 |
Gunung Sikunir, Dieng, 2014 |
Aku tidak akan menanyakan apa kabar
kepadamu terlebih dahulu karena aku yakin kau akan selalu baik-baik saja. Sebab
tanpa perlu kau tahu, aku selalu mendoakan untuk kesehatanmu setiap malam.
Apa saja yang sudah terjadi ke dalam
hidupmu belakangan ini? Apa kabar Ibumu? Apa kabar adikmu? Bagaimana kehidupan
barumu?
Adakah kau memikirkan hal yang sama
tentangku, saat aku memikirkan tentangmu di waktu-waktu tertentu?
Aku selalu mengingat tentangmu saat
kita berdua duduk di atas bukit itu. Memandang lampu rumah penduduk seraya
kunang-kunang yang sedang bersemayam di lembah bukit. Atau ketika aku
mengantarmu ke rumah sakit saat kau tak berdaya setelah semalaman menggigil
karena disentri yang kau derita. Adakah yang lebih menyakitkan selain melihat
orang yang kaucintai menderita? Aku terbangun tengah malam, menggoyang tubuhmu
hanya agar aku tahu bahwa kau masih sadar. Aku keluar dari dalam selimut yang
membungkus kita berdua. Dengan celana pendek dan kaus tipis, aku menggigil kedinginan
di tengah malam dengan kabut pekat dari jendela kamarmu dan udara dingin yang
menusuk. Malam itu sepi, hanya ada suara menggigilmu yang menggugu dan juga
suara tanganku yang sedang sibuk menyobek plastik obat untukmu. Aku berjalan ke
sudut ruangan dan menyeduh segelas teh untukmu. Aku meletakkan gelas dan
sebutir obat demam di atas meja kopi milikmu, kukeluarkan jaket hangat dari
dalam tas milikku dan kubungkus dirimu di dalam sana. Agar kau sehangat berada
di dalam perut Ibu, berteman dengan amnion dan tembuni.
Malam semakin larut. Setelah
mengucapkan terima kasih dengan suara parau kau semakin lelap. Aku berusaha
memelukmu agar kau semakin hangat. Ketika cahaya matahari pagi menepuk lembut wajahku,
tanganmu yang sebesar gada yang biasanya merengkuhku masih membungkus tanganku.
“Kau membaca buku saja dari tadi?”
tanyanya.
“Membaca buku itu seperti bermimpi
dengan mata terbuka,” jawabku. “Kau sendiri selalu saja pergi berpetualang.”
“Berpetualang itu menjadikan kamu
pribadi yang lebih baik lagi. Suatu hari kau harus ikut bersamaku pergi.”
Aku memutar kedua bola mataku dan
melanjutkan bacaanku. Kita berdua tahu, aku tidak terlalu suka berpetualang dan
kau tidak tidak terlalu suka membaca buku.
Pesan ini belum juga sampai
kepadamu. Tentang isi hati yang sudah pasti, tapi belum juga kau tahu. Hanya
sekadar memastikan bahwa rasa yang merelung di dalam ini bukan sekadar teman
baik atau sahabat. Ini perasaan yang rasa-rasanya seperti: 1) Aku ingin menatap
kedua matamu setiap aku membuka mata di pagi hari; 2) Aku ingin menyadari bahwa
kedua tanganmu yang sebesar gada itu masih merengkuh kedua tanganku yang beku;
3) Aku ingin terbangun setiap malam saat kau menggigil dan memberimu segelas
air putih dan sebutir obat; 4) Aku ingin jadi orang pertama di rumah saat kau
pulang bekerja dari kantor (kepalaku akan menyembul dari balik tirai dapur saat
mencuci piring setiap kau berteriak, “Aku pulang….” 5) Aku ingin melihat wajahmu
yang disinari lampu-lampu rumah penduduk di atas bukit kota, sambil mendengar
kau bercerita tentang apapun. Asal itu kau, aku tidak akan bosan mendengarnya.
6) Aku ingin selalu berbeda dan berdebat denganmu. Sebab dengan begitu aku
merasa kepingan puzzle milikku ada
yang melengkapi. Setiap sudut hidupku akan lengkap dengan sudut hidupmu.
Kepada gema-gema di udara tentang pesan
yang belum tersampaikan. Aku tidak ingin kau menemukan surat ini dan menemukan
aku yang menulisnya. Biar saja kau tahu karena memang sudah waktunya kau untuk
tahu. Seperti kita yang saling menemukan di bawah kaki gunung Sikunir saat
festival Dieng beberapa waktu yang lalu tanpa kita harus saling tahu. Sebab kau
tak tahu aku sengaja pergi menyusulmu meski aku tidak suka mendaki gunung hanya
untuk melihat wajahmu.
Kau masih belum juga tahu. Biarkan gema-gema di atas pemukiman penduduk tertinggi di Pulau Jawa ini yang tahu,
yang menyimpan semua perasaanku yang belum juga sampai kepadamu.
Pada saat yang tepat, kau akan
mengetahuinya. Dan mungkin kita tak lagi sama.
P.S:
Aku masih ingat setiap milisekon saat aku dan kau saling bertatapan di kaki
Gunung Sikunir itu. Kau yang terkejut melihatku dengan pakaian lengkap mendaki
gunung dan aku yang terkejut melihatmu membawa buku dengan nama penulis dan
judul buku yang kutulis di dalam genggamanmu.
Senopati, 6 Oktober 2014