Dulu, waktu gue sangat
belia dan lugu, saat gue baru merasa bisa menyetir, gue selalu senang dengan
adrenalin untuk melaju kencang di jalan bebas hambatan. Rasanya begitu
menyenangkan dan melegakan. Saat itu, harusnya gue berkarier menjadi pembalap. Namun,
kemudian gue sadar, kemampuan gue menyetir belum sejago itu. Seharusnya
kemampuan melaju kencang-kencang harus diimbangi dengan kemampuan menyetir yang
mumpuni. Alhasil, gue harus rela ketika suatu hari dalam perjalanan pulang ke
rumah—dengan kondisi sedikit melamun dan mengantuk—mobil gue menabrak sebuah
motor dan juga pengendaranya. Kaca spion pecah, sang pengendara motor
berdarah-darah di kaki dan pergelangan tangannya.
Dulu,
waktu gue sangat belia dan lugu, saat gue baru merasa bahwa mencintai itu
sangat menyenangkan, gue selalu senang dengan antusiasme yang tinggi dan cinta
yang meledak-ledak. Saat cinta tidak selalu berbalas, gue selalu percaya bahwa
dengan gue berkorban sepenuh hati, suatu hari orang tersebut akan melihat
betapa tulusnya gue dalam berjerih payah untuk memperjuangkan dia. Suatu hari
hatinya akan tergerak untuk mencintai gue sebesar gue mencintai dia. Sampai
suatu hari akhirnya gue “tertabrak” karena “melaju kencang-kencang” dalam
perjalanan menuju hatinya.
Merasa
bahwa gue butuh menyembuhkan luka—karena dari saat gue belia dan lugu sampai
gue merasa saat ini dewasa dan menuju usia sepertiga
abad—gue meminta kepada atasan di kantor untuk mempercepat dinas bulanan ke
Bangkok. Sejak tahun 2017, gue belum lagi menginjakkan diri ke kantor gue yang
berpusat di negeri Gajah Putih itu. Selalu ada alasan dan rencana busuk di
balik permohonan kepada bos gue tersebut. Gue akan mengambil cuti selama satu
minggu untuk menyembuhkan luka di Bangkok.
A long trip might do the trick. Begitu
pikir gue saat itu. Ditemani sepupu dan pacarnya, gue menghabiskan liburan di
Bangkok yang… ya gitu-gitu aja. Mabuk udah, belanja impulsif udah, makan sampai
begah juga udah. Gue pikir, gue cuma sedikit bersenang-senang saja selama di
sana. Karena di sudut mana pun gue melangkah, selalu ada wajahnya. Wajah orang
yang membuat gue selalu melaju kencang-kencang di jalan menuju hatinya.
Ketika
gue pikir bahwa liburan ini nggak berhasil (yah, party-party lucu, make out
with so many strangers, dan belanja barang yang bisa menuhin satu lemari
baru cukup membuat gue happy, sih.),
di samping jendela pesawat, gue melihat bagaimana sayap pesawat menyentuh
lembut gumpalan awan tebal. Gue terpesona sampai nggak sadar bahwa gue sedang
melamun. Entah dari mana asalnya, gue merasa sadar bahwa selama ini gue selalu
merasa ada di atas garis wajar untuk melakukan sesuatu. Semua yang gue lakukan
terlalu tinggi dan terlalu antusias. Nyatanya, semua yang diawali dengan kata
“terlalu” nggak pernah baik hasilnya. I
have to keep it low cause less is more.
Seseorang
yang pernah menyetir mobil dengan predikat “jago” pasti tahu pada saat yang
tepat kapan ia harus melaju kencang dan lambat. Bukan membiarkan dirinya
dikuasai adrenalin untuk melaju kencang setiap saat.
Sama
halnya seperti ini: kita nggak bisa mencintai orang lain, kalau kita belum bisa
mencintai diri sendiri dan tahu kapan harus menguasai dirinya sendiri dikuasai
adrenalin cinta yang meledak-ledak.
Tentu saja dengan mencintai
orang lain terlalu dalam sampai kita lupa bahwa diri sendiri sudah lelah dan
terluka adalah sebuah indikasi yang jelas bahwa kita belum bisa mencintai diri
kita sendiri dengan baik.
Masih memandang gumpalan
awan tebal yang terus menerus menyentuh sayap pesawat, gue menempelkan
ujung-ujung jari ke jendela yang dingin. Gue tersenyum menyadari bahwa justru
dalam perjalanan pulang, gue mendapatkan makna sesungguhnya untuk mencintai diri
sendiri dan merendahkan kemampuan untuk melaju kencang yang mana pada akhirnya
itu semua akan meledakkan diri gue sendiri.
Gue berjanji untuk
mencintai diri gue sendiri. Sampai tulisan ini dipublikasikan, gue masih dalam
proses untuk mencintai diri gue sendiri lebih dalam lagi, tapi nggak akan
sampai “terlalu”. Cara paling sederhana untuk lebih
menghargai diri ini adalah berusaha melupakan seseorang yang pernah kita cintai
tersebut dan mulai tanamkan kepada diri sendiri bahwa kita, manusia, sangat berharga dan berhak dicintai oleh orang yang juga kita cintai, sama besarnya.
Gue telah berhenti
meminta hati pada orang yang sudah jelas memberikan petunjuk di awal bahwa
bukan wajah gue yang ingin dilihatnya setiap dia membuka mata di pagi hari.
Mencintai diri sendiri
juga berarti bahwa kita harus berhenti memberi ekspektasi pada orang lain.
Mencintai diri sendiri juga berarti bahwa lo akan menerima sebuah take and give yang seimbang dari orang
yang lo cintai.
Mungkin seni mencintai diri sendiri ini adalah pelajaran yang baru dan menarik bagi gue di tahun ini.
Menarik karena seharusnya gue dan lo dan semua manusia di dunia ini berhak dan
wajib menjunjung harga diri setinggi-tingginya.
Jadi, teman-teman (dan
kepada gue sendiri), ayo dong, berhentilah meminta hati pada orang lain yang
tidak bisa menghargai diri lo.
Karena gue percaya pada
suatu hari akan datang seseorang yang mau memberikan dunianya kepada lo, tanpa
harus lo minta.
Keep
it low!