“Love never felt so
good, Diego.”
Saya pertama mendengar kalimat itu
bukan dari Michael Jackson dan Justin Timberlake. Bukan. Saya pertama
mendengarnya justru dari seorang backpacker asal Prancis bernama Karina Evrard.
Saya pertama kali berkomunikasi dengannya lewat sebuah situs backpacking
hospitality terkenal di dunia, CouchSurfing.
Di Stasiun Senen siang itu, Karina
menelepon saya untuk memastikan seminggu depan saya akan menemuinya di Malang.
Kami akan tinggal dalam satu rumah dengan host kami di Malang. Dalam solo
traveling saya kali ini, saya tidak akan menyangka saya akan menyaksikan cerita
cinta yang begitu indah dan…. tentu saja nyata.
* * *
Passport
sudah di tangan saya, sementara tiket menuju Malaysia sudah di tangan teman
saya. Hari itu saya termangu, hanya menatap nanar passport di tangan saya. Saya ketinggalan pesawat yang telah
terbang membawa tiga orang teman kampus saya.
Bagi saya, tidak perlu waktu lama
untuk bersedih. Perjalanan harus tetap dilanjutkan. Solo traveling bukan masalah karena toh pada akhirnya kegagalan
saya ke Malaysia dan Singapura malah akan membawa saya menemui orang-orang
baru. Hari itu juga saya membuka situs CouchSurfing. Saya menulis post di dalam
forum Jakarta dan melempar topik dengan judul “A Novel Writer Solo Traveling to Jogja, Solo, and Malang. Anyone?”
Tidak butuh waktu lama seorang
CouchSurfing Ambassador dari Jogja yang akrab dipanggil DJ (nama aslinya
Djamaludin) menawarkan rumahnya untuk saya tumpangi. Berturut-turut seorang radio announcer dari Malang juga
menawarkan rumahnya, lalu penulis buku travel dari Solo menawarkan sebuah kamar
hostel yang sudah direkomendasikan oleh penulis Lonely Planet, lalu yang
terakhir seorang wanita asal Prancis turut serta dalam trip saya di Malang.
Sehari beres, saya menyimpan nomor mereka ke dalam ponsel saya. Hari itu juga
saya berangkat ke Stasiun Senen. Packing?
Saya langsung menyambar carrier saya
tanpa perlu packing lagi. Semalam kan saya sudah packing dalam maksud dan tujuan ke Malaysia. J
* * *
Di dalam kereta selama 12 jam menuju
Jogja, saya sadar ini perjalanan pertama saya seorang diri naik kereta ekonomi.
Kebetulan orang-orang yang duduk di samping dan di depan saya sangat ramah
sehingga mereka kadang juga memberi saran saat saya pergi sendirian. Waktu itu
umur saya masih 21 tahun, saya masih kuliah dan jam terbang untuk traveling
masih sangat lowong. Begitu sampai di Jogja, saya sering diajak Mas DJ untuk
makan di tempat-tempat yang belum pernah jarang saya kunjungi. Siangnya saat
Mas DJ pergi bekerja, saya berkeliling kota Jogja dengan sepeda yang dipinjam
oleh Mas DJ. Saya benar-benar merasa bebas. Malamnya saya diajak oleh Mas DJ
dan teman-teman CS Jogja untuk gathering di Raminten, sebuah rumah makan yang
dimiliki oleh seorang waria. Di Raminten itu pula, saya pertama kali janjian
bertemu dengan Karina. Begitu saya menerima pesan teks darinya kalau dia sudah
sampai, saya menemuinya. Ia begitu antusias, memeluk saya dan juga mencium. Pribadinya
begitu hangat. Malam itu kami bercerita tentang apa pun. Sayangnya ia tidak
punya banyak waktu karena sudah janji untuk jalan-jalan malam dengan
teman-teman dari Prancis. Sebelum pulan, ia mengingatkan saya agar tidak lupa
akan trip kami di Malang. Saya mengangguk penuh antusias.
Hari-hari liburan saya sangat
menyenangkan. Tidak hanya di Jogja, tetapi juga di Solo, saya malah ikut kelas
membatik di Kauman dan pergi ke Keraton Solo dan Pasar Antik. Tibalah saya di
Malang. Sehari bersama si radio announcer, esoknya saya pindah ke host yang
baru. Namanya Nurina Evawani, ia sedang cuti dan berlibur di rumah orangtuanya
di Malang. Kebetulan ia menawarkan rumahnya untuk saya tumpangi. Mbak Nuri,
begitu ia sering dipanggil, ternyata juga mendatangkan dua backpacker asal
Jakarta yang kemudian sampai saat ini menjadi teman baik saya, Nova dan
adiknya, Desty. Saya kemudian menanyakan kesediaannya untuk menampung satu
orang lagi. Begitu Mbak Nuri setuju, resmi sudah Karina Evrard tinggal bersama
kami selama tiga hari ke depan. Saya pikir, biasa saja selama ini traveling
bersama bule, tapi tidak dengan Karina. Ia benar-benar berbeda.
* * *
* * *
Nova dan Desty memutuskan pulang
besoknya karena mereka ingin mencapai Bromo dengan menumpang truk pasar. Meski
mereka perempuan berumur 20-an dan yang satu belasan tahun, saya akui mereka
sangat pemberani. Selepas mengantar Nova dan Desty ke depan komplek, saya, Mbak
Nuri, dan Karina memutuskan untuk berjalan kaki sampai alun-alun. Sepanjang
perjalanan, sambil memotret, Karina sesekali memperlihatkan teknik memotret
yang didapatnya dari sang kekasih yang kini tinggal di Prancis. Karina kemudian
menanyakan kepada kami, apakah kami punya pasangan. Saya menggeleng, Mbak Nuri
pun juga menggeleng. Karina tersenyum sambil berkata, “Sooner or later, you
both will find your true love. Until the day you meet him, just be yourself. He
or she will love you unconditionally.”
Saya mengerutkan kening, “True love?
Are they exist?”
“Sebelum bertemu Romain, saya nggak
percaya cinta sejati. Perempuan yang hampir 40 tahun ini sudah berkali-kali
disakiti oleh laki-laki. Kalian tahu, di saat saya tidak ingin menikah dan
selamanya hidup sendiri, seorang laki-laki datang kepada saya dan berjuang
begitu kerasnya untuk meluluhkan hati saya. Bisa bayangkan betapa kerasnya ia
berjuang untuk mendapatkan kepercayaan dari wanita yang hampir memutuskan tidak
ingin berharap lagi kepada cinta?”
Saya dan Mbak Nuri takzim
mendengarkan cerita Karina.
“Hidup kadang mengejutkan kita,
Diego, Nuri.” Karina kini menyesap Americano miliknya, “Kalian bebas tidak
ingin percaya cinta, tidak ingin menikah, tapi ada satu titik ketika hidup
memutar skenario kita dan membuat kita banting stir.”
“Jadi itukah alasan kamu ke sini?”
Mbak Nuri yang biasa selalu tertawa kini serius mendengarkan cerita Karina.
Saya dan Mbak Nuri melenguh
tertahan. Kami berdua terharu mendengar cerita dari Karina.
“Setelah ini kau mau ke mana,
Karina?” tanya saya. “Sampai ujung negara
ini, Diego. Saya baru setengah perjalanan. Saya akan sampai ke Merauke.”
Saya betul-betul malu.Malu karena sempat tidak percaya kepada true love dan tidak jalan-jalan sebanyak Karina mengelilingin Indonesia. Lama setelah itu saya membaca Eat, Play, Leave (Kisah Buke-Bule Bali) dari Jenny Jusuf. Saya tersenyum saat menutup buku tersebut. Saya yakin, teman bukan hanya orang yang bersemayam di negara kita. Saya akan mendapat banyak cerita dari teman di luar negeri. Saya sangat merekomendasikan buku ini bagi siapapun kalian yang ingin terinspirasi cerita dari Jenny Jusuf. Di Goodreads saya telah mereview buku ini. Bisa kalian lihat di sini. https://www.goodreads.com/review/show/1015965126?book_show_action=false It was a good experience reading this book.