
Malam sebelum berangkat ke Jogja, Ambar mengajak Yusuf untuk clubbing, dan jadilah mereka berdua mabuk sehingga terlambat untuk mengejar pesawat. Ambar memutuskan untuk berangkat dengan Yusuf menggunakan mobil. Cerita dimulai ketika mereka berdua melakukan perjalanan darat ini. Dengan Yusuf, seorang pemuda cerdas, sopan, motivatif, malu-malu tapi ingin, ia berjalan dengan Ambar, wanita yang berjiwa bebas, merdeka, impulsif, tetapi dilema dan pesimis terhadap hidup
Layaknya sebuah perjalanan, seringkali kita menemukan jiwa sebenarnya dari rekan perjalanan kita. Demikian pula dengan Yusuf dan Ambar, mereka belajar untuk menerima diri sendiri dan orang lain, mereka belajar caranya brerbagi.
Cerita ini sederhana, tentang bagaimana perbedaan dan keputusan diambil dari hal-hal paling sederhana yang terjadi selama di perjalanan. Perjalanan yang panjang membuat kita menemukan hal-hal yang tidak pernah disadari sebelumnya: tentang menjadi diri sendiri, persahabatan, mengambil keputusan, cinta, harapan, kematian, dan takdir. Cerita ini berjalan, mobil yang berisi Ambar dan Yusuf pun berjalan, demikian pula kehidupan mereka berdua. Ada yang harus dipilih, ada yang harus diputuskan, dan pada akhirnya harus ada yang dijalankan.
Bagi saya, cerita apa pun mengenai perjalanan, ditambah ketika pemikiran seseorang berubah dan mendapatkan inspirasi selama perjalanan adalah film yang bagus bagi saya. Entah mengapa, ketika ada scene film atau video ketika seseorang melihat pemandangan dari dalam kaca mobil selalu membuat saya otomatis menyukainya. Sebut saja Ada apa dengan Cinta?, Sherina, Aku Ada, From Prada to Nada.
Bagian favorit saya ada dua. Yang pertama ketika Ambar menerima pernyataan dari mulut Yusuf bahwa dirinya manja. Yusuf mengatakan bahwa dunia tidak selamanya menuruti kemauan kita. Manusia berbeda. Titik balik pun terjadi, ambar menangis selama di perjalanan dan di pinggir sawah sambil menikmati pemandangan, Ambar meminta maaf pada Yusuf, kemudian mereka berdua belajar untuk menghargai perbedaan.

Yang kedua ketika Ambar, yang bukan orang Katolik, berdoa kepada Bunda Maria di Gua Bunda Maria Sendangsono. Ambar berbicara kepada Bunda Maria layaknya kepada Ibu. Di sana, ia mengeluarkan diri yang sesungguhnya, bahwa wanita kuat seperti Ambar dapat menjadi lemah dan mengadu.
"Gue takut gue bukan apa-apa?"
"Maksudnya?"
"Gue takut gue nggak bisa jadi apa-apa."
"Hidup kan tentang perjuangan lagi, Bar. "