnya. Tekanan telah menulis dua buku jauh lebih kuat. Bukannya menjadi lebih mudah, tetapi menulis jadi lebih sulit karena saya ingin menulis banyak hal. Apa yang saya tuangkan menjadi realistis mungkin tidak semegah dengan apa yang dipikirkan, tetapi tidak menutup kemungkinan apa yang telah tertulis di dalam bentuk fisik buku jadi lebih mengagumkan dari draft awal saat ia masih menjadi embrio di dalam kepala saya.

Buku ini membuka cakrawala baru bagi saya untuk memancing ide kreatif dan merealisasikannya. Bukan hanya sekadar imajinasi kreatif, tapi buku ini juga mengajak saya untuk melihat kenyataan yang ada dan menjalankan tips yang realistis di dunia kreatif. Saya nggak pernah merasa membeli buku-buku nonfiksi kreativitas ini semacam sia-sia. Beberapa buku serupa yang ditulis oleh Yoris Sebastian (101 Creative Notes), Wahyu Aditya (Sila ke-6: Kreatif Sampai Mati), Ira Lathief (Normal is Boring), dan Risyiana Muthia (Been There Done That Got the T-Shirt) menghibur dan memberi saya warna baru dalam bidang kreatif, terutama dalam pekerjaan saya sebagai penulis konten (di siang hari) dan penulis novel (di malam hari).

Buku ini cocok bagi siapa pun yang berkecimpung di dunia kreatif. Saya percaya bahwa semua manusia digerakkan karena kebiasaan. Buku ini mengajak kita untuk membiasakan diri hidup secara kreatif sehingga ke depannya kita akan terbiasa hidup kreatif (memecahkan masalah, merangkul keterbatasan, berpikir kreatif). After all, I love this book.

Selasa, 22 Juli 2014

Keenan, My Dachsund Dog

Saya pernah membaca sebuah pernyataan dari penyayang binatang bahwa anjing mencintai majikannya sebesar mereka mencintai dirinya sendiri. Anjing adalah hewan paling tulus di muka bumi. Beberapa kali saya membuktikannya sendiri. 

Keenan nggak mau lepas saat aku hendak pamit ke Papua
Meskipun jahil, Keenan anjing paling baik yang pernah kupunya. Aku ingat dia selalu menjilat tubuh Carlo (kakaknya Keenan) saat Carlo pulang dengan luka kulit tersobek di mana-mana. Carlo sempat hilang seharian dan saat aku hendak mengitari komplek, Carlo menangis di depan pagar rumah kami dengan tubuh penuh luka sobekan. Aku bersikeras agar luka Carlo dijahit di veterinarian. Papa bilang Carlo akan segera sembuh, beliau pernah bilang, air liur anjing mengandung enzim yang berfungsi sebagai penyembuh luka alami. Ia dekat dengan Keenan sebagai saudara kandung dan sahabat. Pernah Carlo bertengkar hebat dengan Joe (ayahnya Carlo dan Keenan) sampai kulit mereka berdua robek. Keenan menggonggong sekeras mungkin seraya memanggilku dari dalam rumah. Ia menggigit ekor Carlo untuk menyudahi perkelahian. Saat itu juga Carlo menyudahi aksi brutalnya menggigit Joe. Keenan adalah anak dan saudara yang baik bagi Joe dan Carlo. 

Keenan akan mengantarku setiap pagi menuju pagar dan setiap aku berkata, "Shake hand, Keenan" Ia akan mengangkat tangan kanannya untukku. Ia tidak pernah sekalipun absen menyalamiku. Keenan akan berada di garda paling depan saat menyambutku pulang. Ia mencintai aku sebesar ia mencintai dirinya sendiri. Keenan tidak pendendam. Sesering apapun Mama memukulnya karena sering menggigit selang atau merobek fiber kandang miliknya, ia akan selalu menjilat kaki Mama dan mengibas-ngibaskan ekornya. Setiap kali Keenan dipukul Mama, aku selalu memberi makanan lebih untuknya sebagai reward karena telah mengalami hari yang buruk.

Saya percaya, bukan saya yang memilih Keenan menjadi anjing saya. Tapi saya yang dipilih oleh Keenan untuk dicintai selama hampir dua tahun ini. Sekarang Keenan diadopsi oleh seorang dokter. Di Sabtu siang, Papa memberitahuku bahwa Keenan tadi dijemput oleh sopir sang Dokter. Mama yang mempunyai inisiatif karena terlalu banyak anjing yang kami urus. Papa sudah terlalu kewalahan mengurus enam ekor anjing di rumah kami (Joe, Jupe, Carlo, Keenan, Lala, dan Candy). Saat itu juga aku marah kepada Mama dan menangis di depan Papa dan Mama. Keenan anjingku, anjing paling kusayang. Mama mengatakan kapan pun kita bisa bertemu Keenan dan berjanji bahwa sang Dokter adalah penyayang anjing juga. Baru kali ini aku mendoakan anjingku sendiri agar ia mendapatkan pemilik yang baik hati. I love you, Keenan. :)


Selasa, 24 Juni 2014

Life After Campus part 2

Life After Campus
part 2

            Tahun 2014 belum berakhir. Saya hanya ingin bercerita mengenai apa yang terjadi ke dalam hidup saya akhir-akhir ini. Tahun ini adalah tahun saya banyak belajar tentang kehidupan, baik pahit maupun manis.
            Setelah lulus dari dunia kuliah bulan September tahun 2013 kemarin, saya memutuskan untuk bersenang-senang terlebih dahulu. Sebelum lulus bahkan saya sudah diterima bekerja di salah satu perusahaan trading dan forex di kawasan SCBD. Kemudian setelah menimbang-nimbang, saya menolak tawaran tersebut dan mengambil tawaran naik gunung bersama teman-teman kuliah saya. Rencananya kami akan mengenakan toga kami di atas Mahameru. Namun, rencana hanya tinggal rencana, bukan?
            Rencana menuju Semeru tetap dilaksanakan. Kami bertolak dari Stasiun Senen dan berkenalan dengan teman-teman sesama kampus yang beberapa belum saya kenal. Beberapa kali saya sudah pernah naik kereta menuju Malang, tetapi kali ini berbeda. Saya bukan berlibur untuk mendapatkan kenyamanan. Saya malah berlibur untuk naik gunung, keluar dari zona nyaman saya, mendapatkan pengalaman baru. Saya baru pernah melakukan perjalanan panjang dengan empat orang di dalam rombongan: Kak Ojan, Sopa, Rista, dan Tika. Empat orang ini bersama saya pernah mengikuti pelatihan militer di Marinir, Cilandak, sebagai persiapan untuk mengabdi di pulau terdepan dalam program Kuliah Kerja Nyata dari almamater kampus kami. Kami berlima menuju pulau-pulau kecil di Kalimantan. Beberapa sisanya adalah teman kampus yang belum pernah berjalan bersama saya sejauh ini.
            Sampai di Malang, kami naik sebuah mobil menuju Tumpang, lalu dilanjutkan dengan menyewa sebuah jeep lagi ke Desa Ranu Pani. Sepanjang perjalanan saya mengingat semua yang lihat, saya rasakan, ke dalam hati saya. Kami melewati pemandangan Gunung Bromo, sempat berhenti sebentar, lalu kembali berceloteh tentang betapa hebatnya film 5cm. Kami mengobrol satu sama lain, saling berkenalan dan bercanda. Sampai di Ranu Pani, kami melanjutkan perjalanan untuk membayar tanda masuk dan beristirahat sejenak di sebuah kedai. Hari hampir malam, gelap mulai terasa saat kami memutuskan berjalan menuju Ranu Kumbolo. Sebelum memasuki gerbang perjalanan, saya mendongak ke atas dan melihat sebuah bintang jatuh. Saya memasukkan tangan ke dalam saku dan berharap penuh untuk karier menulis saya ke depannya. Sambil menunggu kawan-kawan kami mengurus tanda masuk yang sepertinya belum ada keputusan yang baik dari phak Taman Nasional, saya duduk bersandar pada carrier saya sambil menatap langit malam yang jernih di atas kepala saya, siapa tahu ada…. bintang jatuh baru saja jatuh untuk kedua kalinya. Dan ketika saya berjalan melangkah ke Ranu Kumbolo, bintang yang ketiga jatuh kembali.
            Satu hal yang pasti selama perjalanan saya menuju Gunung Semeru: perjuangan. saya betul-betul berjuang untuk terus berjalan dengan memanggul beratnya carrier di atas pundak saya. Sampai kami bermalam di Ranu Kumbolo, melewati Bukit Cinta, melewati padang Ora-Ora Ombo, terus sampai ke Kalimati. Pergelangan kaki saya sempat terluka dalam sehingga sesekali saya berjalan dengan diseret atau melompat, belum lagi ditambah udara dingin yang kadang membuat saya ngilu karenanya.
            Pagi itu saya bangun di Kalimati setelah badai dingin yang membuat tenda kami bergoyang-goyang hebat, belum lagi ditambah suara hewan malam, dan berisiknya suara angin ribut membuat pagi yang tenang ini terasa damai. Saya sedang minum teh hangat dengan siraman hangat sinar matahari yang membanjur di tubuh saya. Beberapa teman yang tidak ikut ke Mahameru sejak semalam mengajak saya membuat sarapan. Pagi ini kami berjaya karena porsi makan yang biasanya untuk 13 orang kini kami siapkan hanya untuk 4 orang. Seperti saya bilang di awal, rencana hanyalah rencana, bukan? Saya tidak diperbolehkan naik ke Mahameru karena kondisi kaki saya yang tidak juga membaik. Rombongan kami dibekali dengan dua orang ranger. Salah seorang di antaranya menamni kami bertiga yang tidak naik ke Mahameru. Saya menyadari bahwa ada saatnya ketika pertama kali memutuskan untuk keluar dari zona nyaman, saya merasa gagal di bagian tertentu di tengah-tengah perjalanan. Bagian ini adalah bagian tersebut, tetapi entah mengapa saya tidak merasa gagal. saya tidak menyesal. Mengapa? Karena saya sudah berani keluar dari zona nyaman saya, memutuskan melangkah, terus berjalan, meski tidak menuju puncak.
           
*  *  *

            Apa hal yang relevan dari perjalanan saya menuju Semeru adalah kesamaan dengan perjalanan saya merintis karier di sebuah perusahaan media. Saya masuk ke dalam dunia baru: dunia kerja. Ini adalah kehidupan baru saya setelah keluar dari almamater kampus. Teman-teman baru, tugas baru, dan tujuan baru. NET TV adalah tempat saya saling memilih dan dipilih bagi saya untuk belajar keluar dari zona nyaman.
            Menulis tetap saya kerjakan sebab saya sudah memiliki jejak karier di dunia yang membasarkan nama saya sebagai penulis. Saya masih tetap menulis novel dan kontrak menulis dengan beberapa penerbit juga masih ada. Saya masih menyanggupi untuk menghadiri talkshow di radio-radio, festival buku, atau undangan kumpul penulis untuk berbagi cerita tentang wawasan menulis atau bahkan cerita-cerita ringan.
            Apa yang saya dapatkan dengan hidup di dunia kerja? saya belajar sabar, saya belajar memahami karakter manusia, saya belajar tekun, dan saya belajar untuk menyukai hal yang saya kerjakan. Posisi saya sebagai kreatif memaksa saya untuk bekerja serabutan. Tiga bulan pertama saya menjadi reporter untuk sebuah program News Entertainment. Tiga bulan kedua saya menjadi kreatif yang menulis skrip dan talent coordinator. Triwulan kedua ini adalah saat-saat di mana pergelanagan kaki saya seketika terluka, tidak mampu melanjutkan berjalan lagi menuju puncak, dan memutuskan berhenti. Di Semeru, saya menyadari bahwa ada saatnya ketika pertama kali memutuskan untuk keluar dari zona nyaman, saya merasa gagal di bagian tertentu di tengah-tengah perjalanan. Maka, saya memutuskan berhenti ketika saya sadar saya berada di sebuah UGD rumah sakit karena kelelahan bekerja. Saat itu Semesta menyuruh saya untuk berhenti. Saya benar-benar berhenti sesaat.

* * *

            Jeda libur tiga bulan saya lakukan dengan mengambil tawaran untuk pindah ke sebuah penerbit yang saya impikan. Saya hampir memutuskan untuk menjadi penulis penuh waktu sebelum akhirnya sadar, saya tidak bisa sepenuhnya bebas. Saya harus bekerja di bidang yang saya sukai. Kini, sambil menulis saya bekerja kembali di sebuah perusahaan advertising sebagai penulis konten di daerah Senopati. Ini adalah bagian dalam perjalanan saya dari kehidupan baru pascakuliah. Saya punya keyakinan bahwa apa yang saya jalani adalah jalan saya menuju puncak. Sebab, suatu hari, saya akan kembali dan berada di Mahameru.

Kamis, 12 Juni 2014

My Guilty Pleasure with Zalora

            Setelah lulus kuliah dan menghadapi dunia kerja, saya tahu ada banyak hal yang akan saya alami. Saya akan bertemu dengan dunia yang benar-benar berbeda dengan dunia kuliah. Jam biologis akan berubah. Waktu bersama keluarga dan sahabat mungkin akan berkurang karena bekerja. Sebenarnya, kalaupun tidak bekerja di kantoran, saya masih bisa melakukan rutinitas saya sebagai penulis novel, apalagi saat itu saya mendapat kontrak baru dari editor saya untuk buku berikutnya. Namun, saya pikir bekerja kantoran waktu itu tidak ada salahnya juga untuk dicoba, hitung-hitung menambah pengalaman saya di dunia yang baru.
Seragam kantor yang eugh.. boring!

            Bulan Oktober 2013 saya mulai bekerja di salah satu kantor televisi swasta di daerah Kuningan, Jakarta Pusat. Saya menyukai pekerjaan saya dan apalagi sebelum bekerja kami diwajibkan mengikuti latihan militer bersama 250-an orang rekan kantor. Jam kantor saya tidak merutinkan pegawainya harus bekerja Senin-Jumat dari jam 9 pagi sampai jam 6 sore, meski kadang dalam seminggu kami mendapatkan libur satu sampai dua hari (yang pasti libur dua harinya sangat jarang). Daripada mengeluh mengenai jam kerja di kantor saya waktu itu, saya mencoba mencari hal-hal yang menyenangkan: teman-teman kantor, tempat kuliner yang melimpah di dekat kantor, dan…. bebas memakai baju apapun setiap hari Sabtu dan Minggu.
 
            Memang, kami diwajibkan memakai seragam kantor berupa polo shirt berwarna biru navy setiap Senin sampai Jumat, tetapi setiap Sabtu dan Minggu kami bebas memakai baju apapun. Tahu, kan, pergaulan anak TV seperti apa? Tentu Sabtu Minggu jadi ajang runway para karyawan kantor. Baik pria maupun wanita, memakai pakaian yang nyaman dan bagus adalah kewajiban setiap Sabtu atau Minggu. Hal ini juga bertujuan untuk menjunjung efisiensi dalam bekerja dan bersenang-senang. Dalam bekerja, tentu kita akan merasa nyaman memakai outfit yang bagus. Baju kantor yang saya pakai bisa digunakan sepulang kantor jika ingin berkumpul bersama teman di hari Sabtu atau beribadah ke Gereja bersama keluarga di hari Minggu. Saya cukup satu kali pakai baju yang sama untuk bekerja dan berkumpul di satu hari tersebut.

            Setelah saya memperoleh pemasukan sendiri, saya pikir baju saya rasanya hanya itu-itu saja. Teman-teman laki-laki dan perempuan di kantor saya menyarankan agar saya menjadi member di Zalora, salah satu online store yang menjual kebutuhan fashion from head to toe. Sebagai penulis, saya hanya pernah melakukan transaksi pembelian barang online di toko buku online, selebihnya tidak pernah. Alasannya karena saya takut barangnya tidak sesuai dengan foto yang dipajang, ukurannya tidak sama, dan semacamnya. Kekhawatiran saya ditanggapi santai oleh teman-teman saya. Di Zalora, kita bisa mengembalikan barang dan ditukar jika memang tidak puas. Untuk ukuran pun, ada ukuran yang disediakan tidak hanya dalam ukuran reguler tetapi juga dengan sentimeter (cm) jadi saya punya ukuran yang pasti mengenai produk yang akan saya beli.

Long Sleeve Denim Shirt with Shadow Pocket
            Jadi, saya pun sign up dan betapa terkejutnya saya bahwa saya mendapat voucher senilai 150.000 rupiah untuk member yang baru mendaftar. Saya melihat-lihat sebentar dan ternyata saya kelabakan memilih barang-barangnya. Ada begitu banyak produk yang bukan hanya bagus, tetapi juga murah meriah untuk pegawai kantoran yang baru masuk bekerja seperti saya. Kalau biasanya saya kesulitan mencari referensi fashion untuk laki-laki, di Zalora ada banyaaaaaakk sekali referensi dari ujung kepala sampai kaki. Setelah melakukan virtual shopping di Zalora selama satu jam, saya memutuskan untuk membeli sebuah kemeja Long Sleeve DenimShirt with Shadow Pocket dan dua pasang sepatu dari Twenty Four 01, Philip Deck Shoes dan Justin Sneakers.

            Yang membuat saya tambah senang karena selain bisa membayar secara online, Zalora juga menyediakan sistem COD (Cash on Delivery), jadi saat barang sudah sampai di tangan dalam tiga hari kerja, baru dibayar (pakai uang pas ya, kasihan abang kurirnya kalau harus kasih kembalian). Hal itu membuat kepercayaan saya naik berlipat-lipat kepada Zalora. Saya membuka kotak yang diberikan Zalora dan yang membuat saya tambah terkejut lagi, saya mendapatkan Lucky Jackpot yang berisi voucher diskon 15% di Zalora. Wuih!

          Zalora juga menyediakan Brand Ambassador Program. Kurang lebih sistemnya sama seperti Multi Level Marketing yang biasa kita kenal. Semakin banyak mengajak member lain menjadi down line kita, semakin banyak kesempatan kita mendapat diskonan bahkan tidak menutup kemungkinan kita bisa berbelanja gratis di Zalora.


I got Lucky Jackpot! Yeay!
            Sebentar lagi Lebaran tiba, saya memang tidak merayakan Lebaran, tapi keluarga besar saya merayakannya. Saya pun tidak kelewatan mengikuti tradisi membeli baju baru untuk Lebaran. Pilihan saya tentu kembali membeli barang-barang oke punya di Zalora. Tunggu apalagi, sign up and get 150.000 rupiah for free!