Kamis, 12 Februari 2015

Sekilas Tentang (calon) Novel Kelima


            Dengan berat hati harus saya katakan kepada pembaca saya di luar sana bahwa novel ini akan menjadi novel teenlit terakhir saya. Saya tahu ini cukup berat bagi pembaca saya yang sudah nyaman dengan cara bercerita ala remaja yang saya tuliskan di buku pertama dan kedua.
           
Saya mengenal betul ketika pembaca saya mengatakan bahwa buku pertama dan buku kedua cukup berbeda. Banyak pembaca mengatakan bahwa di buku kedua saya mulai bertumbuh, pun dengan pembaca. Saya dan kalian sama-sama bertumbuh bersama. Beberapa dari pembaca saya bahkan mulai beranjak menjadi penulis dan saya bahagia begitu menyadari bahwa dulunya mereka pernah membaca novel yang saya tulis. Saya menyadari dengan bertumbuhnya usia dan banyak yang telah saya lihat serta alami, saya ingin belajar banyak hal dan terus mencari formula yang tepat untuk memuaskan pembaca dan terutama diri saya sendiri. Formula tersebut saya temukan ketika saya menulis buku ketiga. Buku ketiga yang saya tulis tentang Christian Romance adalah pemanasan sebelum saya serius menulis di genre Metropop. Novel keempat saya adalah murni Metropop dengan sedikit formula baru yang saya terapkan. Novel keempat yang telah saya tulis adalah hasil latihan dari novel ketiga. Dua draft tersebut telah saya serahkan ke meja redaksi Gramedia Pustaka Utama, rumah baru saya sebagai penulis. Saya dan Ci Hetih, editor senior akuisisi di GPU, kami terlibat dalam proses saling menemukan dan ditemukan. Pada akhirnya saya berujung untuk menetap di GPU sebagai rumah kreativitas. Hasil eksekusi ide-ide saya di sepanjang jalan di dalam mobil, melamun, patah hati, semua hal tersebut saya kumpulkan di GPU.

            Lalu mengapa novel kelima ini adalah novel teenlit terakhir saya? Saya menyadari merasa nyaman menulis Metropop di buku ketiga dan keempat. Namun, saya sadar kenyamanan saya harus sedikit diusik. Saya sadar bahwa selanjutnya saya ingin terus menulis Metropop. Di novel kelima ini saya mau sedikit keluar dari zona nyaman saya sebelum saya kembali bersenang-senang memberi kejutan untuk pembaca saya, teman sesama penulis, dan juga editor. Sejak dulu ketika saya masih berguru kepada Abang tercinta (Christian Simamora) saya pernah melontarkan untuk menulis novel bagi banyak anak muda yang ingin menjadi penari. Buku ini akan menjadi guideline untuk menari bagi mereka dalam balutan cerita fiksi. Saya tidak akan cerita lebih banyak, tapi intinya cerita ini akan dimulai oleh seorang penari remaja yang memulai karier menarinya sejak SMA dan mengalami titik balik dalam memperjuangkan apa yang ia yakini sebagai masa depannya.

            Untuk kali ini, saya nggak punya ambisi berlebih selama menulis. Saya percaya bahwa ide yang seringkali menghampiri saya untuk menuliskan kisahnya. Kepala, hati, dan tangan saya hanya dipinjam dalam periode tertentu selama menulis kisah yang ingin ide itu sampaikan. Saya merasa berkewajiban untuk menuntaskannya sesegera mungkin. Terlebih bahwa plot novel kelima ini sudah disetujui dan akhir Maret adalah garis mati terakhir saya menyerahkan draft awal cerita ini.

            Sampai saat ini, saya bahkan mengalami proses menyenangkan. Untuk riset novel ini, (sampai sekarang) saya sengaja mengikuti kelas dance yang dikepalai oleh Kak Hamada Abdool. Beliau adalah koreografer dan penari latar Agnez Mo. Beliau juga otak di balik kesuksesan tim dance SMA seperti DETAK (SMA 26 Jakarta) dan PCM (SMA 6 Jakarta). Seperti tokoh utamanya, saya bekerja keras untuk mengejar semua hitungan bar dalam menari, menemukan kosakata dalam dance yang akan saya rangkum dalam Dancionary (Dance Dictionary), dan juga mendengar kisah sukses banyak penari. Tentu saja sebagai pelengkap selama proses riset itu, saya juga melahap banyak film dance seperti Billy Elliot, Black Swan, Step Up, Dance Street, Honey, bahkan saya memutar ulang semua musim film Bring It On dari zaman Kirsten Dunst sampai Christina Millian.


            Draft novel ini juga cukup mendistrak saya dari zona nyaman karena saya harus pandai-pandai mencari waktu menulis di sela kegiatan saya yang semakin pelik baik di kantor dan di luar kantor. Meski saya sadari kegiatan rutin di luar kantor menyita banyak waktu, tapi saya sungguh-sungguh menikmatinya. Tahun ini adalah tahun yang baik untuk menikmati segala bentuk kebahagiaan ini, saya sungguh bersyukur diberi kesempatan luar biasa menjadi seorang seorang penulis. Saya ingin pembaca merasakan segala kebahagiaan yang saya rasakan menjadi seorang penari di novel kelima ini. Sekali lagi bahwa saya ingin bertumbuh dengan pembaca saya. Novel kelima ini, kali ini dengan penuh rasa senang saya tuliskan bahwa, novel kelima yang sedang saya tulis adalah novel teenlit terakhir saya. :) 

Senin, 09 Februari 2015

Novel Ketiga Segera Lahir

Akhirnya, inilah buku ketiga saya di penerbit yang baru, Gramedia Pustaka Utama. Sudah sejak lama saya memimpikan bahwa kelak karya saya akan lahir di tempat ini. Salah satu mimpi saya terwujud dan saya berkali-kali merapal syukur dalam doa saya. 

Novel ketiga saya yang berjudul Thy Will be Done ini akan menempati genre Metropop. Saya belajar menulis dengan formula baru dan berbeda dari dua novel saya sebelumnya. Saya belum bisa cerita novel ini bercerita tentang apa. Waktu lain akan saya ceritakan tentang karya ketiga saya. Kepuasan saya dan pembaca adalah hal mutlak saya menulis. Jadi, yang saya harapkan tetap sama, agar kalian mendapat pemahaman baru dari cara berpikir saya dan paling utama adalah menghibur teman-teman pembaca.

Berikut adalah opsi cover novel ketiga saya. Silakan ikut membantu saya memilih cover novel ketiga saya. :)


Senin, 08 Desember 2014

Pesta Natal dan Tahun Baru

Ada banyak hal yang membuat saya selalu suka bulan Desember. Pohon Natal, hari raya, Gereja bersama keluarga, doa malam sebelum pergantian tahun, makan besar, kumpul saudara, kumpul sahabat, dan bergadang di malam tahun baru. Ditambah lagi kakak saya satu-satunya berulang tahun di tanggal 31 Desember dan dilanjutkan oleh Tante saya yang berulang tahun tanggal 1 Januar. Semua keseruan itu buat saya masih melekat tradisinya sampai hari ini. Meski keluarga besar kami berpencar di sana-sini, setiap tahun kami pasti selalu berkumpul di rumah Nenek, tanpa terkecuali.

Meski saya akui, tahun ini akan sedikit berbeda dari biasanya. Nenek saya tidak lagi tinggal di Jakarta dalam waktu dekat, sementara cuti kerja yang hampir habis dan beberapa deadline menulis membuat saya tidak mungkin berangkat ke Medan, menemui Nenek, untuk merayakan Natal dan tahun baru di sana. Kegelisahan itu lenyak seketika ketika sahabat-sahabat saya mengajak merayakan tahun baru di rumahnya. Ia akan mengadakan pesta cukup meriah dengan mengundang teman-teman terdekat saja. Tentu saja tawaran ini saya ambil, mengingat setelah doa malam pergantian tahun baru kami tidak punya acara apa-apa. Ulang tahun  kakak saya pun juga pasti sudah lewat ketika malam pergantian tahun.


Untuk itu, saya harus berpakaian berbeda. Untuk seorang penulis yang sangat spontaneous seperti saya, nggak terlalu sulit untuk mencari pakaian di online shopping saat waktu terasa mepet seperti ini. Ditambah sekarang di kantor menuju akhir tahun pekerjaan semakin mepet dan menumpuk. Semua solusinya ada di online shopping yang satu ini sih Zalor. Cukup mudah, saya memilih baju Slimfit Sail Board Print Shirt ini dari Mango Man. Dipadu dengan Chino Pants yang sebelumnya sudah saya miliki serta loafer cokelat andalan saya. Buat aksesoris, saya juga beli jam Victorinox Swiss Army di Zalora, lho. Voila, saya siap deh merayakan tahun baru pertama saya dengan sahabat! Kalau kamu beli outfit keren, tapi waktu terbatas, coba buka aja di sini. Outfit yang bagus membuat kepercayaan diri kita meningkat, perayaan tahun baru pun akan semakin meriah jadinya! J

Selasa, 21 Oktober 2014

Pada Suatu Hari di Kuta



 
1
kamu pernah duduk menghadap
matahari kuta yang hampir terbenam
di sini, di atas pasir yang kududuki
kamu, dalam bayang tenggelam yang temaram




inikah pulau yang menginspirasimu?
dari nusa dua hingga lovina
ubud sampai kintamani lalu
kita berdua berbagi setiap jejak

aku mendengar setiap bisikkanmu
yang kautinggalkan pada
setiap bisik mengantarku
pada ketiadaanmu

tetiba kubuka hatimu berisi pasir
yang terbawa ke dalamnya
kugenggam halus kemudian terbangku
kembali pada suatu hari di kuta

2
suatu hari di kuta kamu
berbisik kepadaku tentang harta
karun di dalam hati, lalu kamu
mengajakku bertualang

menyusuri uluwatu yang damai
melihat gelegar samudera hindia
bercengkerama dengan ekor panjang
dan nikmatnya berjalan sepanjang ubud

suatu hari di kuta kamu
bercerita kepadaku tentang makna
hidup dan cinta dan jiwa dan
kehilangan, kamu lalu hilang

menyusuri senja yang dramatis
di bawah lembayung dan gugurnya
daun kemboja kamu berbisikku
suatu hari di kuta, kita berdua
jatuh cinta

Senin, 06 Oktober 2014

Kepada Gema-gema di Udara tentang Pesan yang Belum Tersampaikan

Gunung Sikunir, Dieng, 2014
     Aku tidak akan menanyakan apa kabar kepadamu terlebih dahulu karena aku yakin kau akan selalu baik-baik saja. Sebab tanpa perlu kau tahu, aku selalu mendoakan untuk kesehatanmu setiap malam.

            Apa saja yang sudah terjadi ke dalam hidupmu belakangan ini? Apa kabar Ibumu? Apa kabar adikmu? Bagaimana kehidupan barumu?

            Adakah kau memikirkan hal yang sama tentangku, saat aku memikirkan tentangmu di waktu-waktu tertentu?

            Aku selalu mengingat tentangmu saat kita berdua duduk di atas bukit itu. Memandang lampu rumah penduduk seraya kunang-kunang yang sedang bersemayam di lembah bukit. Atau ketika aku mengantarmu ke rumah sakit saat kau tak berdaya setelah semalaman menggigil karena disentri yang kau derita. Adakah yang lebih menyakitkan selain melihat orang yang kaucintai menderita? Aku terbangun tengah malam, menggoyang tubuhmu hanya agar aku tahu bahwa kau masih sadar. Aku keluar dari dalam selimut yang membungkus kita berdua. Dengan celana pendek dan kaus tipis, aku menggigil kedinginan di tengah malam dengan kabut pekat dari jendela kamarmu dan udara dingin yang menusuk. Malam itu sepi, hanya ada suara menggigilmu yang menggugu dan juga suara tanganku yang sedang sibuk menyobek plastik obat untukmu. Aku berjalan ke sudut ruangan dan menyeduh segelas teh untukmu. Aku meletakkan gelas dan sebutir obat demam di atas meja kopi milikmu, kukeluarkan jaket hangat dari dalam tas milikku dan kubungkus dirimu di dalam sana. Agar kau sehangat berada di dalam perut Ibu, berteman dengan amnion dan tembuni.

            Malam semakin larut. Setelah mengucapkan terima kasih dengan suara parau kau semakin lelap. Aku berusaha memelukmu agar kau semakin hangat. Ketika cahaya matahari pagi menepuk lembut wajahku, tanganmu yang sebesar gada yang biasanya merengkuhku masih membungkus tanganku.

            “Kau membaca buku saja dari tadi?” tanyanya.

            “Membaca buku itu seperti bermimpi dengan mata terbuka,” jawabku. “Kau sendiri selalu saja pergi berpetualang.”

            “Berpetualang itu menjadikan kamu pribadi yang lebih baik lagi. Suatu hari kau harus ikut bersamaku pergi.”

            Aku memutar kedua bola mataku dan melanjutkan bacaanku. Kita berdua tahu, aku tidak terlalu suka berpetualang dan kau tidak tidak terlalu suka membaca buku.

            Pesan ini belum juga sampai kepadamu. Tentang isi hati yang sudah pasti, tapi belum juga kau tahu. Hanya sekadar memastikan bahwa rasa yang merelung di dalam ini bukan sekadar teman baik atau sahabat. Ini perasaan yang rasa-rasanya seperti: 1) Aku ingin menatap kedua matamu setiap aku membuka mata di pagi hari; 2) Aku ingin menyadari bahwa kedua tanganmu yang sebesar gada itu masih merengkuh kedua tanganku yang beku; 3) Aku ingin terbangun setiap malam saat kau menggigil dan memberimu segelas air putih dan sebutir obat; 4) Aku ingin jadi orang pertama di rumah saat kau pulang bekerja dari kantor (kepalaku akan menyembul dari balik tirai dapur saat mencuci piring setiap kau berteriak, “Aku pulang….” 5) Aku ingin melihat wajahmu yang disinari lampu-lampu rumah penduduk di atas bukit kota, sambil mendengar kau bercerita tentang apapun. Asal itu kau, aku tidak akan bosan mendengarnya. 6) Aku ingin selalu berbeda dan berdebat denganmu. Sebab dengan begitu aku merasa kepingan puzzle milikku ada yang melengkapi. Setiap sudut hidupku akan lengkap dengan sudut hidupmu.

            Kepada gema-gema di udara tentang pesan yang belum tersampaikan. Aku tidak ingin kau menemukan surat ini dan menemukan aku yang menulisnya. Biar saja kau tahu karena memang sudah waktunya kau untuk tahu. Seperti kita yang saling menemukan di bawah kaki gunung Sikunir saat festival Dieng beberapa waktu yang lalu tanpa kita harus saling tahu. Sebab kau tak tahu aku sengaja pergi menyusulmu meski aku tidak suka mendaki gunung hanya untuk melihat wajahmu.

            Kau masih belum juga tahu. Biarkan gema-gema di atas pemukiman penduduk tertinggi di Pulau Jawa ini yang tahu, yang menyimpan semua perasaanku yang belum juga sampai kepadamu.

            Pada saat yang tepat, kau akan mengetahuinya. Dan mungkin kita tak lagi sama.

P.S: Aku masih ingat setiap milisekon saat aku dan kau saling bertatapan di kaki Gunung Sikunir itu. Kau yang terkejut melihatku dengan pakaian lengkap mendaki gunung dan aku yang terkejut melihatmu membawa buku dengan nama penulis dan judul buku yang kutulis di dalam genggamanmu.

Senopati, 6 Oktober 2014