Kamis, 29 Desember 2011

Resensi Film: Tiga Hari untuk Selamanya

Ambar (Adinia Wirasti) dan Yusuf (Nicholas Saputra) adalah sepasang saudara sepupu yang memulai perjalanan tiga hari ke Jogja karena 'kecelakaan'. Kakak Ambar hendak menikah tiga hari lagi di Jogja. Yusuf disuruh oleh Ibunya Ambar untuk mengantarkan piring dan gelas keramik dengan mengendarai mobil menuju Jogja. Masalahnya, Ibunya Ambar tidak percaya mengirimkan pring dan gelas tersebut dengan menggunakan pesawat, takut jika barang-barang tersebut pecah. Piring dan gelas itu digunakan sebagai tradisi setiap kali ada keluarga yang menikah.

Malam sebelum berangkat ke Jogja, Ambar mengajak Yusuf untuk clubbing, dan jadilah mereka berdua mabuk sehingga terlambat untuk mengejar pesawat. Ambar memutuskan untuk berangkat dengan Yusuf menggunakan mobil. Cerita dimulai ketika mereka berdua melakukan perjalanan darat ini. Dengan Yusuf, seorang pemuda cerdas, sopan, motivatif, malu-malu tapi ingin, ia berjalan dengan Ambar, wanita yang berjiwa bebas, merdeka, impulsif, tetapi dilema dan pesimis terhadap hidup

Layaknya sebuah perjalanan, seringkali kita menemukan jiwa sebenarnya dari rekan perjalanan kita. Demikian pula dengan Yusuf dan Ambar, mereka belajar untuk menerima diri sendiri dan orang lain, mereka belajar caranya brerbagi.

Cerita ini sederhana, tentang bagaimana perbedaan dan keputusan diambil dari hal-hal paling sederhana yang terjadi selama di perjalanan. Perjalanan yang panjang membuat kita menemukan hal-hal yang tidak pernah disadari sebelumnya: tentang menjadi diri sendiri, persahabatan, mengambil keputusan, cinta, harapan, kematian, dan takdir. Cerita ini berjalan, mobil yang berisi Ambar dan Yusuf pun berjalan, demikian pula kehidupan mereka berdua. Ada yang harus dipilih, ada yang harus diputuskan, dan pada akhirnya harus ada yang dijalankan.

Bagi saya, cerita apa pun mengenai perjalanan, ditambah ketika pemikiran seseorang berubah dan mendapatkan inspirasi selama perjalanan adalah film yang bagus bagi saya. Entah mengapa, ketika ada scene film atau video ketika seseorang melihat pemandangan dari dalam kaca mobil selalu membuat saya otomatis menyukainya. Sebut saja Ada apa dengan Cinta?, Sherina, Aku Ada, From Prada to Nada.

Bagian favorit saya ada dua. Yang pertama ketika Ambar menerima pernyataan dari mulut Yusuf bahwa dirinya manja. Yusuf mengatakan bahwa dunia tidak selamanya menuruti kemauan kita. Manusia berbeda. Titik balik pun terjadi, ambar menangis selama di perjalanan dan di pinggir sawah sambil menikmati pemandangan, Ambar meminta maaf pada Yusuf, kemudian mereka berdua belajar untuk menghargai perbedaan.




Yang kedua ketika Ambar, yang bukan orang Katolik, berdoa kepada Bunda Maria di Gua Bunda Maria Sendangsono. Ambar berbicara kepada Bunda Maria layaknya kepada Ibu. Di sana, ia mengeluarkan diri yang sesungguhnya, bahwa wanita kuat seperti Ambar dapat menjadi lemah dan mengadu.


"Gue takut gue bukan apa-apa?"
"Maksudnya?"
"Gue takut gue nggak bisa jadi apa-apa."
"Hidup kan tentang perjuangan lagi, Bar. "




Kategori : Coming of Age
Produksi : Sinemart Picture & Miles Films
Sutradara : Riri Riza
Penulis Skrip : Sinar Ayu Massie
Produser : Mira Lesmana

Minggu, 18 Desember 2011

Resensi Buku: Life Traveler

Saat berwisata, yang paling kita perhatikan mungkin adalah keindahan tempatnya, makanannya, budayanya, dan aura lain yang ditimbulkan dari tempat tersebut. Tapi, pernahkah kita terpikir bila suatu saat nanti bertemu dengan orang-orang dalam perjalanan yang nyatanya dapat membuat kita takjub, tersenyum, mampu memberi suatu hal yang baru di dalam hidup kita? Buku ini merangkum hal tersebut. Windy Ariestanty memaparkan perjalanannya bertemu, mengenal, belajar, berbagi, berpetualang bersama manusia yang ia temui selama perjalanannya. Perjalanannya mengelilingi dunia adalah perjalanan kehidupan, bahwa dunia tidak hanya berkutat di sekitar tempat kita bekerja, belajar, makan, dan hidup. Kadang, kita harus pulang ke tempat yang disebut rumah, dan melalui buku ini saya mendapat perluasan makna kata "rumah", bahwa rumah bukan hanya kata tempat secara leksikal. "Rumah" secara gramatikal yang dimaksud Windy adalah tempat (di mana pun) yang dapat membuat kita merasa pulang.

Membaca buku ini membuat saya teringat akan perjalanan saya sebelum-sebelumnya, bahwa ketika saya hendak pulang ke Jakarta di hari terakhir perjalanan, melihat foto-foto kenangan selama perjalanan, mengingat teman-teman baru yang saya temui di perjalanan, dan terkenang aura dan aroma khas tempat tersebut kadang saya menangis. Saat itu saya merasa bahwa saya harus kembali "pulang" ke "rumah".

Life Traveler menyajikan banyak rumah yang pernah disinggahi Windy Ariestanty. Dari cerita yang dipaparkan kita dapat memilih untuk belajar atau sebagai referensi tempat jika suatu saat hendak pergi ke tempat yang pernah disinggahi Windy. Buku ini, selain memaparkan tentang tempat wisata, cara bepergian, makanan, juga menjelaskan pengalamannya bertemu dengan manusia yang dapat memperkaya jiwa. Baca dan berjalanlah bersama Windy mengarungi perjalanan kehidupan dan bertemu manusia.

I give 5 out of 5 stars :)

Sumber Pustaka
Ariestanty, Windy. 2011. Life Traveler. Jakarta: Gagas Media.