Selasa, 22 April 2014

Jurnal Penulisan #MentoringMoka Keping 2


#MentoringMoka 
Keping 2

            Kamis lalu, saya menghadiri kelas menulis ke-2 bersama Mas Sulak. Saya datang pukul tiga, tepat ketika Mas Sulak baru mengakhiri rapat bersama kawan-kawan redaksinya di kantor Moka. Entah kenapa, kantor penerbit selalu membuat saya bersemangat. Pertama karena tentu ada banyak buku di sana. Kedua, ada banyak manusia yang akan membantu saya “melahirkan” anak-anak saya yang berikutnya. Ketiga, dan ini yang paling penting, ada banyak ilmu yang akan saya peroleh dari orang-orang yang telah lama berjalan di “jalur” yang telah saya pilih ini. Mungkin tidak semua dari mereka berlatar belakang sebagai penulis. Namun, kesamaan membaca buku, berhasrat penuh untuk melahirkan buku-buku terbaik, dan banyaknya pengalaman mereka “merawat” penulis selama proses “persalinan” membuat saya selalu bersemangat untuk melangkahkan kaki ke kantor penerbit.

Kelas Menulis kali ini di sebuah rumah makan 
            Kali ini, saya datang dengan membawa hasil pekerjaan rumah yang diberikan oleh Mas Sulak pada pertemuan pertama. Saya datang membawa plot yang belum final dan masih akan didiskusikan kembali bersama beliau. Begitu masuk ke dalam kantor, Mas Sulak mengajak saya untuk belajar sambil makan siang di sebuah restoran. Mas Sulak memulai dengan menilai plot besar yang telah saya tulis sepanjang empat halaman tersebut. Bagi saya, plot adalah gerbang awal saya menulis. Dari Abang Christian Simamora (yang tidak lain adalah murid Mas Sulak sendiri di Sekolah Menulis Jakarta School) saya diajarkan untuk memulai menulis cerita panjang dengan plot yang matang. Jika Abang bilang tidak pada plot yang saya buat, maka draft tidak akan bisa mulai ditulis. Begitu seterusnya sampai Abang bilang ‘iya’ pada plot saya. Semua logika cerita, karakter, masa lalu tokoh, awal cerita, tengah cerita, sampai akhir cerita semua harus ada dalam sebuah plot. Saya yang waktu itu masih penulis pemula mungkin sebal karena harus ditolak berkali-kali hanya untuk plot berlembar-lembar. Namun, di kemudian hari saya sadar, memang lebih baik plot dimatangkan agar menulis pun lebih efektif dan efisien. Abang pernah berkata begini, “Lebih baik plot direvisi total daripada draft yang sudah ditulis ratusan halaman harus direvisi total.” Sampai saat ini, ajaran Abang tersebut manjur bagi saya sebelum memulis cerita panjang.


            Setelah Mas Sulak membacanya, tidak ada masalah berarti, Mas Sulak setuju untuk memakai plot tersebut untuk mulai ditulis sebagai draft. Pun dengan prolog dan sebagian dari bab pertama saya. Saya kebingungan untuk memberi judul kepada draft ini karena saya seringkali menuliskan judul setelah draft selesai ditulis. Begitu pula dengan Percaya dan Travel in Love. Jadi, mari kita sebut draft ini dengan judul #DraftLDR. Yap, novel ini akan berkisah tentang sepasang muda-mudi yang menjalankan hubungan percintaan jarak jauh. Berbeda dengan novel-novel sebelumnya, novel ini akan menjadi novel eksperimental saya. Ada beberapa hal mengapa saya harus mengambil jalan eksperimental ini. Pertama, saya belum pernah mengalami hubungan percintaan jarak jauh. Maka, prapenulisan novel ini saya mulai dengan mewawancarai dua narasumber tentang banyak hal dalam hubungan percintaan mereka, setting luar negeri, emosional mereka, masalah, dan masih banyak lagi. Kedua, saya akan keluar dari zona nyaman tahap pertama saya. Saya akan mengesampingkan sedikit ego saya di novel ini karena novel ini bergenre romance. Saya pernah bilang bahwa keahlian saya adalah genre coming-of-age. Di novel ini, saya belajar dari buku Hubungan Interpersonal karya Dian Wisnu, psikolog sekaligus dosen mata kuliah Psikologi Sosial di kampus. Saya belajar tentang hubungan sepasang kekasih atau lebih, serta saya belajar juga dari dua narasumber saya. Intinya di dalam novel ini saya banyak belajar. Sebab seperti itulah seharusnya penulis dan bahkan untuk semua profesi lainnya di muka bumi ini: terus belajar.

            Setelah selesai dengan plot, Mas Sulak mengajarkan saya teknik foreshadowing, alur berupa gunung-gunung di dalam cerita, serta twist. Menulis novel panjang membutuhkan tenaga yang besar. Mas Sulak juga tidak pernah bosan untuk mengingatkan agar saya selalu menulis cepat, menulis buruk, tetapi mengedit sebaik-baiknya.

            Jujur saja, saya banyak mencoba cara menulis dengan beberapa kebiasaan baru di novel ini, antara lain adalah observasi dengan meriset dari buku-buku sejenis (oke, ini juga saya lakukan pada dua novel sebelumnya), observasi dengan wawancara narasumber (ini menyenangkan!), melakukan pertanyaan 5W1H pada setiap bab sehingga jawaban-jawabannya akan menjadi sumber cerita (ini menjadi PR saya pada pertemuan ke-2 ini), dan menulis cepat (termasuk di dalamnya membiarkannya menulis buruk, tetapi mengedit sebaik-baiknya). Semua kebiasaan baru itu saya harapkan akan menjadi pembeda yang cukup signifikan di novel ini dan novel-novel berikutnya. Baru dua kali pertemuan dengan Mas Sulak, tetapi saya sudah banyak sekali mendapat pemahaman dan pelajaran baru dalam menulis. Merendahkan hati serendah-rendahnya adalah pelajaran paling penting yang saya ambil dari Mas Sulak. Dengan merendahkan hati, semua pelajaran dapat saya ambil, saya raup semua ilmunya. Kepala yang tegak dan kesombongan hanya akan membuat saya berhenti belajar menjadi lebih baik lagi. 

Senin, 14 April 2014

Jurnal 1 #MentoringMoka



       #MentoringMoka
       Keping 1

            Lama tidak berjumpa untuk menulis di blog ini? Apa kabar? Saya tahu betul kalau blog ini kini penuh dengan sarang laba-laba. Dari beberapa bulan terakhir menjelang tahun 2014 hingga sekarang baru saya “membersihkan” blog ini dari debu dan sarang laba-laba. Ada banyak sekali cerita, pengalaman, dua kali putus hubungan dengan dua orang (boleh kan sambil curhat? :DD), dan juga terlalu banyak tawa dan tangis yang saya lewati selama tidak menulis di blog ini.

            Mulai saat ini saya akan menulis di blog setidaknya dua minggu sekali karena sebuah insiden. Pelaku insiden itu adalah saya sendiri yang mengambil sebuah keputusan yang berdampak pada dua hal: keluar dari kantor dan memutuskan menulis dengan dimentori seseorang yang saya inginkan menjadi mentor menulis saya sejak lama. Daripada terlalu banyak bridging di dalam post ini lebih baik langsung saya ceritakan ya. J

            Hampir semua orang tahu bahwa kita baru merasa kita ternyata menginginkan sesuatu justru ketika kita telah kehilangan hal tersebut, bukan? Demikian halnya dengan saya. Setelah hampir enam bulan bekerja di sebuah stasiun TV swasta, saya menyadari betul bahwa saya merindukan akar kehidupan saya: menulis. Terkadang ketika didera kebosanan yang amat sangat saat sedang brainstorming dengan produser dan kepala departemen, saya malah menulis puisi di buku catatan yang selalu saya bawa ke mana-mana. Alhasil, isi buku itu seimbang antara catatan pekerjaan kantor dan catatan menulis “indah” saya. Bertambahnya waktu, ternyata saya tidak hanya kehilangan waktu menulis, saya juga kehilangan mentor yang selama ini menjadi tempat saya bertanya segala hal tentang penulisan. Ya, seperti yang beberapa orang mungkin tahu, saya kehilangan Christian Simamora, yang biasa dipanggil Abang, tepat ketika saya membaca farewell letter yang beliau kirimkan lewat email. Sebut saya hiperbolis, tetapi seakan dunia runtuh di atas kepala saya. Saya sadar, meski saya bekerja kantoran saat itu, saya tahu suatu saat saya akan kembali menulis. Kehilangan Abang semakin membuat saya kehilangan arah dan pijakan. Kekhawatiran berkecamuk di dalam kepala saya. Siapa yang nanti akan mementori saya? Siapa yang akan menuntun saya? Siapa yang tidak akan segan-segan mengatakan tidak jika ide saya tidak bagus? Siapa yang akan berbagi cerita dengan saya, bergosip tentang penulis, dan juga project saya?

            Ibaratkan satu buku adalah satu tahun. Saya baru mengeluarkan dua buku. Umur saya di dunia penulisan ini baru dua tahun. Jalan saya masih tertatih. Saya masih butuh dituntun sebelum akhirnya nanti saya berjalan, berlari, bahkan berenang ke negeri lain.

            Saya adalah manusia yang percaya kepada tanda, isyarat, firasat, dan apalah namanya itu. Saya percaya sebuah tanda akan menggiring kita kepada tanda lain yang menjadi jalan bagi saya untuk berjalan. Suatu waktu saya membuka Twitter, yang jarang saya buka, lalu di laman Home saya membaca sebuah sayembara yang diadakan oleh Moka Media. Penerbit itu membutuhkan dua orang penulis yang nantinya akan dibimbing oleh Mas Sulak dan Mbak Dyah Rinni. Penulis impulsif ini tidak berpikir dua kali untuk menyia-nyiakan waktu. Mas Sulak, atau yang bernama asli A.S. Laksana adalah salah satu pendiri dari Jakarta School, sebuah kelas menulis yang telah melahirkan beberapa penulis andal seperti Raditya Dika, Windy Ariestanty, Alexander Thian, juga Christian Simamora, yang biasa dipanggil Abang, yang juga mentor saya. Saya siapkan sebuah bab dari novel pertama saya, lalu saya kirimkan ke redaksi Moka. Dua minggu saat pengumuman tiba, saya tidak diterima.

            Keesokan harinya saya menerima sebuah email dari Moka Media. Sebuah surat kontrak #MentoringMoka. Saya kebingungan. Saya buka sosial media, ternyata benar adanya. Moka Media dan juga Mas Sulak ternyata menambah dua siswa baru. Saya dan seorang yang tidak asing namanya di dunia kepenulisan karena menjadi pemenang di Dewan Kesenian Jakarta dan menjadi nominee di Khatulistiwa Literary Award, Dewi Kharisma Michelia, menjadi teman sekelas satu-satunya di kelas menulis bersama Mas Sulak enam bulan ke depan.

            Saya sudah mengatakan kepada Anda kalau saya percaya kepada tanda, isyarat, firasat atau entah apalah namanya itu, bukan? Saya rasa ini adalah sebuah tanda untuk kembali ke akar kehidupan saya. Saya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan penuh waktu saya di stasiun TV swasta tersebut dan mengambil jalan untuk menjadi penulis di bawah bimbingan mentor dari mentor saya. Saya melakukan ini karena saya bukan orang yang pandai melakukan multitasking kepada dua dunia yang saya jalani dalam waktu yang bersamaan. Saya belum pandai membagi waktu, hati, dan pikiran saya kepada dua dunia yang berlawanan. Lebih tepatnya, saya tidak bisa mengabdi kepada tempat yang tidak mampu menghargai saya selayaknya manusia. Menulis adalah penyembuh saya dan saya akan seperti Po, sang Panda, yang akan belajar dari seorang Master Shifu.

            Kesempatan yang Moka Media dan Mas Sulak berikan kepada saya adalah sebuah kesempatan yang saya percaya akan membuat saya berdiri, berjalan, melompat, bahkan berenang ke negeri seberang. Saya akan berlayar ketika kaki ini telah mantap untuk berlayar di atas kapal yang kuat. Sebab ini yang saya yakini: kapal yang diam dalam pelabuhan adalah kapal yang aman, tetapi bukan untuk itu sebuah kapal diciptakan. Saya akan berlayar, terus berlayar….