Minggu, 25 September 2011

Hadiah Ulang Tahun

Aku masih ingat jalan menuju tempat kosmu yang rumit itu. Untuk sampai ke tempatmu, kita berdua harus berjalan masuk ke dalam gang-gang serupa labirin majemuk. Jalan menuju tempat kosmu gelap dan sempit, lagi panjang bukan main. Bukankah aku pernah berkata kepadamu jika kau tinggalkan aku di sini maka aku tidak akan pernah tahu caranya keluar dari sini. Aku selalu takut jalan sendiri. Kau hanya tertawa kencang di tengah malam sementara aku berjalan di belakangmu sambil memegang ujung kausmu, kau tahu aku takut tersesat.

Sepanjang perjalanan kau cuma berkata, "Jangan takut"; "Kamu tuh harus berani"; "Ini nggak ada apa-apanya dibanding waktu aku hilang di hutan waktu pelantikan Mapala."

Kuakui kau sangat berani. Bukan hanya berani pada gelap malam dan jalanan basah yang kita lalui malam itu di tengah sunyi kota Bandung, tetapi kau mampu untuk berani terhadap segala hal: kegagalan, rasa sakit, tantangan, risiko, makhluk halus, orangtuamu, waktu, bahkan patah hati. Tidak tahukah kau, aku selalu mengagumi keberanianmu. Keberanianmu yang membuat kita berbeda. Perbedaan itu yang membuat kita bisa bersahabat seperti saat ini. Keberanianmu menyelimuti ketakutanku, menghangatkan sikapku yang masih serupa embrio untuk terus menetas sampai tumbuh makhkuk yang berani. Selama ini aku masih belajar sampai saatnya aku siap keluar dari selaput lindunganmu.

"Kamu tahu nggak? Dari jendela kamar kosku kamu bisa lihat pemandangan gunung dan sawah, makanya aku jarang pulang ke Jakarta setiap minggu. Ngapain pulang ke Jakarta kalau setiap hari aku bisa lihat Ubud dari jendela kamarku?"

Lama aku berpikir tentang kata-katamu, aku utarakan apa yang ingin kukatakan dalam pikiranku kepadamu saat itu.

"Kamu tahu nggak? Kalau aku kagum sama keberanian kamu. Kamu hebat tau nggak?"

Kamu hanya tertawa menggumam. "Kalau aku nggak berani buat ambil tempat kosan di ujung gang begini, aku nggak akan bisa dapat pemandangan sawah kayak Ubud di sini."

Langkahmu mulai melambat saat kau tunjukkan tempat kosmu di depan kita berdua. Pandangan mataku mulai melebar di tengah remang-remang malam hari di kota Bandung. Kita berdua melewati pagar besar berwarna hijau metalik kemudian sama-sama melepas sepatu dan masuk ke dalam kamar kosmu yang kecil namun hangat.


***

Kita bersahabat. Berulang kali kau bilang kita adalah sahabat dan kau bangga karena aku dan kau bisa saling bersahabat. Kau, mahasiswa pencinta alam yang senang berpetualang di alam liar dan aku, penulis yang berpetualang liar di alam imajinasinya.

Aku suka senyummu, pelukanmu, nasihat, kebaikan, dan waktu yang kita gunakan untuk tertawa bersama. Aku jatuh cinta pada persahabatan kita. Lebih tepatnya aku menekan rasa cintaku hanya berhenti pada ujung sebuah garis yang dinamakan persahabatan karena aku selalu merasa ada tekanan nada pada kata "selalu" ketika kau ucapkan, "Kita selalu sahabatan, kan?". Selalu dalam pikiranku, mungkin maksud katamu adalah "kita hanya akan selalu bisa menjadi sahabat -- tidak akan pernah lebih."

***


Suatu malam kau pernah meneleponku. Dengan riang gembira kau katakan bahwa kau telah miliki belahan jiwamu. Kau temukan seseorang yang kau cari untuk mengisi malam-malam sepi dan dingin di Bandung. Suatu malam lagi di lain waktu kau meneleponku dengan jeda hening panjang sampai aku tidak mengerti apakah sambungan telepon masih tersambung. Lalu suara sengguk samar-samar muncul setelah jeda hening panjang, rupanya kau masih di sana. Sementara kau menangis, aku menahan rasa kantukku hanya agar kau merasa bahwa aku masih ada di sini untuk menemanimu dari malam-malam yang sepi.

Entah apa yang kucari. Selama ini aku selalu menemanimu dengan diamku meski hanya mendengar suara tangismu, menyediakan tempat menginap untukmu ketika kau ingin tidur setelah banyak bercerita sambil memandang langit-langit kamarku yang kutempel bintang-bintang plastik yang mampu bersinar dalam gelap.

Kau, masih ingatkah kau ketika kubilang, "Anak Mapala tuh nggak ada yang nangis tau!" Lalu dengan suara terisak tiba-tiba kau mengubah rintih tangis menjadi dengungan tawa, aku tidak akan lupa wajahmu yang tertawa masih dengan air mata menggenang di jembatan matamu. Kau selalu berani, bahkan berani untuk melawan perasaanmu sendiri. Aku sendiri kagum ketika aku melihatmu dengan berani mematikan telepon dari mantan terakhirmu yang posesif itu padahal aku yakin kamu mati-matian untuk bisa mematikan teleponnya. Kalau aku? Satu hal yang pasti, selelah apa pun aku, jika kamu yang menelepon, aku tidak akan pernah bisa mematikan telepon. Meski telepon yang terakhir kalinya darimu hanya untuk mendengarkan euforia bahagiamu karena kau kembali lagi dengan mantan kekasihmu yang posesif itu.


***


"Kamu di mana? Jadi datang ke Bandung kan?"

"Aku nggak tahu."

"Kenapa? Kamu tahu kan kalau sekarang aku ulang tahun?"

"Tahu, tapi kamu kan udah ada pacar."

"Terus kenapa? Kamu kan sahabatku, kamu harus ada pokoknya. Nanti kamu bisa tidur di tempat kos temenku, ya? Aku udah bilang sama dia soalnya aku yakin kamu pasti datang."

Aku tersenyum. "Lihat nanti aja, ya?"

"Loh, hei, kamu kok..."

***


Aku menutup telepon lalu memandang sebentar pada layar telepon yang kian lama kian meredup. Aku membungkuk lalu meletakkan bungkusan kado yang kusiapkan untukmu dengan sangat hati-hati di depan pagar berwarna hijau metalik itu. Sekali lagi aku menatap pintu kamar di seberang pagar yang memisahkan aku denganmu. Kini ia masih tetap membisu memandangku. Mungkin sang pintu punya rasa bersalah sendiri karena telah memisahkan kehadiranku dari pandanganmu. Apa yang kurasakan malam ini tidak dapat tergambarkan. Samar-samar kudengar suara tawamu dan seseorang di dalam sana. Aku tahu dia akan ada di sana bersamamu malam ini, bahkan selalu ada, bahkan menjadi lebih dari sekadar ada.

Aku hanya memberikanmu kado ulang tahun biasa, tapi kau memberikanku hadiah yang jauh lebih berharga: keberanian. Aku mengembangkan senyum sambil memasukkan kedua tanganku ke dalam dua sisi kantung jaketku. Di malam yang pekat dan dingin di Bandung, aku berjalan keluar dari tempat kosmu, aku keluar dari kantung selimutmu yang selama ini telah menyelimuti embrioku. Kini tanpa rasa takut tersesat, aku berani berjalan. Sendirian.

Kamis, 22 September 2011

Resensi Buku: Oksimoron


Alan dan Rine adalah sepasang pengantin baru yang berpikir bahwa kehidupan pernikahan yang akan dijalani oleh mereka berdua ke depan (diharapkan) adalah kehidupan yang paling menyenangkan. Mereka meyakini bahwa sifat dua menjadi satu, menjadi sepaham, menjadi sejiwa, adalah kunci yang dapat menutup rapat pintu perbedaan di dalam gejolak rumah tangga yang akan mereka hadapi. Tapi rupanya mereka lupa, kalau masing-masing dari mereka mempunyai latar belakang, pemikiran, dan (yang terutama adalah) keluarga yang berbeda. Apalagi ayah-ayah mereka mempunyai pengalaman yang kurang baik sebagai sepasang sahabat di masa yang lampau.

Novel ini, menurut saya, mampu menjelaskan tanpa menggurui. Bagi saya, penjelasan yang dieksekusi Isman H.S. sangat berhasil. Seperti yang dikatakan Ve Handojo di dalam endorsement yang ditulisnya. Segala "coincidence" yang menjadi bagian penting tentu bukanlah "kebetulan sinetron" yang tiba-tiba tercipta di tengah cerita. Kematangan cerita, karakter yang kuat, alur yang rapi, dan sindiran yang mengena di sepanjang cerita adalah kekuarn Isman di dalam Oksimoron. Kelebihan lain yang patut dibanggakan adalah wawasan Isman yang luas dan, entah tanpa disadari atau tidak, banyak kutipan yang menginspirasi sepanjang proses pembacaan.

Kelemahan di dalam cerita hanyalah penggunaan tanda koma sebagai pemisah antara induk dan anak kalimat di dalam cerita kurang maksimal digunakan. Tidak terlalu bermasalah mengingat Ibu/Bapak editor nanti diharapkan mampu memperbaikinya di cetakan yang berikutnya.


I give 5 out of 5 stars :)

Sumber Pustaka
Suryaman, Isman. H. 2010. Oksimoron. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.