Selasa, 04 April 2017

I Love Myself & Keep it Low

Dulu, waktu gue sangat belia dan lugu, saat gue baru merasa bisa menyetir, gue selalu senang dengan adrenalin untuk melaju kencang di jalan bebas hambatan. Rasanya begitu menyenangkan dan melegakan. Saat itu, harusnya gue berkarier menjadi pembalap. Namun, kemudian gue sadar, kemampuan gue menyetir belum sejago itu. Seharusnya kemampuan melaju kencang-kencang harus diimbangi dengan kemampuan menyetir yang mumpuni. Alhasil, gue harus rela ketika suatu hari dalam perjalanan pulang ke rumah—dengan kondisi sedikit melamun dan mengantuk—mobil gue menabrak sebuah motor dan juga pengendaranya. Kaca spion pecah, sang pengendara motor berdarah-darah di kaki dan pergelangan tangannya.
           
            Dulu, waktu gue sangat belia dan lugu, saat gue baru merasa bahwa mencintai itu sangat menyenangkan, gue selalu senang dengan antusiasme yang tinggi dan cinta yang meledak-ledak. Saat cinta tidak selalu berbalas, gue selalu percaya bahwa dengan gue berkorban sepenuh hati, suatu hari orang tersebut akan melihat betapa tulusnya gue dalam berjerih payah untuk memperjuangkan dia. Suatu hari hatinya akan tergerak untuk mencintai gue sebesar gue mencintai dia. Sampai suatu hari akhirnya gue “tertabrak” karena “melaju kencang-kencang” dalam perjalanan menuju hatinya.

            Merasa bahwa gue butuh menyembuhkan luka—karena dari saat gue belia dan lugu sampai gue merasa saat ini dewasa dan menuju usia sepertiga abad—gue meminta kepada atasan di kantor untuk mempercepat dinas bulanan ke Bangkok. Sejak tahun 2017, gue belum lagi menginjakkan diri ke kantor gue yang berpusat di negeri Gajah Putih itu. Selalu ada alasan dan rencana busuk di balik permohonan kepada bos gue tersebut. Gue akan mengambil cuti selama satu minggu untuk menyembuhkan luka di Bangkok.

            A long trip might do the trick. Begitu pikir gue saat itu. Ditemani sepupu dan pacarnya, gue menghabiskan liburan di Bangkok yang… ya gitu-gitu aja. Mabuk udah, belanja impulsif udah, makan sampai begah juga udah. Gue pikir, gue cuma sedikit bersenang-senang saja selama di sana. Karena di sudut mana pun gue melangkah, selalu ada wajahnya. Wajah orang yang membuat gue selalu melaju kencang-kencang di jalan menuju hatinya.

            Ketika gue pikir bahwa liburan ini nggak berhasil (yah, party-party lucu, make out with so many strangers, dan belanja barang yang bisa menuhin satu lemari baru cukup membuat gue happy, sih.), di samping jendela pesawat, gue melihat bagaimana sayap pesawat menyentuh lembut gumpalan awan tebal. Gue terpesona sampai nggak sadar bahwa gue sedang melamun. Entah dari mana asalnya, gue merasa sadar bahwa selama ini gue selalu merasa ada di atas garis wajar untuk melakukan sesuatu. Semua yang gue lakukan terlalu tinggi dan terlalu antusias. Nyatanya, semua yang diawali dengan kata “terlalu” nggak pernah baik hasilnya. I have to keep it low cause less is more.

            Seseorang yang pernah menyetir mobil dengan predikat “jago” pasti tahu pada saat yang tepat kapan ia harus melaju kencang dan lambat. Bukan membiarkan dirinya dikuasai adrenalin untuk melaju kencang setiap saat.

            Sama halnya seperti ini: kita nggak bisa mencintai orang lain, kalau kita belum bisa mencintai diri sendiri dan tahu kapan harus menguasai dirinya sendiri dikuasai adrenalin cinta yang meledak-ledak.

Tentu saja dengan mencintai orang lain terlalu dalam sampai kita lupa bahwa diri sendiri sudah lelah dan terluka adalah sebuah indikasi yang jelas bahwa kita belum bisa mencintai diri kita sendiri dengan baik.

Masih memandang gumpalan awan tebal yang terus menerus menyentuh sayap pesawat, gue menempelkan ujung-ujung jari ke jendela yang dingin. Gue tersenyum menyadari bahwa justru dalam perjalanan pulang, gue mendapatkan makna sesungguhnya untuk mencintai diri sendiri dan merendahkan kemampuan untuk melaju kencang yang mana pada akhirnya itu semua akan meledakkan diri gue sendiri.

Gue berjanji untuk mencintai diri gue sendiri. Sampai tulisan ini dipublikasikan, gue masih dalam proses untuk mencintai diri gue sendiri lebih dalam lagi, tapi nggak akan sampai “terlalu”. Cara paling sederhana untuk lebih menghargai diri ini adalah berusaha melupakan seseorang yang pernah kita cintai tersebut dan mulai tanamkan kepada diri sendiri bahwa kita, manusia, sangat berharga dan berhak dicintai oleh orang yang juga kita cintai, sama besarnya.

Gue telah berhenti meminta hati pada orang yang sudah jelas memberikan petunjuk di awal bahwa bukan wajah gue yang ingin dilihatnya setiap dia membuka mata di pagi hari.

Mencintai diri sendiri juga berarti bahwa kita harus berhenti memberi ekspektasi pada orang lain. Mencintai diri sendiri juga berarti bahwa lo akan menerima sebuah take and give yang seimbang dari orang yang lo cintai.

Mungkin seni mencintai diri sendiri ini adalah pelajaran yang baru dan menarik bagi gue di tahun ini. Menarik karena seharusnya gue dan lo dan semua manusia di dunia ini berhak dan wajib menjunjung harga diri setinggi-tingginya.

Jadi, teman-teman (dan kepada gue sendiri), ayo dong, berhentilah meminta hati pada orang lain yang tidak bisa menghargai diri lo.

Karena gue percaya pada suatu hari akan datang seseorang yang mau memberikan dunianya kepada lo, tanpa harus lo minta.

Keep it low!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar