Senin, 28 Mei 2012

Resensi Buku: Rumah di Seribu Ombak


Di Kalidukuh, Singaraja, Bali Utara, sepasang sahabat bernama Samihi Ismail dan WayanYanik bershabat dalam indahnya perbedaan mereka. Samihi, pemeluk agama Islam yang tekun beribadah, dan Wayan Yanik, pemeluk Hindu yang selalu sumarah dan taat terhadap agamanya, saling berteman akrab, berbagi cerita, merangkai pahit manisnya jalan kehidupan bersama. Mereka saling mendukung bersama, misalnya, pada saat Lebaran, Yanik ikut merayakannya bersama keluarga Samihi, sedangkan saat Nyepi, Samihi menghormatinya dengan tidak keluar dari rumah dan ikut menyepi bersama. Kemudian Yanik membantu Samihi untuk latihan sebelum lomba qiraah dimulai di kampung mereka. Qiraah adalah lomba melantunkan ayat-ayat Al-Quran dengan tembang yang merdu. Samihi adalah wakil kampung mereka dalam kompetisi Qiraah se-Bali Utara.

Cerita demi cerita yang berhubungan dengan Bali pun banyak dikupas di dalam novel ini, seperti kejadian bom Bali di Kuta, Legian, pada tahun 2002, agama Islam dan Hindu sebagai sosiologis latar agama di Singaraja, Pantai Lovina dan ikan lumba-lumba, juga masalah pelecehan seksual turis asing terhadap anak-anak lokal Bali diceritakan pula di dalam novel ini.  

Rumah di Seribu Ombak menceritakan kepada kita secara apik bagaimana persahabatan dapat dibangun di atas peliknya perbedaan. Contoh kecil perdamaian dunia dapat digambarkan lewat Samihi dan Yanik. Mimpi dan perjuangan diceritakan dengan mengalir oleh penulisnya, Erwin Arnada. Tampak betul betapa telitinya penulis melakukan riset sebelum menulis novel Rumah di Seribu Ombak ini. Intinya, buku ini ingin memberitahu kepada pembaca bahwa persahabatan dan masa depan berjalan beriringan. Sahabat adalah manusia yang mampu menghilangkan ketakutan terbesar sahabatnya dan salah satusistem pendukung terbesar bagi keberhasilan sahabatnya. 

"Sebenarnya, rahasia yang kami jaga untuk menjadi juara adalah konsentrasi dan doa." - Rumah di Seribu Ombak (halaman 330)

Arnada, Erwin. 2011. Rumah di Seribu Ombak. Jakarta: Gagas Media.

Selasa, 22 Mei 2012

Mengapa Saya Ingin Kuliah 4 Tahun, Bukannya 3,5 Tahun?

Suatu ketika saat sedang santai menjalani kuliah Spanyol bersama seorang teman saya, Dewi, saya mengajukan hal ini padanya, "Dew, abis semester ini lo udah tahu mau kerja di mana?" Teman saya hanya memandang saya sedetik kemudian ia menjawab tegas, "Gue mau kuliah lagi."

"S2, maksudnya?"

"Nggak, kuliah lagi aja, nambah SKS. Bayar lagilah sesuai jumlah SKS."

"Emang bisa kalo udah abis 144 SKS terus nambah lagi?"

"Bisa?"

"Kok?"

"Gue mau belajar lagi aja. Gapapa dong. Bukannya gue mau jadi mahasiswa abadi, gue ngerasa belum matang aja buat keluar. Ngapain punya IPK tinggi tapi nanti gue plang plongo. Ya, gue mau belajar lagi aja."

Sampai kapan pun, belajar tidak akan pernah selesai. Di mana pun kita bisa belajar, begitu pun prinsip Dewi. Bedanya, dia punya pemahaman sendiri yang bisa saya mengerti untuk menambah pelajaran lagi. Mungkin kuliah Spanyol sampai level 3 yang jatuhnya lebih murah untuk belajar di kelas reguler dibanding kursus di LBI. Sampai sekarang misteri mengapa Dewi ingin terus kuliah belum bisa saya pecahkan, mentok sampai, "Ya, mau belajar lagi aja."

Tidak ada yang mengalahkan pengalaman hidup. Bagi saya kata-kata "pengalaman adalah guru terbaik" memiliki makna yang pada kejadian sebenarnya jauh lebih berarti. Artinya, semakin banyak pengalaman berarti semakin banyak guru berharga yang kita temui. Bukan bermaksud menyinggung, tapi saya ingin sekali bertanya pada teman-teman yang kuliah 3,5 tahun tapi belum punya rencana apa pun setelah lulus nanti. "Ngapain Kak, lulus cepet-cepet ujungnya nganggur? Liburan 3 bulan di rumah bosennya udah luar biasa. Apalagi nanti lulus terus bengang bengong planga plongo."

 
Baru-baru ini ada kakak angkatan dari jurusan lain di kampus saya, lulus 3,5 tahun dengan IPK 3.8 sekian, tapi sampai sekarang belum dapat pekerjaan apa-apa. Lalu bukan berarti saya mau memahsyurkan mahasiswa yang kerjaannya organisasi melulu tapi IP-nya NASAKOM (Nasib Satu Koma) amit-amit *ketok-ketok meja*, semuanya juga harus seimbang dan dilakukan penuh tujuan. 

 
Pilih mana? Dewi, teman saya itu misalnya, mau fasih berbahasa Spanyol dulu, maka ketika lulus nanti dia mau bekerja di Kedutaan Besar Spanyol, syukur-syukur bisa ke Barcelona, Madrid, Leon, Ibiza, dan kota-kota lain di Spanyol. Keren kan kalau udah punya tujuan. Lagian saya percaya kok, Dewi di kampus juga nggak terlalu pasif, pernah ikut organisasi, kepanitiaan sekali dua kali, nggak cuma kuliah aja buat dapat IPK tinggi tapi juga punya tujuan.

Minggu, 20 Mei 2012

Resensi Buku: The Five People You Meet in Heaven



Ini kisah tentang Eddie, seorang penjaga taman bermain Ruby Pier, yang ditunggu oleh lima orang yang dengan tak sengaja berkorban bagi hidup Eddie. Di alam baka, Eddie bertemu kelima orang itu: Manusia Biru, Kapten Perang, Ruby sang pemilik Taman Bermain Ruby Pier, istrinya, Marguerite, dan yang terakhir Tala, gadis Filipina. 

Eddie meninggal saat tengah menyelamatkan seorang anak kecil di Freddys Free Fall saat wahana bermain itu seketika macet. Novel ini memberikan gambaran kepada kita bahwa hidup setiap individu berhubungan dengan hidup orang lainnya. Disadari atau tidak, kita saling berkorban bagi kehidupan orang lain dan hal itu tidak akan pernah putus. Selalu ada lima orang yang akan menunggu di alam baka tentang kehidupan di dunia. 

Yang menarik dalam The Five People You Meet in Heaven adalah ide ceritanya. Ya, ini adalah novel titik balik pertama, yang saya baca, yang terjadi di alam baka bukan di dunia. Ide ceritanya sederhana, tentang surga dalam benak pemikiran Mitch Albom yang konsep mengenai surga ia dapatkan dari pamannya. 

The Five People You Meet in Heaven mengingatkan saya pada film The Lovely Bones yang ternyata juga diangkat dari novelnya. Mengapa The Lovely Bones? Saya mengingat kedua novel ini bermakna entah ditulis pada tahun yang berdekatan atau tidak, tetapi konsep surga bagi kedua penulis ini waktu itu adalah memiliki langit berwarna-warni. Di surga dalam kedua novel ini kita juga bertemu orang-orang yang memberikan pemahaman tentang makna kehidupan. Di dunia, kita hanya melihat dunia dari sepasang mata kita, tetapi di alam baka kehidupan di dunia dilihat dari banyak sudut.

Entah karena ini novel sepanjang masa dan juga faktor terhanyut dalam proses pembacaan The Five People You Meet in Heaven saya tidak menemukan kelemahan penulis dalam novel ini.

Salah seorang teman saya mengatakan, ketika membaca novel ini ia ingin terus berbuat baik kepada orang lain. Saat saya menutup novel ini, saya kemudian mengerti mengapa teman saya mengatakan hal tersebut. Jadi, jika Anda penyuka novel self development, coming of age, dan aliran batin, sebaiknya Anda membaca novel ini. Novel ini termasuk novel yang wajib dibaca sepanjang masa. 

I give 5 out of 5 stars