Jumat, 29 Agustus 2014

Karina and Her Love Story #EPLChallenge



“Love never felt so good, Diego.”

            Saya pertama mendengar kalimat itu bukan dari Michael Jackson dan Justin Timberlake. Bukan. Saya pertama mendengarnya justru dari seorang backpacker asal Prancis bernama Karina Evrard. Saya pertama kali berkomunikasi dengannya lewat sebuah situs backpacking hospitality terkenal di dunia, CouchSurfing.

            Di Stasiun Senen siang itu, Karina menelepon saya untuk memastikan seminggu depan saya akan menemuinya di Malang. Kami akan tinggal dalam satu rumah dengan host kami di Malang. Dalam solo traveling saya kali ini, saya tidak akan menyangka saya akan menyaksikan cerita cinta yang begitu indah dan…. tentu saja nyata.

* * *

            Passport sudah di tangan saya, sementara tiket menuju Malaysia sudah di tangan teman saya. Hari itu saya termangu, hanya menatap nanar passport di tangan saya. Saya ketinggalan pesawat yang telah terbang membawa tiga orang teman kampus saya.

            Bagi saya, tidak perlu waktu lama untuk bersedih. Perjalanan harus tetap dilanjutkan. Solo traveling bukan masalah karena toh pada akhirnya kegagalan saya ke Malaysia dan Singapura malah akan membawa saya menemui orang-orang baru. Hari itu juga saya membuka situs CouchSurfing. Saya menulis post di dalam forum Jakarta dan melempar topik dengan judul “A Novel Writer Solo Traveling to Jogja, Solo, and Malang. Anyone?”

            Tidak butuh waktu lama seorang CouchSurfing Ambassador dari Jogja yang akrab dipanggil DJ (nama aslinya Djamaludin) menawarkan rumahnya untuk saya tumpangi. Berturut-turut seorang radio announcer dari Malang juga menawarkan rumahnya, lalu penulis buku travel dari Solo menawarkan sebuah kamar hostel yang sudah direkomendasikan oleh penulis Lonely Planet, lalu yang terakhir seorang wanita asal Prancis turut serta dalam trip saya di Malang. Sehari beres, saya menyimpan nomor mereka ke dalam ponsel saya. Hari itu juga saya berangkat ke Stasiun Senen. Packing? Saya langsung menyambar carrier saya tanpa perlu packing lagi. Semalam kan saya sudah packing dalam maksud dan tujuan ke Malaysia. J

* * *

            Di dalam kereta selama 12 jam menuju Jogja, saya sadar ini perjalanan pertama saya seorang diri naik kereta ekonomi. Kebetulan orang-orang yang duduk di samping dan di depan saya sangat ramah sehingga mereka kadang juga memberi saran saat saya pergi sendirian. Waktu itu umur saya masih 21 tahun, saya masih kuliah dan jam terbang untuk traveling masih sangat lowong. Begitu sampai di Jogja, saya sering diajak Mas DJ untuk makan di tempat-tempat yang belum pernah jarang saya kunjungi. Siangnya saat Mas DJ pergi bekerja, saya berkeliling kota Jogja dengan sepeda yang dipinjam oleh Mas DJ. Saya benar-benar merasa bebas. Malamnya saya diajak oleh Mas DJ dan teman-teman CS Jogja untuk gathering di Raminten, sebuah rumah makan yang dimiliki oleh seorang waria. Di Raminten itu pula, saya pertama kali janjian bertemu dengan Karina. Begitu saya menerima pesan teks darinya kalau dia sudah sampai, saya menemuinya. Ia begitu antusias, memeluk saya dan juga mencium. Pribadinya begitu hangat. Malam itu kami bercerita tentang apa pun. Sayangnya ia tidak punya banyak waktu karena sudah janji untuk jalan-jalan malam dengan teman-teman dari Prancis. Sebelum pulan, ia mengingatkan saya agar tidak lupa akan trip kami di Malang. Saya mengangguk penuh antusias.

Hari-hari liburan saya sangat menyenangkan. Tidak hanya di Jogja, tetapi juga di Solo, saya malah ikut kelas membatik di Kauman dan pergi ke Keraton Solo dan Pasar Antik. Tibalah saya di Malang. Sehari bersama si radio announcer, esoknya saya pindah ke host yang baru. Namanya Nurina Evawani, ia sedang cuti dan berlibur di rumah orangtuanya di Malang. Kebetulan ia menawarkan rumahnya untuk saya tumpangi. Mbak Nuri, begitu ia sering dipanggil, ternyata juga mendatangkan dua backpacker asal Jakarta yang kemudian sampai saat ini menjadi teman baik saya, Nova dan adiknya, Desty. Saya kemudian menanyakan kesediaannya untuk menampung satu orang lagi. Begitu Mbak Nuri setuju, resmi sudah Karina Evrard tinggal bersama kami selama tiga hari ke depan. Saya pikir, biasa saja selama ini traveling bersama bule, tapi tidak dengan Karina. Ia benar-benar berbeda.

* * *

            Saat saya, Nova, Desty, dan Mbak Nuri sedang bersantai di ruang tengah sambil menonton re-run American Idol di channel Star World, sebuah klakson mobil terdengar tiga kali dari luar rumah. Kami semua serentak terbangun dan berlari kecil ke arah teras rumah Mbak Nuri. Itu dia yang kami tunggu-tunggu. Karina diantar oleh mobil travel menuju rumah Mbak Nuri. Begitu ia turun, saya bersalaman dan memeluknya. Ia mencium saya sambil tersenyum sumringah. Begitu pula dengan Mbak Nuri, Nova, dan Desty. Kami langsung bercerita tentang apa saja. Karina adalah tipe manusia yang cocok untuk mengobrol dengan siapa pun karena keahliannya yang cepat beradaptasi dan mengobrol dalam topik apa pun.
           
* * *

            Nova dan Desty memutuskan pulang besoknya karena mereka ingin mencapai Bromo dengan menumpang truk pasar. Meski mereka perempuan berumur 20-an dan yang satu belasan tahun, saya akui mereka sangat pemberani. Selepas mengantar Nova dan Desty ke depan komplek, saya, Mbak Nuri, dan Karina memutuskan untuk berjalan kaki sampai alun-alun. Sepanjang perjalanan, sambil memotret, Karina sesekali memperlihatkan teknik memotret yang didapatnya dari sang kekasih yang kini tinggal di Prancis. Karina kemudian menanyakan kepada kami, apakah kami punya pasangan. Saya menggeleng, Mbak Nuri pun juga menggeleng. Karina tersenyum sambil berkata, “Sooner or later, you both will find your true love. Until the day you meet him, just be yourself. He or she will love you unconditionally.”

            Saya mengerutkan kening, “True love? Are they exist?”

            Kami kemudian duduk di Java Dancer, atas permintaan Karina, sebuah kedai kopi di dekat alun-alun kota Malang. Karina yang memilih tempat duduk di dekat bar. Saya memesan teh aroma peppermint, sementara Karina memesan Americano, Mbak Nuri memesan kopi tubruk.

            “Sebelum bertemu Romain, saya nggak percaya cinta sejati. Perempuan yang hampir 40 tahun ini sudah berkali-kali disakiti oleh laki-laki. Kalian tahu, di saat saya tidak ingin menikah dan selamanya hidup sendiri, seorang laki-laki datang kepada saya dan berjuang begitu kerasnya untuk meluluhkan hati saya. Bisa bayangkan betapa kerasnya ia berjuang untuk mendapatkan kepercayaan dari wanita yang hampir memutuskan tidak ingin berharap lagi kepada cinta?”

            Saya dan Mbak Nuri takzim mendengarkan cerita Karina.

            “Hidup kadang mengejutkan kita, Diego, Nuri.” Karina kini menyesap Americano miliknya, “Kalian bebas tidak ingin percaya cinta, tidak ingin menikah, tapi ada satu titik ketika hidup memutar skenario kita dan membuat kita banting stir.”

            “Jadi itukah alasan kamu ke sini?” Mbak Nuri yang biasa selalu tertawa kini serius mendengarkan cerita Karina.

            “You are smart, Nuri. Iya, saya ke sini karena saya mau mendatangi tempat-tempat yang dikunjungi Romain, termasuk ke kedai kopi ini, memesan kopi yang sama, dan duduk di tempat yang sama dengan Romain. Kalian tahu, seminggu setelah Indonesia trip yang ia lakukan, kami berpacaran. Sesimpel itu. Saya ke Indonesia karena Romain menyatakan cintanya di tiap kota yang ia kunjungi sambil berfoto dengan kertas yang ia tulisi “Will You Marry Me?”, padahal bukan negara ini yang jadi tujuan saya untuk berlibur. Hidup penuh kejutan, saya jatuh cinta sama negeri kalian. Di negara ini yang penuh cinta buat saya, bukan Prancis.”
            Saya dan Mbak Nuri melenguh tertahan. Kami berdua terharu mendengar cerita dari Karina.

            “Setelah ini kau mau ke mana, Karina?” tanya saya.  “Sampai ujung negara ini, Diego. Saya baru setengah perjalanan. Saya akan sampai ke Merauke.”

            Saya betul-betul malu.Malu karena sempat tidak percaya kepada true love dan tidak jalan-jalan sebanyak Karina mengelilingin Indonesia. Lama setelah itu saya membaca Eat, Play, Leave (Kisah Buke-Bule Bali) dari Jenny Jusuf. Saya tersenyum saat menutup buku tersebut. Saya yakin, teman bukan hanya orang yang bersemayam di negara kita. Saya akan mendapat banyak cerita dari teman di luar negeri. Saya sangat merekomendasikan buku ini bagi siapapun kalian yang ingin terinspirasi cerita dari Jenny Jusuf. Di Goodreads saya telah mereview buku ini. Bisa kalian lihat di sini. https://www.goodreads.com/review/show/1015965126?book_show_action=false It was a good experience reading this book.