#MentoringMoka
Keping 2
Kamis
lalu, saya menghadiri kelas menulis ke-2 bersama Mas Sulak. Saya datang pukul
tiga, tepat ketika Mas Sulak baru mengakhiri rapat bersama kawan-kawan
redaksinya di kantor Moka. Entah kenapa, kantor penerbit selalu membuat saya
bersemangat. Pertama karena tentu ada banyak buku di sana. Kedua, ada banyak
manusia yang akan membantu saya “melahirkan” anak-anak saya yang berikutnya.
Ketiga, dan ini yang paling penting, ada banyak ilmu yang akan saya peroleh
dari orang-orang yang telah lama berjalan di “jalur” yang telah saya pilih ini.
Mungkin tidak semua dari mereka berlatar belakang sebagai penulis. Namun,
kesamaan membaca buku, berhasrat penuh untuk melahirkan buku-buku terbaik, dan
banyaknya pengalaman mereka “merawat” penulis selama proses “persalinan”
membuat saya selalu bersemangat untuk melangkahkan kaki ke kantor penerbit.
Kelas Menulis kali ini di sebuah rumah makan |
Kali
ini, saya datang dengan membawa hasil pekerjaan rumah yang diberikan oleh Mas
Sulak pada pertemuan pertama. Saya datang membawa plot yang belum final dan
masih akan didiskusikan kembali bersama beliau. Begitu masuk ke dalam kantor,
Mas Sulak mengajak saya untuk belajar sambil makan siang di sebuah restoran.
Mas Sulak memulai dengan menilai plot besar yang telah saya tulis sepanjang
empat halaman tersebut. Bagi saya, plot adalah gerbang awal saya menulis. Dari
Abang Christian Simamora (yang tidak lain adalah murid Mas Sulak sendiri di
Sekolah Menulis Jakarta School) saya diajarkan untuk memulai menulis cerita
panjang dengan plot yang matang. Jika Abang bilang tidak pada plot yang saya
buat, maka draft tidak akan bisa mulai ditulis. Begitu seterusnya sampai Abang
bilang ‘iya’ pada plot saya. Semua logika cerita, karakter, masa lalu tokoh,
awal cerita, tengah cerita, sampai akhir cerita semua harus ada dalam sebuah
plot. Saya yang waktu itu masih penulis pemula mungkin sebal karena harus
ditolak berkali-kali hanya untuk plot berlembar-lembar. Namun, di kemudian hari
saya sadar, memang lebih baik plot dimatangkan agar menulis pun lebih efektif
dan efisien. Abang pernah berkata begini, “Lebih baik plot direvisi total
daripada draft yang sudah ditulis
ratusan halaman harus direvisi total.” Sampai saat ini, ajaran Abang tersebut
manjur bagi saya sebelum memulis cerita panjang.
Setelah
Mas Sulak membacanya, tidak ada masalah berarti, Mas Sulak setuju untuk memakai
plot tersebut untuk mulai ditulis sebagai draft.
Pun dengan prolog dan sebagian dari bab pertama saya. Saya kebingungan untuk
memberi judul kepada draft ini karena
saya seringkali menuliskan judul setelah draft
selesai ditulis. Begitu pula dengan Percaya
dan Travel in Love. Jadi, mari kita
sebut draft ini dengan judul #DraftLDR. Yap, novel ini akan berkisah tentang
sepasang muda-mudi yang menjalankan hubungan percintaan jarak jauh. Berbeda
dengan novel-novel sebelumnya, novel ini akan menjadi novel eksperimental saya.
Ada beberapa hal mengapa saya harus mengambil jalan eksperimental ini. Pertama,
saya belum pernah mengalami hubungan percintaan jarak jauh. Maka, prapenulisan
novel ini saya mulai dengan mewawancarai dua narasumber tentang banyak hal
dalam hubungan percintaan mereka, setting luar negeri, emosional mereka,
masalah, dan masih banyak lagi. Kedua, saya akan keluar dari zona nyaman tahap
pertama saya. Saya akan mengesampingkan sedikit ego saya di novel ini karena
novel ini bergenre romance. Saya
pernah bilang bahwa keahlian saya adalah genre coming-of-age. Di novel ini, saya belajar dari buku Hubungan
Interpersonal karya Dian Wisnu, psikolog sekaligus dosen mata kuliah Psikologi
Sosial di kampus. Saya belajar tentang hubungan sepasang kekasih atau lebih,
serta saya belajar juga dari dua narasumber saya. Intinya di dalam novel ini
saya banyak belajar. Sebab seperti itulah seharusnya penulis dan bahkan untuk
semua profesi lainnya di muka bumi ini: terus belajar.
Setelah
selesai dengan plot, Mas Sulak mengajarkan saya teknik foreshadowing, alur berupa gunung-gunung di dalam cerita, serta twist. Menulis novel panjang membutuhkan
tenaga yang besar. Mas Sulak juga tidak pernah bosan untuk mengingatkan agar
saya selalu menulis cepat, menulis buruk, tetapi mengedit sebaik-baiknya.
Jujur
saja, saya banyak mencoba cara menulis dengan beberapa kebiasaan baru di novel
ini, antara lain adalah observasi dengan meriset dari buku-buku sejenis (oke,
ini juga saya lakukan pada dua novel sebelumnya), observasi dengan wawancara
narasumber (ini menyenangkan!), melakukan pertanyaan 5W1H pada setiap bab
sehingga jawaban-jawabannya akan menjadi sumber cerita (ini menjadi PR saya
pada pertemuan ke-2 ini), dan menulis cepat (termasuk di dalamnya membiarkannya
menulis buruk, tetapi mengedit sebaik-baiknya). Semua kebiasaan baru itu saya
harapkan akan menjadi pembeda yang cukup signifikan di novel ini dan
novel-novel berikutnya. Baru dua kali pertemuan dengan Mas Sulak, tetapi saya
sudah banyak sekali mendapat pemahaman dan pelajaran baru dalam menulis.
Merendahkan hati serendah-rendahnya adalah pelajaran paling penting yang saya
ambil dari Mas Sulak. Dengan merendahkan hati, semua pelajaran dapat saya
ambil, saya raup semua ilmunya. Kepala yang tegak dan kesombongan hanya akan
membuat saya berhenti belajar menjadi lebih baik lagi.
jadi ketampar abis baca tulisan ini. saya juga sedang belajar menulis, sering ketika nulis kemudian males karna buntu, dan akhirnya malah nggak selesai - selesai tulisannya.
BalasHapusjadi keinget dulu pernah sempet menulis novel panjang, udah nulis panjang banget, tapi langsung ke ilang gara-gara cuma nyimpen di flash dan ilang*tear*
BalasHapusthanks untuk postingan ini. terutama wejangan pada baris terakhir. semua akan hancur jika kita mengabaikan itu.
BalasHapus