Minggu, 08 Mei 2011

Titik Balik


Pengalaman membaca pertama saya dimulai dengan seperangkat boks seri buku binatang yang dibelikan Ibu ketika mengetahui bahwa saya telah lancar membaca pada umur 4 tahun. Kala itu, saya terpesona dengan rangkaian kata-kata indah dipadu dengan ilustrasi gambar yang menarik dan penuh warna-warna lembut bagi anak berumur 4 tahun.
Kecintaan saya pada buku bergambar semakin bertambah ketika Ayah terkadang membelikan saya komik di akhir pekan. Komiknya bermacam-macam, mulai dari komik yang saya senangi hingga komik yang kurang saya senangi. Komik yang saya gemari (bahkan hingga sekarang saya masih menyukainya) adalah Doraemon, Kobochan, Hai, Miko!, sampai Crayon Sinchan. Selain komik yang saya sukai, ada beberapa komik yang rutin dibeli oleh Ayah untuk saya, yang sudah tentu saya sangat lama bagi saya untuk menyelesaikannya, yaitu komik seri pahlawan dunia terbitan Elex Media Komputindo yang menceritakan kisah-kisah Albert Einstein, Isaac Newton, Isadora Duncan, Hellen Keller, Napoleon Bonaparte, dan pahlawan dunia lainnya.
Saya sudah lupa novel (tanpa ilustrasi) apa yang saya baca pertama kali. Yang saya ingat bacaan-bacaan awal saya ketika kecil adalah Charlie and The Chocolate Factory karya Roald Dahl, Ms. Witch (yang saya lupa siapa pengarangnya), dan novel teenlit seperti Vibe.
Masa SMP adalah tahun-tahun keemasan saya dalam membaca. Perpustakaan di sekolah waktu itu cukup lengkap. Saya menyukai berbagai kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Sutardji Chalzoum Bachri, majalah Horison, bahkan saya sempat membaca karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia yang super tebal itu, tapi tidak punya tenaga untuk habis membacanya. Selain itu, masa SMP adalah masa di mana saya menyukai karya populer Sophie Kinsella seperti rangkaian novel Confession of Shopaholic, Meg Cabot: Princess Diaries, dan Julie Anne Peters: Luna.
Saat duduk di kelas 3 SMP, saya mulai terpanggil untuk menulis. Saya mulai mendengar suara-suara yang memanggil saya untuk mengambil pensil lalu mulai menggerakkannya di atas kertas. Kebetulan pada saat itu saya mempunyai beberapa buku catatan kosong yang tidak terpakai untuk saya pakai menulis. Masa-masa itu adalah masa di mana saya begitu bersemangat menulis. Saat itu saya bisa menulis habis 3 buah cerpenpan (cerita pendek panjang) dalam sebuah buku catatan. Biasanya setelah menulis sebuah cerpenpan saya suka memberikannya kepada teman-teman untuk dibaca dan diberi tanggapan. Ketika teman saya mengatakan bahwa karya saya baik, saya semakin semangat untuk menulis cerpenpan lagi.
Entah mengapa ketika SMA saya jarang (bahkan hampir tidak pernah) membaca karya sastra apalagi menulis. Ada sebuah kegiatan lain yang menarik saya untuk ditekuni, Hip Hop. Ya, dance jenis ini saya tekuni selama tiga tahun di SMA yang praktis membuat saya kehilangan waktu dan juga selera untuk menulis. Tapi, di masa-masa itu, saya masih suka mengikuti perkembangan tulisan lewat mading sekolah, bahkan di tahun pertama SMA, saya hampir sempat mengambil ekskul mading. Saya juga masih rutin membeli majalah remaja dan membaca rubrik cerpen di dalamnya.
Akhirnya titik balik semua pengalaman saya itu adalah ketika saya berada di penghujung kelas 3 SMA. Masa ketika saya harus mengambil jenjang yang lebih tinggi lagi di perguruan tinggi. Titik balik itu semakin nyata ketika saya sedang berada di dalam gedung bimbingan belajar tempat saya mempersiapkan diri agar dapat masuk ke universitas yang saya inginkan, saya masih kebingungan untuk mencantumkan pilihan kedua di lembar formulir. Ketika itu, tentor pembimbing saya yang juga guru Bahasa Indonesia di sekolah menyarankan saya untuk mengambil Sastra Indonesia karena belum banyak peminatnya namun berpotensi mendapat banyak pekerjaan selepas lulus dari universitas. Semuanya serasa berputar mulai hari itu, alasan mengapa saya sangat menunggu pelajaran bahasa Indonesia selama saya bersekolah dan yang lebih nyata adalah ketika benar-benar berada pada hari-H pengembalian formulir tes masuk universitas suara-suara itu muncul kembali. Suara-suara yang memanggil saya persis suara yang saya dengar ketika saya SMP, ketika saya melihat jurusan Sastra Indonesia di kolom pilihan itu saya termenung sesaat, lalu dengan sangat mantap saya mengisi pilihan kedua dengan keinginan hati tersebut.
Ketika saya diterima masuk ke dalam jurusan sastra, saya tidak pernah merasa menyesal terhadap pilihan yang saya ambil. Sastra adalah panggilan hati saya, saya menyukai seni, dan terlebih ketika Ibu saya mengatakan bahwa darah seni saya kemungkinan besar berasal dari sahabat Eyang Kakung saya. Ibu Saya, Etty Toersastiti Soegito, nama tengahnya diberikan oleh sahabat Eyang Kakung saya, yang tidak lain adalah Pramoedya Ananta Toer :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar