Kamis, 29 Desember 2011

Resensi Film: Tiga Hari untuk Selamanya

Ambar (Adinia Wirasti) dan Yusuf (Nicholas Saputra) adalah sepasang saudara sepupu yang memulai perjalanan tiga hari ke Jogja karena 'kecelakaan'. Kakak Ambar hendak menikah tiga hari lagi di Jogja. Yusuf disuruh oleh Ibunya Ambar untuk mengantarkan piring dan gelas keramik dengan mengendarai mobil menuju Jogja. Masalahnya, Ibunya Ambar tidak percaya mengirimkan pring dan gelas tersebut dengan menggunakan pesawat, takut jika barang-barang tersebut pecah. Piring dan gelas itu digunakan sebagai tradisi setiap kali ada keluarga yang menikah.

Malam sebelum berangkat ke Jogja, Ambar mengajak Yusuf untuk clubbing, dan jadilah mereka berdua mabuk sehingga terlambat untuk mengejar pesawat. Ambar memutuskan untuk berangkat dengan Yusuf menggunakan mobil. Cerita dimulai ketika mereka berdua melakukan perjalanan darat ini. Dengan Yusuf, seorang pemuda cerdas, sopan, motivatif, malu-malu tapi ingin, ia berjalan dengan Ambar, wanita yang berjiwa bebas, merdeka, impulsif, tetapi dilema dan pesimis terhadap hidup

Layaknya sebuah perjalanan, seringkali kita menemukan jiwa sebenarnya dari rekan perjalanan kita. Demikian pula dengan Yusuf dan Ambar, mereka belajar untuk menerima diri sendiri dan orang lain, mereka belajar caranya brerbagi.

Cerita ini sederhana, tentang bagaimana perbedaan dan keputusan diambil dari hal-hal paling sederhana yang terjadi selama di perjalanan. Perjalanan yang panjang membuat kita menemukan hal-hal yang tidak pernah disadari sebelumnya: tentang menjadi diri sendiri, persahabatan, mengambil keputusan, cinta, harapan, kematian, dan takdir. Cerita ini berjalan, mobil yang berisi Ambar dan Yusuf pun berjalan, demikian pula kehidupan mereka berdua. Ada yang harus dipilih, ada yang harus diputuskan, dan pada akhirnya harus ada yang dijalankan.

Bagi saya, cerita apa pun mengenai perjalanan, ditambah ketika pemikiran seseorang berubah dan mendapatkan inspirasi selama perjalanan adalah film yang bagus bagi saya. Entah mengapa, ketika ada scene film atau video ketika seseorang melihat pemandangan dari dalam kaca mobil selalu membuat saya otomatis menyukainya. Sebut saja Ada apa dengan Cinta?, Sherina, Aku Ada, From Prada to Nada.

Bagian favorit saya ada dua. Yang pertama ketika Ambar menerima pernyataan dari mulut Yusuf bahwa dirinya manja. Yusuf mengatakan bahwa dunia tidak selamanya menuruti kemauan kita. Manusia berbeda. Titik balik pun terjadi, ambar menangis selama di perjalanan dan di pinggir sawah sambil menikmati pemandangan, Ambar meminta maaf pada Yusuf, kemudian mereka berdua belajar untuk menghargai perbedaan.




Yang kedua ketika Ambar, yang bukan orang Katolik, berdoa kepada Bunda Maria di Gua Bunda Maria Sendangsono. Ambar berbicara kepada Bunda Maria layaknya kepada Ibu. Di sana, ia mengeluarkan diri yang sesungguhnya, bahwa wanita kuat seperti Ambar dapat menjadi lemah dan mengadu.


"Gue takut gue bukan apa-apa?"
"Maksudnya?"
"Gue takut gue nggak bisa jadi apa-apa."
"Hidup kan tentang perjuangan lagi, Bar. "




Kategori : Coming of Age
Produksi : Sinemart Picture & Miles Films
Sutradara : Riri Riza
Penulis Skrip : Sinar Ayu Massie
Produser : Mira Lesmana

Minggu, 18 Desember 2011

Resensi Buku: Life Traveler

Saat berwisata, yang paling kita perhatikan mungkin adalah keindahan tempatnya, makanannya, budayanya, dan aura lain yang ditimbulkan dari tempat tersebut. Tapi, pernahkah kita terpikir bila suatu saat nanti bertemu dengan orang-orang dalam perjalanan yang nyatanya dapat membuat kita takjub, tersenyum, mampu memberi suatu hal yang baru di dalam hidup kita? Buku ini merangkum hal tersebut. Windy Ariestanty memaparkan perjalanannya bertemu, mengenal, belajar, berbagi, berpetualang bersama manusia yang ia temui selama perjalanannya. Perjalanannya mengelilingi dunia adalah perjalanan kehidupan, bahwa dunia tidak hanya berkutat di sekitar tempat kita bekerja, belajar, makan, dan hidup. Kadang, kita harus pulang ke tempat yang disebut rumah, dan melalui buku ini saya mendapat perluasan makna kata "rumah", bahwa rumah bukan hanya kata tempat secara leksikal. "Rumah" secara gramatikal yang dimaksud Windy adalah tempat (di mana pun) yang dapat membuat kita merasa pulang.

Membaca buku ini membuat saya teringat akan perjalanan saya sebelum-sebelumnya, bahwa ketika saya hendak pulang ke Jakarta di hari terakhir perjalanan, melihat foto-foto kenangan selama perjalanan, mengingat teman-teman baru yang saya temui di perjalanan, dan terkenang aura dan aroma khas tempat tersebut kadang saya menangis. Saat itu saya merasa bahwa saya harus kembali "pulang" ke "rumah".

Life Traveler menyajikan banyak rumah yang pernah disinggahi Windy Ariestanty. Dari cerita yang dipaparkan kita dapat memilih untuk belajar atau sebagai referensi tempat jika suatu saat hendak pergi ke tempat yang pernah disinggahi Windy. Buku ini, selain memaparkan tentang tempat wisata, cara bepergian, makanan, juga menjelaskan pengalamannya bertemu dengan manusia yang dapat memperkaya jiwa. Baca dan berjalanlah bersama Windy mengarungi perjalanan kehidupan dan bertemu manusia.

I give 5 out of 5 stars :)

Sumber Pustaka
Ariestanty, Windy. 2011. Life Traveler. Jakarta: Gagas Media.

Jumat, 11 November 2011

Sebotol Minyak Kayu Putih


Aku menghirup lagi sebotol penuh minyak kayu putih yang kugenggam di tangan kananku. Setiap tarik an hirupan mengembalikanku ke setiap susunan memori yang terjalin rapi lewat indera penciuman. Jalinan kenangan yang pernah kami rajut bersama ditemani sebotol minyak kayu putih untuk mengusir rasa dingin setiap malam. Semakin lama kuhirup minyak kayu putih di tengah malam yang sepi ini, semakin ramai kenangan di kepalaku berlari-lari.

Dia pernah mengatakan jangan pernah meminum minyak kayu putih kecuali jika aku frustrasi. Waktu itu aku tertawa sambil melihat dia membiarkan setetes minyak kayu putih jatuh ke dalam mulutnya. Pahit, katanya. Sama pahitnya seperti jamu brotowali yang hitam pekat nan pahit. Aku tertawa sambil mengejeknya tolol karena telah melakukan hal tolol saat itu. Sambil mengusap air mata yang terus jatuh dan mengusap hidung yang terus menerus mengeluarkan lendir karena terlalu pedas menghirup minyak kayu putih sepanjang malam, aku teruskan menghirup minyak kayu putih sampai kantuk menyerang lalu tertidur di atas dipan kayu di teras rumah. Rasanya aku layak diejek lebih tolol daripada dia yang pernah melakukan hal tolol.

* * *

Sedihku belum juga hilang. Malam berikutnya aku lakukan ritual yang sama sejak sebulan terakhir: menghirup minyak kayu putih setiap tengah malam di depan teras rumah sambil membungkus diri dengan selimut tebal. Ditemani suara tonggeret, jangkrik, dan tokek di halaman rumahku, aku memulai ritual menyedihkan ini lagi selama sebulan terakhir. Menghirup minyak kayu putih setiap tengah malam adalah upaya satu-satunya yang aku tahu untuk menghirup kembali rinduku yang begitu besar kepada dia.

Dia tidak pernah bisa hidup tanpa minyak kayu putih. Setiap kami pergi ke mana pun, dia tidak pernah lupa memasukkan sebotol minyak kayu putih ke dalam tasnya. Bahkan waktu kami ke Bali berdua tahun lalu, sudah kukatakan lebih dari sekali bahwa pada malam hari pun di sana tidak akan dingin, tapi dia bersikeras membawa sebotol minyak kayu putih ikut serta dalam acara jalan-jalan kami.

Lain waktu kami mengikuti kegiatan kuliah kerja nyata yang diadakan oleh kampus kami. Satu rumah penduduk diisi oleh delapan mahasiswa. Suatu malam yang panas di Pulau Alor, ia membalurkan minyak kayu putih ke seluruh badannya karena tak tahan dengan terpaan angin malam dari arah pantai. Ternyata teman sekamar kami tidak tahan dengan aroma minyak kayu putih yang menguar ke seisi ruangan. Semuanya tidur di dipan teras, dan hanya aku yang bertahan tidur di sampingnya sampai keesokan harinya kami bangun kembali. Aku kasihan melihat temanku yang tidur di dipan keesokan harinya bermata sembap seperti kurang menikmati tidurnya semalaman. Mulai saat itu, akhirnya dia mengalah untuk tidur di dipan sambil membalurkan banyak-banyak minyak kayu putih ke badannya sebelum tidur.

Aku selalu berhasil membuat dia melakukan apa pun yang kuinginkan, tapi tidak pernah berhasil membuatnya meninggalkan minyak kayu putih dari sisinya. Mulai saat itu, aku berpendapat sendiri bahwa setelah aku, sebotol minyak kayu putih adalah kekasih keduanya.

* * *

Sejak pertama hingga sekarang botol minyak kayu putih yang kupakai bersama dia tidak pernah habis. Malam ini sudah kutekadkan akan menjadi malam terakhirku menghirup minyak kayu putih alih-alih mengenang segala kisah tentangnya. Tidak akan ada lagi ritual menghirup minyak kayu putih setiap tengah malam. Tidak ada lagi acara menghirup kembali lagi rindu tentang dia.

Sekali lagi aku ingat, dia pernah mengatakan jangan pernah meminum minyak kayu putih kecuali jika aku frustrasi. Waktu itu aku tertawa begitu hebatnya karena kupikir hanya orang bodoh yang akan meminum minyak kayu putih mentah-mentah mengalir di tenggorokannya. Sekarang aku menangis, karena mungkin aku benar-benar bodoh sekarang. Sambil membuka tutup botol minyak kayu putih, kuhirup sekali lagi aroma minyak kayu putih yang setiap malam selama sebulan terakhir ini menjadi sahabatku. Kutempelkan bibirku ke pinggir mulut botol minyak kayu putih lalu kutenggak cairan minyak kayu putih itu sampai tersisa setengahnya. Aku tak sanggup lagi meneruskannya. Rasanya pahit, meski belum seberapa pahitnya dibandingkan kenanganku bersama dia.

Aku berniat menghabiskan seluruh isi cairan di dalam botol yang kugenggam tapi kepalaku mendadak pusing hebat, langit malam yang gelap menjadi makin gelap dalam pandanganku, cahaya lampu yang menempel di atas kepala mulai berubah-ubah menjadi terang redup seperti kisah kasihku bersama dia.

Di kejauhan, kulihat sebuah bayangan sedang berjalan ke sini. Aku menajamkan mataku melihat bayangan makhluk remang-remang sambil mencoba angkat badan, tapi ternyata aku terlalu lemah untuk mengangkat badanku. Lamat-lamat pandanganku kabur seutuhnya hingga semuanya hampir menjadi gelap sampai makhluk bayangan remang-remang itu kini menyentuhku. Aku hanya mampu melihat pinggangnya yang berdiri di depanku. Menatap ke atas untuk mengetahui siapa pemilik badan ini pun aku tak sanggup. Makhluk bayang remang-remang itu kini menjongkokkan dirinya hingga wajahnya sejajar dengan wajahku. Itu dia, manusia yang mengenalkanku pada minyak kayu putih ini. Aku bahkan tak sanggup tersenyum meskipun aku ingin melakukannya agar ia tahu betapa aku merindukan jiwanya menyatu kembali dengan jiwaku.

Tidak lama berjongkok di depanku, ia tersenyum, seakan tahu bahwa aku rindu kepadanya. Senyumnya yang lebih hangat dari minyak kayu putih mampu menghalau setiap tusukan angin dingin di malam gelap ini. Ia memegang tanganku yang sedang memegang minyak kayu putih, kemudian ia memindahkan sebotol minyak kayu putih milikku ke dalam genggaman tangannya. Ia membuka putar tutup botol minyak kayu putih milikku yang tersisa setengah, lalu menempelkan bibirnya pada pinggir mulut botol. Dengan cepat ia menenggak cairan itu ke dalam mulutnya sampai habis. Lalu sorot matanya mulai redup seperti mataku.

Pelan-pelan kuajak dia duduk di sampingku, menjadi pengganti selimutku malam ini. Malam ini kami berdua menikmati suara tonggeret, jangkrik, dan tokek. Rindu kami dimulai dengan menghirup minyak kayu putih yang sama dan mengakhirinya dengan menenggak minyak kayu putih sampai habis dengan bersama-sama pula. Kini aku tidak lagi membutuhkan sebotol minyak kayu putih untuk menghirup rindu yang tidak terkendalikan. Kini dia sudah pulang dan aku tahu bahwa kami tidak akan membutuhkan sebotol minyak kayu putih lagi untuk mengusir rasa rindu yang menggema malam demi malam.

Cinere, 3 Nov '11
21:43

Minggu, 02 Oktober 2011

Resensi Buku: Hujan dan Teduh


Bisa jadi pengalaman hidup Bintang Dewatra adalah pengalaman tersulit yang pernah dijalani remaja seumurannya. Ia (mantan) seorang lesbian yang kemudian menjadi heteroseksual karena mantan pacar perempuan yang amat dicintai meninggal karena bunuh diri. Ia menggugurkan kandungannya karena pacarnya sendiri, Noval, belum siap untuk menjadi ayah. Dan, dirinya sendiri yang pada akhirnya menjalani operasi pengangkatan rahim karena infeksi yang menyerang rahimnya. Kenapa masa remaja bisa sesulit itu bagi Bintang?

Setiap remaja (pasti) mengalami peer pressure yang terjadi selama masa pubertas sebelum mereka mengalami quarter life crisis. Itulah sebabnya novel ini masuk ke dalam kategori roman teenlit karena tata bahasa dan jenis ceritanya yang romantis sehingga cocok untuk untuk dibaca penggemar novel-novel teenlit yang berbeda dari biasanya. Perbedaannya nampak antara lain dari originalitas/kesegaran, alur maju mandur dan linear dipakai bersamaan, konflik yang dibuat dengan teratur dan rapi, karakter yang kuat, dan gaya bercerita yang profesional. Saya pribadi tidak heran kalau novel kedua Wulan ini menjadi juara pertama lomba penulisan Roman 100% Indonesia yang diselenggarakan Gagas Media karena secara tidak sengaja Wulan telah menaikkan standar penulisan novel remaja di Indonesia.

Perkembangan cerita yang selalu membuat pembacanya (khususnya saya) mengerutkan kening tanda saya menyenangi buku yang saya baca dan sama sekali tidak pernah tahu apa yang akan terjadi adalah kelebihan dari novel ini. Kata-kata yang dipakai begitu jujur, cerdas, tidak rumit, dan realis adalah nilai tambah mengapa Anda wajib membaca novel ini.

Mungkin pada awalnya novel ini terlihat rumit dengan berbagai konflik yang membuat tensi pembacanya terus menerus naik sehingga tidak tahu ceritanya mau dibawa ke mana. Tapi, jujur saja, semakin saya bertanya pada Wulan, semakin pertanyaan saya dijawab oleh sebuah pertanyaan kembali. Mengutip kata-kata Noval di akhir cerita ini mengingatkan saya ketika saya kembali merenungkan isi novel ini sesaat setelah selesai membaca Hujan dan Teduh, "Bintang Dewatra, kenapa lo bikin semuanya jadi begitu sulit?"

Saya pribadi mengucapkan selamat kepada Gagas Media yang telah menaikkan standar penulisan novel remaja muda di Indonesia :)

I give 5 out of 5 stars :)

Daftar Pustaka
Dewatra, Wulan. 2011. Hujan dan Teduh. Jakarta: Gagas Media.

Minggu, 25 September 2011

Hadiah Ulang Tahun

Aku masih ingat jalan menuju tempat kosmu yang rumit itu. Untuk sampai ke tempatmu, kita berdua harus berjalan masuk ke dalam gang-gang serupa labirin majemuk. Jalan menuju tempat kosmu gelap dan sempit, lagi panjang bukan main. Bukankah aku pernah berkata kepadamu jika kau tinggalkan aku di sini maka aku tidak akan pernah tahu caranya keluar dari sini. Aku selalu takut jalan sendiri. Kau hanya tertawa kencang di tengah malam sementara aku berjalan di belakangmu sambil memegang ujung kausmu, kau tahu aku takut tersesat.

Sepanjang perjalanan kau cuma berkata, "Jangan takut"; "Kamu tuh harus berani"; "Ini nggak ada apa-apanya dibanding waktu aku hilang di hutan waktu pelantikan Mapala."

Kuakui kau sangat berani. Bukan hanya berani pada gelap malam dan jalanan basah yang kita lalui malam itu di tengah sunyi kota Bandung, tetapi kau mampu untuk berani terhadap segala hal: kegagalan, rasa sakit, tantangan, risiko, makhluk halus, orangtuamu, waktu, bahkan patah hati. Tidak tahukah kau, aku selalu mengagumi keberanianmu. Keberanianmu yang membuat kita berbeda. Perbedaan itu yang membuat kita bisa bersahabat seperti saat ini. Keberanianmu menyelimuti ketakutanku, menghangatkan sikapku yang masih serupa embrio untuk terus menetas sampai tumbuh makhkuk yang berani. Selama ini aku masih belajar sampai saatnya aku siap keluar dari selaput lindunganmu.

"Kamu tahu nggak? Dari jendela kamar kosku kamu bisa lihat pemandangan gunung dan sawah, makanya aku jarang pulang ke Jakarta setiap minggu. Ngapain pulang ke Jakarta kalau setiap hari aku bisa lihat Ubud dari jendela kamarku?"

Lama aku berpikir tentang kata-katamu, aku utarakan apa yang ingin kukatakan dalam pikiranku kepadamu saat itu.

"Kamu tahu nggak? Kalau aku kagum sama keberanian kamu. Kamu hebat tau nggak?"

Kamu hanya tertawa menggumam. "Kalau aku nggak berani buat ambil tempat kosan di ujung gang begini, aku nggak akan bisa dapat pemandangan sawah kayak Ubud di sini."

Langkahmu mulai melambat saat kau tunjukkan tempat kosmu di depan kita berdua. Pandangan mataku mulai melebar di tengah remang-remang malam hari di kota Bandung. Kita berdua melewati pagar besar berwarna hijau metalik kemudian sama-sama melepas sepatu dan masuk ke dalam kamar kosmu yang kecil namun hangat.


***

Kita bersahabat. Berulang kali kau bilang kita adalah sahabat dan kau bangga karena aku dan kau bisa saling bersahabat. Kau, mahasiswa pencinta alam yang senang berpetualang di alam liar dan aku, penulis yang berpetualang liar di alam imajinasinya.

Aku suka senyummu, pelukanmu, nasihat, kebaikan, dan waktu yang kita gunakan untuk tertawa bersama. Aku jatuh cinta pada persahabatan kita. Lebih tepatnya aku menekan rasa cintaku hanya berhenti pada ujung sebuah garis yang dinamakan persahabatan karena aku selalu merasa ada tekanan nada pada kata "selalu" ketika kau ucapkan, "Kita selalu sahabatan, kan?". Selalu dalam pikiranku, mungkin maksud katamu adalah "kita hanya akan selalu bisa menjadi sahabat -- tidak akan pernah lebih."

***


Suatu malam kau pernah meneleponku. Dengan riang gembira kau katakan bahwa kau telah miliki belahan jiwamu. Kau temukan seseorang yang kau cari untuk mengisi malam-malam sepi dan dingin di Bandung. Suatu malam lagi di lain waktu kau meneleponku dengan jeda hening panjang sampai aku tidak mengerti apakah sambungan telepon masih tersambung. Lalu suara sengguk samar-samar muncul setelah jeda hening panjang, rupanya kau masih di sana. Sementara kau menangis, aku menahan rasa kantukku hanya agar kau merasa bahwa aku masih ada di sini untuk menemanimu dari malam-malam yang sepi.

Entah apa yang kucari. Selama ini aku selalu menemanimu dengan diamku meski hanya mendengar suara tangismu, menyediakan tempat menginap untukmu ketika kau ingin tidur setelah banyak bercerita sambil memandang langit-langit kamarku yang kutempel bintang-bintang plastik yang mampu bersinar dalam gelap.

Kau, masih ingatkah kau ketika kubilang, "Anak Mapala tuh nggak ada yang nangis tau!" Lalu dengan suara terisak tiba-tiba kau mengubah rintih tangis menjadi dengungan tawa, aku tidak akan lupa wajahmu yang tertawa masih dengan air mata menggenang di jembatan matamu. Kau selalu berani, bahkan berani untuk melawan perasaanmu sendiri. Aku sendiri kagum ketika aku melihatmu dengan berani mematikan telepon dari mantan terakhirmu yang posesif itu padahal aku yakin kamu mati-matian untuk bisa mematikan teleponnya. Kalau aku? Satu hal yang pasti, selelah apa pun aku, jika kamu yang menelepon, aku tidak akan pernah bisa mematikan telepon. Meski telepon yang terakhir kalinya darimu hanya untuk mendengarkan euforia bahagiamu karena kau kembali lagi dengan mantan kekasihmu yang posesif itu.


***


"Kamu di mana? Jadi datang ke Bandung kan?"

"Aku nggak tahu."

"Kenapa? Kamu tahu kan kalau sekarang aku ulang tahun?"

"Tahu, tapi kamu kan udah ada pacar."

"Terus kenapa? Kamu kan sahabatku, kamu harus ada pokoknya. Nanti kamu bisa tidur di tempat kos temenku, ya? Aku udah bilang sama dia soalnya aku yakin kamu pasti datang."

Aku tersenyum. "Lihat nanti aja, ya?"

"Loh, hei, kamu kok..."

***


Aku menutup telepon lalu memandang sebentar pada layar telepon yang kian lama kian meredup. Aku membungkuk lalu meletakkan bungkusan kado yang kusiapkan untukmu dengan sangat hati-hati di depan pagar berwarna hijau metalik itu. Sekali lagi aku menatap pintu kamar di seberang pagar yang memisahkan aku denganmu. Kini ia masih tetap membisu memandangku. Mungkin sang pintu punya rasa bersalah sendiri karena telah memisahkan kehadiranku dari pandanganmu. Apa yang kurasakan malam ini tidak dapat tergambarkan. Samar-samar kudengar suara tawamu dan seseorang di dalam sana. Aku tahu dia akan ada di sana bersamamu malam ini, bahkan selalu ada, bahkan menjadi lebih dari sekadar ada.

Aku hanya memberikanmu kado ulang tahun biasa, tapi kau memberikanku hadiah yang jauh lebih berharga: keberanian. Aku mengembangkan senyum sambil memasukkan kedua tanganku ke dalam dua sisi kantung jaketku. Di malam yang pekat dan dingin di Bandung, aku berjalan keluar dari tempat kosmu, aku keluar dari kantung selimutmu yang selama ini telah menyelimuti embrioku. Kini tanpa rasa takut tersesat, aku berani berjalan. Sendirian.

Kamis, 22 September 2011

Resensi Buku: Oksimoron


Alan dan Rine adalah sepasang pengantin baru yang berpikir bahwa kehidupan pernikahan yang akan dijalani oleh mereka berdua ke depan (diharapkan) adalah kehidupan yang paling menyenangkan. Mereka meyakini bahwa sifat dua menjadi satu, menjadi sepaham, menjadi sejiwa, adalah kunci yang dapat menutup rapat pintu perbedaan di dalam gejolak rumah tangga yang akan mereka hadapi. Tapi rupanya mereka lupa, kalau masing-masing dari mereka mempunyai latar belakang, pemikiran, dan (yang terutama adalah) keluarga yang berbeda. Apalagi ayah-ayah mereka mempunyai pengalaman yang kurang baik sebagai sepasang sahabat di masa yang lampau.

Novel ini, menurut saya, mampu menjelaskan tanpa menggurui. Bagi saya, penjelasan yang dieksekusi Isman H.S. sangat berhasil. Seperti yang dikatakan Ve Handojo di dalam endorsement yang ditulisnya. Segala "coincidence" yang menjadi bagian penting tentu bukanlah "kebetulan sinetron" yang tiba-tiba tercipta di tengah cerita. Kematangan cerita, karakter yang kuat, alur yang rapi, dan sindiran yang mengena di sepanjang cerita adalah kekuarn Isman di dalam Oksimoron. Kelebihan lain yang patut dibanggakan adalah wawasan Isman yang luas dan, entah tanpa disadari atau tidak, banyak kutipan yang menginspirasi sepanjang proses pembacaan.

Kelemahan di dalam cerita hanyalah penggunaan tanda koma sebagai pemisah antara induk dan anak kalimat di dalam cerita kurang maksimal digunakan. Tidak terlalu bermasalah mengingat Ibu/Bapak editor nanti diharapkan mampu memperbaikinya di cetakan yang berikutnya.


I give 5 out of 5 stars :)

Sumber Pustaka
Suryaman, Isman. H. 2010. Oksimoron. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rabu, 24 Agustus 2011

Semburat Cinta di Langit Bali





Pagi menceritakan kisah itu kepada pagi. Dan malam menyimpan tawa juga air mata kepada malam.

Di sini. Kau dan aku. Jatuh cinta.



Hanya matamu yang paling kuingat dari segala organ tubuh yang melekat pada bangunan badanmu yang nyaris sempurna. Matamu berwarna cokelat hazelnut dengan pecahan-pecahan kacang kenari di sekitar pupil matamu yang hitam. Matamu berbicara setiap kali tersenyum, lalu mata kita berpandangan lama setelah selesai aku dipijat wanita bercaping yang kupanggil Meme Juliana. Senja itu, hanya kau yang masih menunggu sampai selesai aku dipijat di atas pasir Pantai Kuta.

Di sepanjang jalan Poppies kita bercerita banyak hal, tentang tujuanmu ke Thailand setelah ini, tentang Paris yang kuidam-idamkan. Kau berhenti melangkah setelah kusebut Paris, kau menggengam bahuku lama dan kau bilang agar aku tinggal di tempatmu jika suatu hari nanti aku pergi ke Paris. Aku tersenyum sambil menggangguk. Kau menjawil hidungku.

Aku sampai di depan kamarku. Kau janji akan menjemputku untuk makan malam tidak jauh dari tempat kita menginap. Aku mengedikkan bahu tanda setuju.

Proses ini sungguh menyenangkan. Aku sedang mengeringkan rambutku ketika kau mengetuk pintu kamar. Menit berikutnya kita sudah berjalan di sepanjang gang mencari rumah makan yang temaram. Sampai kau tunjuk satu pondok makan di ujung jalan.

Kau tengah duduk di sampingku, terus menatapku, sementara aku melihat menu dan terus membolak-balikkannya sampai menemukan makanan yang kuinginkan.

"What?" tanyaku padamu setelah akhirnya sadar sedaritadi aku ditatap terus olehmu.

"No... umm.. I just love your face when you're silent like this. Calm... and warm...," ucapmu sambil terus menatapku yang lalu tersenyum padamu.

"Don't tease me," ucapku untuk menghilangkan sensasi menghangat di wajahku.
Kau hanya terus tersenyum menatapku.

Kalau aku adalah lilin, sudah sejak awal aku meleleh melihat senyummu.

Akhirnya aku pesan ayam bakar mentega dan kau juga. Aku pesan teh manis hangat lalu kau juga. Aku ingin bayar makananku, kau bilang jangan, itu kewajibanmu. Aku hanya mengangguk.

Malam selanjutnya adalah ceritaku dan ceritamu. Selasa malam kita berbaring di atas pasir Sanur dengan sarung bali sebagai alas kepala kita. Kita menatap taburan bintang dan bergandengan tangan sepanjang malam. Kau menghirup dalam-dalam tanganku lalu kemudian mengecupnya pelan. Kau bilang bintang-bintang itu akan tetap ada di atas sana ketika kita sedang melakukan kegiatan apa pun di bawah sinarnya. Tetapi tidak dengan kau dan aku. Kita tidak akan ada di hati kita masing-masing untuk selamanya. Setelah besok, hidup kita akan dimulai kembali. Mataku menggenangkan air lalu kau menghapusnya dan merengkuh badanku ke dalam pelukanmu. Kau bilang semua akan baik-baik saja, walau aku tahu ini tidak akan lagi sama dengan kenyataannya. Kau mencium keningku dalam-dalam dan kita lama terpejam. Sampai matahari terbit di ujung Sanur.



Senja itu aku menarik penutup koper dan berusaha mengangkatnya ke dalam bagasi mobil. Aku kesusahan. Seketika kau datang, mengambil koper dari tanganku lalu dengan mudahnya kau mengangkat koperku ke dalam bagasi, sama mudahnya seperti kau mengangkat semua bebanku selama seminggu ini.

Aku tersenyum sambil mengucapkan terima kasih kepadamu. Aku menatap matamu untuk terakhir kalinya. Warna cokelat hazelnut dengan pecahan kacang kenari di sekitar pupil matamu yang hitam. Kau merengkuh badanku ke dalam badanmu lama sekali sampai aku mengambil inisiatif untuk melepaskannya terlebih dahulu. Kau menatap seluruh wajahku dengan saksama untuk terakhir kalinya kemudian kau berhenti menatap ketika melihat barisan senyum di gigiku. Kau bilang gigiku rapi setiap kali aku tersenyum. Kukatakan aku pernah memakai kawat gigi dulu sekali dan itu sangat menyakitkan. Kau tersenyum lagi dan itu membuat air mataku menggenang di pinggir jembatan mataku, sekali lagi kupeluk dirimu dan kubisikkan sesuatu di telingamu, "Berpisah denganmu, sore ini, lebih menyakitkan daripada memakai kawat gigi sekali lagi di dalam hidupku."

Kau tertawa. Aku juga. Kemudian kuangkat kepalaku dan kutatap langit senja berwarna lembayung. Ada semburat merah di ujung sana, ada semburat cinta di dalam perjalananku dan perjalananmu, Nicola.

Makhluk bermata bulat berwarna cokelat hazelnut dengan pecahan kacang kenari di sekitar pupil matanya yang hitam sekali lagi melambaikan tangannya kepadaku, sampai aku benar-benar hilang dari pandangannya juga hidupnya.


Cindera karya ini khusus diberikan kepada teman penulis, Alvin Agastia Zirtaf.


Minggu, 24 Juli 2011
Pantai Kuta
17.35 WITA

Senin, 01 Agustus 2011

Resensi Buku: Heart Block


Akhirnya, novel pertama Senja Hadiningrat yang berjudul Omnibus berhasil menjadi juara pertama dalam Festival Penulis Indonesia kategori Pendatang Baru Berbakat. Kemenangan ini membuka jalan bagi Senja dalam dunia menulis, dunia yang dari dulu diidam-idamkan oleh Senja. Impian Senja untuk menjadi penulis penuh waktu akhirnya dimulai dari sini. Dengan demikian, dimulai pulalah cerita dan segala konflik ke depannya.

Pekerjaan menulis silih berganti datang kepada Senja yang selalu diiyakan oleh manajer sekaligus publicist, yaitu kakaknya tirinya sendiri, Tasya. Sampai suatu ketika Tasya menganjurkan proyek 40 Hari Menulis Novel yang diyakininya mampu membuat Senja semakin dikenal dan menajamkan kariernya di dunia tulis menulis.

Senja semakin depresi dan berencana menyegarkan pikirannya sendiri untuk berlibur ke Bali sambil menulis proyek 40 Hari Menulis Novel di sana. Konflik lain dirangkai dengan bertemunya Senja dengan Genta, pelukis yang tinggal sementara di Ubud untuk mengerjakan proyek pamerannya. Senja merasa memiliki banyak kesamaan dan menjadi dirinya sendiri ketika bertukar pikiran dengan Senja. Penyesalan pun dimulai ketika Senja pulang dari Bali dan menjadi titik balik bagi Senja bahwa Genta bukanlah the one yang selama ini menjadi prince charming.

Okke meramu dengan jujur bahwa cerita sama halnya dengan kehidupan, kita harus jujur terhadap diri sendiri, dan nyatanya tidak melulu cerita harus ditutup dengan kenyataan, "and they live happilly ever after..."

Okke dengan terampil mendefinisikan arti writer's block dalam berbagai pemikiran. Sejujurnya menurut saya novel ini bisa digunakan sebagai buku panduan menulis bagi penulis pemula yang ingin mengetahui dunia penulis dan berbagai cara mengatasi writer's block tanpa bermaksud menggurui. Di bagian epilog, Okke menjelaskan makna writer's block dan juga cara-cara mengatasinya menurut pengalamannya pribadi.

Saya menganjurkan novel ini untuk dibaca bagi mereka yang ingin menjadi penulis novel dengan bingkai inti romance di dalamnya. Dunia pekerjaan dalam aspek apa pun yang kita pilih nantinya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Yang terpenting adalah bagaimana kita mampu mengatasinya dengan sikap yang profesional, itulah yang ingin disampaikan Okke dalam novelnya Heart Block ini.

I give 4.5 out of 5 stars :)

Sumber Pustaka
'Sepatumerah', Okke. 2010. Heart Block. Jakarta: Gagas Media.

Selasa, 12 Juli 2011

Resensi Buku: Test Pack


Setelah tujuh tahun menikah, Arista Natadiningrat atau yang kerap dipanggil Tata, ahli hukum spesialisasi perceraian, semakin khawatir dirinya infertil dan cemas berlebihan tidak bisa memiliki anak. Karena rasa cinta pada suaminya pula, ia ingin segera memberikan Kakang (panggilan sayang Tata, alias Eneng, untuk Rahmat Natadinigrat, suaminya yang seorang psikolog) seorang bayi. Padahal, Rahmat mencintai Tata apa adanya, ada atau tiada bayi di dalam hidup mereka berdua.

Berkali-kali Rahmat dan beberapa teman Tata menyuruh Tata untuk berkonsultasi kepada dokter speasialis kandungan untuk mengecek kondisinya, tapi Tata selalu ketakutan, takut infertil. Sampai pada suatu titik, (setelah terjadi beberapa rangkaian cerita tentunya) Tata akhirnya mengecek kondisi dirinya dan juga kondisi suaminya apakah subur atau tidak. Di sini kenyataan yang disampaikan dokter mengguncang hubungan perkawinan mereka.

Novel romance ini dikemas dengan "bungkus" yang berbeda, tidak sama dengan novel-novel romance kebanyakan. Inilah yang saya suka ketika menikmati novel-novel terbitan Gagas Media: gampang dibaca, tapi bukan novel gampangan.

Ada banyak kelebihan yang ditawarkan novel ini. Pertama, novel ini disulam dengan kejutan-kejutan yang terjadi secara alami. Tanpa kebetulan yang dibuat-buat, alurnya berjalan dengan tepat di dalam jalur. Kedua, gaya bahasa yang dipakai Ninit ditulis secara WAYS (Write as You Speak). Saya pribadi angkat dua jempol untuk penulis yang dengan cermat memberikan jenis pekerjaan yang tepat untuk tokoh Tata sebagai ahli hukum dan Rahmat sebagai psikolog. Pekerjaan inilah yang memengaruhi karakter mereka selama perjalanan cerita di dalam novel atau bisa pula sebaliknya, karakter mereka yang memengaruhi pekerjaan dan kehidupan sehari-hari mereka. Ketiga, desain sampulnya sangat kreatif. Mas Jeffri Fernando sungguh kreatif dalam memunculkan ide lewat gambar. Rasa-rasanya Gagas Media memang selalu stabil menyajikan desain sampul yang menarik, bukan?

Kekurangannya, saya pikir hanya ada beberapa typo beberapa kata yang tidak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. Penempatan tanda baca dan beberapa spasi yang harusnya dipisah beberapa kali saya temukan di dalam novel. Kali lain, hal ini dapat diperbaiki oleh sang editor dalam cetakan berikutnya. Tidak terlalu bermasalah.

Bagi saya pribadi, novel ini mengajarkan saya untuk lebih bersyukur. Bahwa mencintai tidak perlu alasan, mencintai hanya karena kita ingin mencintai. Seperti kata Ninit di dalam buku ini,

"terkadang hal yang sepele mampu ditulis dengan luar biasa oleh penulisnya lewat buku.
Saya (pada akhirnya) juga berani belajar untuk mencintai sesuatu tanpa alasan.

I give 4 out of 5 stars :)
Sumber pustaka
Yunita, Ninit. 2005. Test Pack. Jakarta: Gagas Media

Kamis, 07 Juli 2011

UNO


Janji kita, siapa pun yang kalah dalam permainan ini, ia harus mencium sang pemenang di tempat yang diinginkan sesuka hatinya. Setelah menimbang sejenak, bibirku melengkungkan senyum.

"Oke, Deal!" kataku kepadamu dari ujung ranjang.

Aku mengambil tumpukan kartu yang berserak di tengah kita, memulai gerakan mengocok kartu, lalu membaginya sama rata sesuai aturan konvensional yang berlaku di seluruh dunia: tujuh kartu untukmu dan tujuh kartu untukku.

Aku mengangkat kartu-kartu yang menjadi bagianku lalu membariskannya di antara jari-jemariku sebelum kulihat semua isinya. Kau menaikkan salah satu sudut bibirmu ke atas setelah melihat kartu-kartu milikmu sendiri berjejer di antara jari-jarimu, senyum nakal yang selalu kaubuat jika berhasil membuatku berteriak mengaduh manja terhadapmu. Dasar nakal! Umpatku dalam hati.

"Kartunya bagus, makasih kocokannya, ya!?" katamu sambil menganggukkan kepalamu sekali ke arahku, "Punya kamu bagus, nggak?"

Aku mengecutkan bibirku sambil menggeleng. Kau tertawa cekikan setelahnya.
Kau mengambil satu buah kartu di tengah-tengah kita sebagai kartu penunjuk, kartu paling atas yang kau ambil. Kartunya bernomor 6 warna kuning. Kemudian kau meletakkan kartu berwarna kuning bergambar sebuah lingkaran dengan garis miring di tengahnya. Lambang stop. Aku mengangkat bahu, "Jalan lagi," kataku.

Kau tersenyum semakin nakal setelah melihatku mulai tidak senang pada permainan ini. Hei, ini masih awal dan kau mulai menyebalkan! Teriakku dalam hati.

"Oh iya, pasti, dong!" katamu sambil menjatuhkan kartu berwarna kuning dan bergambar dua buah panah yang saling menunjuk. Lambang reverse. Putar balik.

Aku menggigit bibirku, menyipitkan mata, dan melihat wajahmu yang tersenyum lebih dari sekadar nakal. Aku menggelengkan kepalaku sekali. Permainan ini mulai menguji kesabaranku. Tapi, bukannya aku harus senang karena siapa yang kalah harus mencium yang menang. Bermain cinta setelah bermain kartu? Hmm... lakukan!

"Jalan... lagi..." kataku pelan-pelan.

Kau tidak bersuara. Kau menjatuhkan sebuah kartu berwarna hitam dengan mantap ke atas tiga lembar kartu yang berserakan di tengah kita. Kartu berwarna hitam dengan tanda +4 di pinggir kanannya. Aku hanya termangu lalu melihat wajahnya. Aku mengangkat kedua alisku padamu.

"Ya ambil, lah..." katamu sambil menganggukkan kepala dengan wajah menyebalkan.

Aku menggeleng berkali-kali lalu mengambil empat lembar kartu sambil mendenguskan napas. Tahukah kau bahwa permainan ini mulai menyebalkan? Menyebalkan yang menyenangkan karena ada kau sebagai lawanku di sini. Menyenangkan karena dengan adanya kau di sini aku tidak lagi punya alasan untuk merasa kesepian. Ini menyebalkan yang paling menyenangkan! Kau harus tahu itu, Sayang.

Kartumu tinggal tersisa empat, sedangkan kartuku beranak pinak menjadi sebelas lembar yang kini berjejer rapi di jari-jemariku.

***

"Uno games!" teriakmu ketika kartumu telah habis dari genggaman, sedangkan aku, kartuku masih lengkap: sebelas lembar dalam genggaman. Bahkan kau tidak mengizinkanku untuk mengurangi satu lembar kartu pun dari tanganku.

Bermain UNO berarti bermain dengan kesempatan, katamu. Jika ingin menang dalam permainan ini, kita harus pintar-pintar menggunakan kesempatan, katamu lagi. Sekarang aku jadi mengerti, bagaimana aku bisa memenangkan permainan ini jika kau tidak memberikan padaku satu kali saja kesempatan.

Tapi tidak apa-apa, kupikir selagi hukumannya adalah menciummu, tidak apa-apa aku tidak mempunyai kesempatan untuk mengalahkanmu dalam permainan ini. Toh, aku masih memiliki kesempatan untuk menciummu, untuk mencintaimu. Aku membuang sebelas kartuku di tengah-tengah kita, lalu aku tersenyum sambil merangkak menuju tubuhmu. Kau tersenyum lebih nakal dari sebelumnya dan itu membuatku semakin cepat ingin menciummu. Lalu aku berhasil mencapai keningmu.

Aku berhenti bergerak ketika bibirku berada di puncak kepalamu. Rasanya dingin, sepi, getir. Lalu badanku bergetar, kepalamu mulai basah dengan air mata yang jatuh dari mataku. Kau kaku, lalu pelan. Menghilang. Aku mencoba memelukmu, tapi kau tidak ada lagi. Yang tersisa hanya serakan kartu-kartu di depanku. Badanku semakin bergetar, tangisku mulai meriak sementara kau benar-benar tidak ada lagi di depanku. Kuacak tumpukan kartu dengan kedua kakiku sehingga beberapa lembarnya terkoyak. Tubuhmu benar-benar lenyap dari pandanganku dan luka hatiku semakin menganga. Malam mulai beranjak tua tapi aku masih duduk di tepian ranjang sambil menangis.

Sayang, bahkan kau tidak memberikan kesempatan padaku bahwa kaulah satu-satunya. Lebih lagi, kau tidak memberiku kesempatan bahwa aku ada. Bahkan untuk menunjukkan padamu bahwa aku mampu menjadi yang terbaik. Untuk mencintaimu.

Lagi-lagi aku bermain UNO sendirian. Bersama bayanganmu. Dan juga tembok di depanku. Ibuku hanya mampu melihat dari depan kamar rumah sakit yang kini kutempati. Aku tidak mengerti mengapa beliau selalu menangis ketika melihatku menangis. Lebih lagi, aku tidak tahu kenapa aku ditempatkan dalam kamar isolasi ini.

Jumat, 17 Juni 2011

Resensi Buku: Writer VS Editor


Hidup Nuna benar-benar berubah ketika naskah yang selama ini dipikirnya telah sia-sia dikirimkan ke sebuah penerbit mendapat jawaban bahagia yang diinginkan oleh semua penulis di muka bumi: naskahnya diterima oleh sebuah penerbit untuk diterbitkan. Bagi Nuna yang seorang pramuniaga biasa di sebuah toko swalayan di kota Bogor adalah hal yang luar biasa mendapatkan bahwa pada akhirnya ia akan menjadi seorang penulis. Tapi sayangnya tidak, semuanya tidak berakhir bahagia saat itu melainkan segalanya baru dimulai oleh seorang penulis pemula sekaliber Nuna.

Sang Editor, Rengga, begitu kesal kepada Nuna karena menganggap dirinya sok karena tidak pernah mau mengangkat telepon darinya untuk mengurus naskahnya agar segera naik cetak. Kesalahpahaman itu mengakibatkan saling dendam yang kemudian (tentu saja) berubah menjadi perasaan cinta dan (tentu saja) dengan segala lika-likunya. Perasaan mereka berkali-kali diuji oleh serangkaian peristiwa yang membuat penulis dan editor ini saling terlibat konflik yang dijalin oleh penulis Writer VS Editor ini.

Ria N. Badaria adalah penulis yang layak diperhitungkan karena novel sebelumnya Fortunata mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award kategori penulis muda berbakat tahun 2009 (Ya Tuhan, saya mau banget dapet penghargaan ini nanti. Amin). Gaya bahasa dan jalinan cerita di dalamnya cukup baik, meskipun ada bagian yang menurut saya kurang logis. Beberapa di antaranya adalah kurangnya rasa bahagia pada Nuna ketika menyadari novelnya akan diterbitkan oleh GlobalBooks, kemudian terdapat (lumayan) banyak konflik yang merangkai Nuna dengan Rengga. Kembalinya Marsya pada Rengga di akhir cerita menurut saya membuat cerita berjalan semakin lambat dan membuat pembaca mulai bertanya, "Ini cerita kapan selesainya?"

Karakter yang cukup kuat, plot yang rapi, adegan yang terasa alami, dan kejutan di beberapa bagian sebelum ending adalah kekuatan novel ini. Ria mampu menceritakan hampir semua adegan di dalamnya terasa real dan alami. Masalah gaya tulisan jangan ditanya lagi, Ria benar-benar matang menggarap novel ini

I give 3 out of 5 stars :)

Sumber Pustaka:
Badaria, N. Ria. 2011. Writer VS Editor. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Minggu, 05 Juni 2011

Family Tree





Nenek (as known as Ompung Boru)

Nenek saya, Nellida Purba, atau yang biasa saya panggil Ompung (baca: Opung), tinggal nggak begitu jauh dari rumah saya. Hanya dipisahkan oleh satu kompleks. Nenek saya ini masih segar bugar di usianya yang ke-80 tahun. Penyayang binatang dan suka nonton TV. Di rumahnya, Nenek saya punya enam ekor anjing. Nenek saya tinggal bersama seorang Mbak yang udah mengabdi puluhan tahun, namanya Mbak Mun (sayang fotonya nggak saya masukin di post kali ini).

Oh ya, di adat Batak keluarga saya (saya sih ga tau yah kalo adat keluarga Batak yang lain kayak gimana), yang muda itu nggak boleh menyebut yang tua dengan nama langsung meskipun kita udah pake nama panggilan. Jadi, ga boleh tuh kalo saya manggil Opung saya: Opung Nellida, bisa-bisa saya dibakar. Demi kesopanan, saya diajarin sama orangtua saya waktu kecil harus menyebut nama Opung-opung itu sesuai nama tempat mereka tinggal. Maka, saya manggil Nenek kandung saya dengan panggilan Opung Medan, karena sebelumnya beliau tinggal di Medan. Saya juga punya banyak opung yang lain karena adat Batak itu punya Tarombo yang kalo ketemu orang Batak di pinggir jalan pun bisa-bisa jadi saudara. Opung saya punya banyak adik, cara manggilnya? Ya panggil sesuai tempat mereka tinggal, ada Opung Riau, Opung Slipi, Opung Pejaten, Opung Kelapa Gading, Opung Bekasi, Opung depok, Opung Batam, Opung Bandung, dan opung-opung lainnya yang tersebar di seluruh nusantara ;)





Papa

Papa saya orang Batak asli, artinya Ayah dan Ibu dari Papa saya berarti sama-sama Batak. Sedangkan ibu saya murni Jawa, karena kedua eyang saya juga murni Jawa. Jadilah saya dan kakak bukan Batak atau Jawa murni, kita campuran Batak dan Jawa.

Setelah menyelesaikan pendidikan teologinya, Papa saya sebenarnya bisa jadi Evangelis (satu kasta di bawah pendeta) dan bisa pimpin misa di gereja, tapi entah kenapa Papa nggak mau ngelanjutin. Sekarang Papa menyebut dirinya sebagai full time prayer & worshipper. Yap! Papa saya religious person banget. Sekarang Papa aktif jadi breeder, ikut di partai politik (passion Papa di hukum, sama kayak Mama), penanam bonsai, dan hobi baca Alkitab.





Mama

Kalo Papa kerja di rumah, Mama tuh orangnya nggak bisa diem, harus banget keluar rumah setiap hari. Makanya kalo belum pensiun Mama nggak akan berhenti kerja. Mama seneng banget kerja di kantor karena kerjaannya (passion-nya di hukum) dan Mama nggak bisa lepas dari temen-temennya. Does she in the gank? Yap! Hahahahahaha, tua-tua gini Mama punya gank main di kantornya. Hobinya? MAKAN! Hahahahaha. Makanya kalau mau nanya tempat makan enak di Jakarta silakan tanya pada Mama saya, jamin akurat! Mama saya hobinya ngoleksi tas dan tupperware. Selain itu, Mama hobi banget ngomong, apa aja diomongin. Tapi biar cerewet, Mama saya sabarnya luar biasa, dan yang paling penting Mama tuh kalo ngadepin masalah lempeng aja gitu mukanya, cuek banget sama hal negatif. Itu yang saya banggain dari Mama :)

Kakak

Tadaaaaa... Ini dia si Fresh Graduate Girl kita, kakak saya Desire Amelia. Firstly, she has no passion in law apalagi sastra. So what is her passion? MONEY! Nyahahahaha, yup kakak saya suka banget ngitung, dia dari dulu udah ngincer jurusan ekonomi sari awal SMA. Sekarang baru aja lulus, jadi lulusan terbaik + cum laude + Presiden BEM waktu kuliah + udah kerja (bahkan sebelum dapet gelar sarjananya, aih gila!)

Sekarang Kakak saya kerja sebagai auditor (saya jadi editor dong nanti, Amin.) di sebuah kantor yang nama kantornya saya lupa di daerah Kebayoran Baru. Dari kerjaannya (karena auditor kerjanya keliling daerah) dia udah traveling sambil kerja ke banyak tempat, aih gila gila gila seru banget, sih! Yah, worthed lah ya mengingat dia udah kerja keras banget sampe bisa cum laude. Kakak saya juga penyayang binatang dan penyayang pacar (selamat juga yah yang pacarannya udah 3 tahun --> saya sedih)

Saya

Nyahahahahahahaha saya, Diego Christian, sekarang kuliah di Sastra Indonesia, UI, semester 4. On my track to be a novelist (sekarang lagi revisi, doakan saya ya #alaBentengTakeshi), penyayang binatang, and soon to be a vegetarian.

I have a super role model named Dewi Lestari. Saya suka banget baca buku dan nulis. Sebagai manusia pada umumnya ya, saya juga punya kelebihan dan kekurangan. Kelebihan saya tuh saya berani, hehehe. Berani apa, nih? Berani ngadepin apa pun: hantu, tempat gelap, ketinggian, kegagalan, bahkan patah hati (sumpah yang terakhir curhat banget!) Kekurangannya? Nah, saya itu super-ultra-sensitif. Saya sendiri saking sensitifnya kalo nonton film yang menyentuh suka nggak sadar tiba-tiba ada air mata turun, etapi sumpah deh itu nggak diatur, kayak apa, ya? Kayak cara kerja jantung dan lambung gitu, nggak bisa kita atur. Bingung? Saya sendiri aja bingung.

Minggu, 22 Mei 2011

Lemari


Setiap orang mempunyai satu lemari, bahkan lebih. Demikian pula dengan kau, memiliki lemari di kamarmu sendiri. Tapi, siapa pernah berpikir manusia yang satu terhadap manusia lainnya apakah penting jika mereka tidak memiliki lemari? Ah, biarlah jadi urusannya masing-masing. Siapa yang peduli jika kau atau orang lain hendak meletakkan barang-barang mereka di mana. Di atas kasur mungkin, digantung di daun pintu, di atas lantai paviliun milik karyawan yang baru bekerja, di atas meja belajar di dalam kamar kosan mahasiswa, atau bahkan seperti kau yang memilih meletakkan barang-barangmu di dalam lemari.

Sesungguhnya manusia lebih memikirkan agar bagaimana kamar mereka terlihat bersih, bukan lemarinya. Seperti halnya kau yang membersihkan kamarmu saban Sabtu pagi sebelum kau pergi lagi meninggalkan kamar yang telah bersih ini. Sementara untuk lemari, cukup kau lemparkan kamper ke sembarang arah di dalam lemari itu agar dia tidak lagi lembab. Lemari tidak pernah berdebu, katamu, sehingga kau tidak pernah pusing sendiri untuk rajin-rajin membersihkannya.

Kau memiliki satu buah lemari di dalam kamarmu yang bagus itu. Sama halnya seperti kau memiliki aku untuk kau letakkan bermacam pakaian dan beberapa benda berharga di dalamnya. Kau menaruh hatimu dengan sembarang ke dalamku, kau tinggalkan sesaat, kemudian kau ambil lagi sesukamu. Setelah kau taruh hatimu di dalamku, kau merasa aman karenanya dan tidak pernah sekalipun kau menengoknya untuk sekadar mengawasi apakah hatimu hilang diambil pencuri atau tidak.

Yang kau berikan kepadaku adalah kepercayaan, kepercayaan rasa aman barang-barangmu yang berharga di dalamku. Tapi bagaimana aku bisa percaya kepadamu yang setiap pagi keluar dari ruangan, yang terlanjur menjadi dunia kecil bagiku ini, dan kembali lagi pada malam hari. Bagaimana bisa aku menghilangkan pikiran bahwa kau mungkin keluar melihat lemari yang lain kemudian kapan saja dengan kuasamu kau akan membuangku dari ruangan ini dan kau ganti diriku dengan lemari yang baru. Bagaimana aku bisa berkuasa, Kekasihku?

Kau selalu pergi, kita hanya berada dalam ruangan yang sama hanya jika kau butuh waktu dan tempat untuk merebahkan badanmu. Kadang aku ikut tertidur bersamamu, kadang pula aku terjaga memperhatikan wajahmu saat kau terlelap. Di saat seperti itu entah aku merasa bahagia atau semakin terluka melihat wajahmu di hadapanku sepanjang malam. Lalu pagi hari kembali datang menyambut, aku seringkali tak sempat melihatmu ketika kau terbangun dijemput kembali oleh alam. Sisa kantuk menatapmu semalaman telah mengaturku agar aku hanya mampu melihat pintu tertutup di belakang badanmu yang telah berseragam pakaian kerja. Sekali lagi kau menikmati duniamu di luar sana, sedangkan aku kembali terbangun dengan perasaan takut dan sepi kembali merayapi seluruh jiwaku.

Aku adalah lemari yang kau letakkan di dalam ruangan yang kau ciptakan sendiri, tapi bukan ruangan khusus berdua untukku dan kau. Aku adalah lemari yang bisa kau letakkan apapun yang ingin kau letakkan di dalamnya, termasuk jiwamu meski untuk sesaat. Aku adalah lemari yang kau tempatkan sesukamu di sudut-sudut pikiranmu yang kau inginkan. Aku adalah lemari yang orang lain tidak pernah tahu apakah kau memiliki aku di dalam hidupmu. Lalu aku adalah lemari, di dalamnya kau ciptakan sebuah laci kecil tempat kau meletakkan benda paling berharga di dalamnya. Dan oleh karenanya, sesaat aku merasa teristimewa di antara benda lainnya di kamar ini.

Kasihku, kau selalu tahu ke mana kau harus pulang, tapi aku tidak mempunyai pilihan lain selain menjaga milikmu yang paling berharga, yang kau simpan di dalam laci jantungku.

Aku hanya ingin kau tahu, apakah kau--sekali saja--tahu bahwa aku selalu menjaga hatimu di dalam laci jantungku?



Cinere, 16 Mei 2010
03.00 WIB

Minggu, 08 Mei 2011

Titik Balik


Pengalaman membaca pertama saya dimulai dengan seperangkat boks seri buku binatang yang dibelikan Ibu ketika mengetahui bahwa saya telah lancar membaca pada umur 4 tahun. Kala itu, saya terpesona dengan rangkaian kata-kata indah dipadu dengan ilustrasi gambar yang menarik dan penuh warna-warna lembut bagi anak berumur 4 tahun.
Kecintaan saya pada buku bergambar semakin bertambah ketika Ayah terkadang membelikan saya komik di akhir pekan. Komiknya bermacam-macam, mulai dari komik yang saya senangi hingga komik yang kurang saya senangi. Komik yang saya gemari (bahkan hingga sekarang saya masih menyukainya) adalah Doraemon, Kobochan, Hai, Miko!, sampai Crayon Sinchan. Selain komik yang saya sukai, ada beberapa komik yang rutin dibeli oleh Ayah untuk saya, yang sudah tentu saya sangat lama bagi saya untuk menyelesaikannya, yaitu komik seri pahlawan dunia terbitan Elex Media Komputindo yang menceritakan kisah-kisah Albert Einstein, Isaac Newton, Isadora Duncan, Hellen Keller, Napoleon Bonaparte, dan pahlawan dunia lainnya.
Saya sudah lupa novel (tanpa ilustrasi) apa yang saya baca pertama kali. Yang saya ingat bacaan-bacaan awal saya ketika kecil adalah Charlie and The Chocolate Factory karya Roald Dahl, Ms. Witch (yang saya lupa siapa pengarangnya), dan novel teenlit seperti Vibe.
Masa SMP adalah tahun-tahun keemasan saya dalam membaca. Perpustakaan di sekolah waktu itu cukup lengkap. Saya menyukai berbagai kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Sutardji Chalzoum Bachri, majalah Horison, bahkan saya sempat membaca karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia yang super tebal itu, tapi tidak punya tenaga untuk habis membacanya. Selain itu, masa SMP adalah masa di mana saya menyukai karya populer Sophie Kinsella seperti rangkaian novel Confession of Shopaholic, Meg Cabot: Princess Diaries, dan Julie Anne Peters: Luna.
Saat duduk di kelas 3 SMP, saya mulai terpanggil untuk menulis. Saya mulai mendengar suara-suara yang memanggil saya untuk mengambil pensil lalu mulai menggerakkannya di atas kertas. Kebetulan pada saat itu saya mempunyai beberapa buku catatan kosong yang tidak terpakai untuk saya pakai menulis. Masa-masa itu adalah masa di mana saya begitu bersemangat menulis. Saat itu saya bisa menulis habis 3 buah cerpenpan (cerita pendek panjang) dalam sebuah buku catatan. Biasanya setelah menulis sebuah cerpenpan saya suka memberikannya kepada teman-teman untuk dibaca dan diberi tanggapan. Ketika teman saya mengatakan bahwa karya saya baik, saya semakin semangat untuk menulis cerpenpan lagi.
Entah mengapa ketika SMA saya jarang (bahkan hampir tidak pernah) membaca karya sastra apalagi menulis. Ada sebuah kegiatan lain yang menarik saya untuk ditekuni, Hip Hop. Ya, dance jenis ini saya tekuni selama tiga tahun di SMA yang praktis membuat saya kehilangan waktu dan juga selera untuk menulis. Tapi, di masa-masa itu, saya masih suka mengikuti perkembangan tulisan lewat mading sekolah, bahkan di tahun pertama SMA, saya hampir sempat mengambil ekskul mading. Saya juga masih rutin membeli majalah remaja dan membaca rubrik cerpen di dalamnya.
Akhirnya titik balik semua pengalaman saya itu adalah ketika saya berada di penghujung kelas 3 SMA. Masa ketika saya harus mengambil jenjang yang lebih tinggi lagi di perguruan tinggi. Titik balik itu semakin nyata ketika saya sedang berada di dalam gedung bimbingan belajar tempat saya mempersiapkan diri agar dapat masuk ke universitas yang saya inginkan, saya masih kebingungan untuk mencantumkan pilihan kedua di lembar formulir. Ketika itu, tentor pembimbing saya yang juga guru Bahasa Indonesia di sekolah menyarankan saya untuk mengambil Sastra Indonesia karena belum banyak peminatnya namun berpotensi mendapat banyak pekerjaan selepas lulus dari universitas. Semuanya serasa berputar mulai hari itu, alasan mengapa saya sangat menunggu pelajaran bahasa Indonesia selama saya bersekolah dan yang lebih nyata adalah ketika benar-benar berada pada hari-H pengembalian formulir tes masuk universitas suara-suara itu muncul kembali. Suara-suara yang memanggil saya persis suara yang saya dengar ketika saya SMP, ketika saya melihat jurusan Sastra Indonesia di kolom pilihan itu saya termenung sesaat, lalu dengan sangat mantap saya mengisi pilihan kedua dengan keinginan hati tersebut.
Ketika saya diterima masuk ke dalam jurusan sastra, saya tidak pernah merasa menyesal terhadap pilihan yang saya ambil. Sastra adalah panggilan hati saya, saya menyukai seni, dan terlebih ketika Ibu saya mengatakan bahwa darah seni saya kemungkinan besar berasal dari sahabat Eyang Kakung saya. Ibu Saya, Etty Toersastiti Soegito, nama tengahnya diberikan oleh sahabat Eyang Kakung saya, yang tidak lain adalah Pramoedya Ananta Toer :)

Minggu, 17 April 2011

Jeda


Laki-laki itu terlalu tampan untuk tidak menikah di umurnya yang mencapai kepala empat. Tampan, karena ia terlalu bersih dibandingkan pria lain yang seumuran dengannya. Matanya mengucap banyak tanya sekaligus praduga. Caranya berjalan, duduk, menulis, terdiam, atau melakukan hal yang lainnya mengundang orang untuk berfilsafat: apa yang salah dengan laki-laki setampan ini?

Masalahnya hingga umurnya yang menjelang kepala empat ini dia belum juga beristri. Tidak ada yang tahu apa yang diperbuatnya sepulang kerja; apa yang ia lakukan jika akhir pekan datang setelah hari-hari melelahkan yang dilaluinya sepanjang Senin hingga Jumat.

Tak lupa, ia adalah seorang pemilik perusahaan sekuritas ternama di Jakarta. Waktu senggangnya ia gunakan untuk menulis karya fiksi. Beberapa novelnya menjadi best seller sampai harus cetak ulang hingga cetakan ke-11. Orangtuanya tinggal di Australia bersama putri sulung dan suaminya, yang tak lain adalah kakak kandung dan kakak ipar dari laki-laki sang pemeran utama ini.

Banyak desas-desus di kalangan karyawannya, pembacanya, bahkan teman dekatnya mengapa sampai sekarang ia belum juga menikah. Salah satu asumsi terkuat yang hangat dibicarakan banyak orang adalah: ia gay. Konon, ia telah menikah dengan laki-laki bernama Rafky--yang katanya teman dekatnya itu--di Belanda; ia tidak suka perempuan, katanya.

"Coba deh lo liat dari penampilannya yang metro seksual dan serba bersih itu. Mana ada laki-laki 'lurus' zaman sekarang yang concern banget sama penampilan kayak dia."

Daryl, sang lelaki, tidak mau ambil pusing. Ia terlalu dingin untuk menanggapi semua kabar burung yang mendarat di telinganya. Ia terlalu kaku untuk menghadapi gosip murahan yang beredar di kantornya sendiri. Atau, ia terlalu ulung untuk menikmati indahnya dicintai dan mencintai?

Lagi-lagi cinta. Kata-kata itu terlalu keramat bagi dirinya untuk dibahas. Meski hal itu kontradiksi dengan dirinya sebagai penulis novel yang membahas tentang kehidupan perempuan, janda-janda kosmo, juga novel tentang perkawinan. Ia ulung dalam hal tersebut. Lantas tentu saja ia disukai oleh banyak istri-istri muda.

Daryl punya banyak alasan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diinterogasi kepada dirinya seputar kehidupan percintaannya, "Kawin itu merepotkan."; "Masih banyak yang harus saya pikirkan selain menikah."; "Saya belum siap untuk bertengkar dengan istri saya kelak"; "Saya mau kawin jika sudah pensiun saja."; "Saya mau adopsi anak saja tanpa harus menikah."

Sementara Rafky, yang kata banyak orang adalah sahabatnya, memang menyukai Daryl apa adanya. Ia belum pernah tahu apakah Daryl sama seperti "dirinya" atau tidak. Adakah Daryl memiliki kembaran rasa yang sama seperti yang Rafky pendam selama ini? Meski hingga saat ini Rafky tidak tahu menahu, ia belum pernah mendengarnya langsung dari mulut Daryl sampai saat ini, apakah Daryl gay atau bukan. Rafky tidak pernah keberatan, ia malah senang jika banyak karyawan di kantor Daryl yang curiga hubungan sejenis yang dijalani Daryl dan Rafky selama ini.

Daryl, menurut Rafky, adalah manusia penuh jeda. Ia mampu menghabiskan waktunya setiap akhir pekan hanya untuk berdiam diri, melamun, lalu menyepi. Entah apa yang ada di pikiran Daryl. Seperti biasa Rafky selalu datang ke apartemennya, membawa DVD atau camilan, sampai bahkan tidur bersama. Di saat seperti itu, Rafky berharap suatu malam nanti, entah kapan, Daryl bisa menyentuhnya ketika ia sedang terlelap. Rafky selalu berharap. Lebih tepatnya, hanya bisa berharap.

***

Daryl hanya bisa tersenyum jika ada Rafky di sampingnya. Hanya Rafky yang mampu membuatnya tersenyum di saat Daryl menghabiskan jedanya setiap akhir pekan. Meski cukup sulit bagi Rafky untuk membuat Daryl tersenyum, namun Daryl telah menganggap Rafky sahabatnya (meski Rafky berharap lebih dari seorang sahabat).

Tanpa disadari Rafky telah membuat Daryl menjadi dirinya sendiri. Ia mulai bisa untuk diajak keluar dari sarang per-jeda-annya setiap akhir pekan. Mereka menghabiskan waktu bersama menonton di bioskop, minum kopi luwak favorit mereka, belanja kebutuhan makanan untuk Daryl di apartemennya, masak bersama di apartemen Daryl, wisata akhir tahun ke Bali, Singapura, sampai New Zealand. Sampai Rafky tidak sadari, ia sudah bersama Daryl 24 jam sehari selama hampir tiga bulan.

"Aku senang setiap ada kamu di sini..." terbata-bata Daryl mengucapkannya kepada Rafky pada suatu makan malam hasil acara memasak kolaborasi tadi sore.

Rafky menjatuhkan sendok ke atas piringnya hingga berdenting. Ia terkesiap mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pujaan di seberang mejanya. Sudah lama ia ingin mendengar kalimat itu. Tanpa merasa besar kepala dan besar rasa, ia mengaku dalam hatinya saat ini ia mengalami deja vu. "Aku juga senang... Sangat senang..."

Lamat-lamat pandangan mereka saling menangkap dan menjaga. Ada butiran halus yang seolah masuk ke dalam relung terdalam jiwa Rafky ketika melihat pancaran yang keluar dari mata Daryl.

Malam itu bagi Rafky, apa yang dilakukan Daryl saat itu, lebih dari cukup. Hatinya mencelos bahagia. Rasanya ingin sekali Rafky menembus atap apartemen Daryl saat ini.

***

Daryl melihat wanita itu ketika mereka sedang mengantre di kasir membeli kebutuhan belanja bulanan bersama Rafky. Rafky dan Daryl sudah tinggal bersama di apartemen milik Daryl.

Daryl hanya bisa tertegun sesaat, kemudian menunduk. Wajahnya bermuram durja ketika ia melihat lagi wanita itu untuk kedua kalinya.

Setelah sampai di apartemen, Daryl masih bermuram durja. Rafky kebingungan sendiri untuk sekadar memberi pertanyaan hati-hati kepada Daryl.

"Daryl...." sapa Rafky perlahan. "Ada apa?"

"Rafky, maafkan aku, sebenarnya aku..." katanya pelan sekali seperti menyesal untuk mengucapkannya "Wanita di supermarket tadi adalah mantan istriku. Aku tidak akan pernah sanggup untuk berkata yang sebenarnya pada banyak orang bahwa...," jawabnya lamat-lamat, "aku telah bercerai untuk yang kelima kalinya."

Seperti biasa, selalu ada jeda setiap kali ia menjawab pertanyaan yang sama itu dari setiap kekasih laki-laki yang pernah berhubungan dengannya. Sebelum hatinya hancur berkeping-keping, Rafky buru-buru meninggalkan Daryl tanpa jeda.

Minggu, 27 Februari 2011

Senja

Jingga
Sendu
Sendiri
Aku

Kelabu
Abstrak
Ramai
Kamu

Secangkir teh yang kuhirup
Segelas kopi yang kausesap
Menggambarkanku, menuliskankau
Angkasa

Bersama Senja
Menyimpan rasa ini
Berdua
Kita

Selasa, 15 Februari 2011

(Secangkir) Rindu di Pagi Hari

Di dalam keheningan pagi, aku menyesap kembali secangkir kerinduanku padamu, seperti biasanya, sambil mengingatmu sejenak dua jenak di dalam kedamaian ini. Tanpa perlu usaha aku telah mampu mengingat dengan mudah setiap lekuk di bingkai wajahmu yang terpahat tajam menjadi kesempurnaan. Napasmu selayaknya aroma surga yang tercium setiap kali sehabis hujan. Lenganmu bagai gada yang selalu melindungiku di waktu malam. Tubuhmu bagai tameng yang membantuku bersembunyi dengan mudahnya dalam setiap lekuk-lekuk hangat yang kau kuar sehingga aku merasa aman membenamkan diriku di dalamnya.
Kurasa takdir itu adalah pilihan sahih yang pernah Tuhan buat bagi kita. Setidaknya untuk 6 bulan yang sungguh berarti selama ini, aku pernah mengecap manisnya dicintai dan juga mencintai.
Tahukah kau bahwa aku tidak pernah belajar untuk mencintaimu? Aku tidak tahu apakah untuk mencintaiku kau perlu belajar atau tidak, bagiku itu tidak penting karena cintamu lebih sempurna dari yang pernah kuharapkan sebelumnya. Seperti di dongeng, ya? Baiklah kalau cerita kita seperti di dongeng, aku akan menambahkan sedikit pengakuan lagi sebelum cerita ini berakhir, bahwa untuk melupakanmu aku perlu belajar dengan sungguh-sungguh. Bisa kau lihat kan betapa kontradiksinya aku?
Meski kau dan aku sama-sama berprinsip untuk menjadi diri kita sendiri, terkadang aku ingin sejenak saja menjadi seperti kekasihmu yang saat ini. Oh, jangan... jangan... Lupakan atas nama segala Dewa Dewi yang terdaftar dalam buku mitologi yunani yang pernah kita baca bersama di apartemenmu. Aku harusnya bersyukur. Untuk semua biasa yang biasa kulakukan. Cukup kembali duduk diam di atas kursi yang menghadap taman rumahku di pagi hari, dalam kesunyian ini aku kembali menyesap secangkir kerinduanku padamu. Sayangnya, kau terlalu luar biasa untuk menjadi biasa, Biru.

P.S: Aku telah mencuci bersih cangkirku ke dalam wastafel setiap kali kusesap sebelum berangkat bekerja. Percayalah, aku baik-baik saja.


Kisah lamamu,
Kuning

Kado untuk Penggambar

ada decak kagum
bagi pelukis yang gambarnya
membuatku terbuai dan tersayup setiap kali kupandang
,mungkin

ada detik-detik untuk berpikir
pada setiap gambar yang kau gurat juga kau nikmati
hingga aku mencetak setiap karyamu dalam lembaran kertas
,mungkin

ada harap-harap bahagia
suatu kali penulis dan pelukis berasimilasi
juga berkontemplasi pada suatu karya
,mungkin

ada selamat ulang tahun
pada ucapan yang tertunda
atau (sengaja) terlambat dilakukan untukmu
,tidak mungkin

Untuk,
Dewangga Lidansyah, yang gambarnya selalu membuatku berhenti melakukan aktivitas sejanak dua jenak. Selamat ulang tahun Mr. Aqua-rius.