Selasa, 22 April 2014

Jurnal Penulisan #MentoringMoka Keping 2


#MentoringMoka 
Keping 2

            Kamis lalu, saya menghadiri kelas menulis ke-2 bersama Mas Sulak. Saya datang pukul tiga, tepat ketika Mas Sulak baru mengakhiri rapat bersama kawan-kawan redaksinya di kantor Moka. Entah kenapa, kantor penerbit selalu membuat saya bersemangat. Pertama karena tentu ada banyak buku di sana. Kedua, ada banyak manusia yang akan membantu saya “melahirkan” anak-anak saya yang berikutnya. Ketiga, dan ini yang paling penting, ada banyak ilmu yang akan saya peroleh dari orang-orang yang telah lama berjalan di “jalur” yang telah saya pilih ini. Mungkin tidak semua dari mereka berlatar belakang sebagai penulis. Namun, kesamaan membaca buku, berhasrat penuh untuk melahirkan buku-buku terbaik, dan banyaknya pengalaman mereka “merawat” penulis selama proses “persalinan” membuat saya selalu bersemangat untuk melangkahkan kaki ke kantor penerbit.

Kelas Menulis kali ini di sebuah rumah makan 
            Kali ini, saya datang dengan membawa hasil pekerjaan rumah yang diberikan oleh Mas Sulak pada pertemuan pertama. Saya datang membawa plot yang belum final dan masih akan didiskusikan kembali bersama beliau. Begitu masuk ke dalam kantor, Mas Sulak mengajak saya untuk belajar sambil makan siang di sebuah restoran. Mas Sulak memulai dengan menilai plot besar yang telah saya tulis sepanjang empat halaman tersebut. Bagi saya, plot adalah gerbang awal saya menulis. Dari Abang Christian Simamora (yang tidak lain adalah murid Mas Sulak sendiri di Sekolah Menulis Jakarta School) saya diajarkan untuk memulai menulis cerita panjang dengan plot yang matang. Jika Abang bilang tidak pada plot yang saya buat, maka draft tidak akan bisa mulai ditulis. Begitu seterusnya sampai Abang bilang ‘iya’ pada plot saya. Semua logika cerita, karakter, masa lalu tokoh, awal cerita, tengah cerita, sampai akhir cerita semua harus ada dalam sebuah plot. Saya yang waktu itu masih penulis pemula mungkin sebal karena harus ditolak berkali-kali hanya untuk plot berlembar-lembar. Namun, di kemudian hari saya sadar, memang lebih baik plot dimatangkan agar menulis pun lebih efektif dan efisien. Abang pernah berkata begini, “Lebih baik plot direvisi total daripada draft yang sudah ditulis ratusan halaman harus direvisi total.” Sampai saat ini, ajaran Abang tersebut manjur bagi saya sebelum memulis cerita panjang.


            Setelah Mas Sulak membacanya, tidak ada masalah berarti, Mas Sulak setuju untuk memakai plot tersebut untuk mulai ditulis sebagai draft. Pun dengan prolog dan sebagian dari bab pertama saya. Saya kebingungan untuk memberi judul kepada draft ini karena saya seringkali menuliskan judul setelah draft selesai ditulis. Begitu pula dengan Percaya dan Travel in Love. Jadi, mari kita sebut draft ini dengan judul #DraftLDR. Yap, novel ini akan berkisah tentang sepasang muda-mudi yang menjalankan hubungan percintaan jarak jauh. Berbeda dengan novel-novel sebelumnya, novel ini akan menjadi novel eksperimental saya. Ada beberapa hal mengapa saya harus mengambil jalan eksperimental ini. Pertama, saya belum pernah mengalami hubungan percintaan jarak jauh. Maka, prapenulisan novel ini saya mulai dengan mewawancarai dua narasumber tentang banyak hal dalam hubungan percintaan mereka, setting luar negeri, emosional mereka, masalah, dan masih banyak lagi. Kedua, saya akan keluar dari zona nyaman tahap pertama saya. Saya akan mengesampingkan sedikit ego saya di novel ini karena novel ini bergenre romance. Saya pernah bilang bahwa keahlian saya adalah genre coming-of-age. Di novel ini, saya belajar dari buku Hubungan Interpersonal karya Dian Wisnu, psikolog sekaligus dosen mata kuliah Psikologi Sosial di kampus. Saya belajar tentang hubungan sepasang kekasih atau lebih, serta saya belajar juga dari dua narasumber saya. Intinya di dalam novel ini saya banyak belajar. Sebab seperti itulah seharusnya penulis dan bahkan untuk semua profesi lainnya di muka bumi ini: terus belajar.

            Setelah selesai dengan plot, Mas Sulak mengajarkan saya teknik foreshadowing, alur berupa gunung-gunung di dalam cerita, serta twist. Menulis novel panjang membutuhkan tenaga yang besar. Mas Sulak juga tidak pernah bosan untuk mengingatkan agar saya selalu menulis cepat, menulis buruk, tetapi mengedit sebaik-baiknya.

            Jujur saja, saya banyak mencoba cara menulis dengan beberapa kebiasaan baru di novel ini, antara lain adalah observasi dengan meriset dari buku-buku sejenis (oke, ini juga saya lakukan pada dua novel sebelumnya), observasi dengan wawancara narasumber (ini menyenangkan!), melakukan pertanyaan 5W1H pada setiap bab sehingga jawaban-jawabannya akan menjadi sumber cerita (ini menjadi PR saya pada pertemuan ke-2 ini), dan menulis cepat (termasuk di dalamnya membiarkannya menulis buruk, tetapi mengedit sebaik-baiknya). Semua kebiasaan baru itu saya harapkan akan menjadi pembeda yang cukup signifikan di novel ini dan novel-novel berikutnya. Baru dua kali pertemuan dengan Mas Sulak, tetapi saya sudah banyak sekali mendapat pemahaman dan pelajaran baru dalam menulis. Merendahkan hati serendah-rendahnya adalah pelajaran paling penting yang saya ambil dari Mas Sulak. Dengan merendahkan hati, semua pelajaran dapat saya ambil, saya raup semua ilmunya. Kepala yang tegak dan kesombongan hanya akan membuat saya berhenti belajar menjadi lebih baik lagi. 

Senin, 14 April 2014

Jurnal 1 #MentoringMoka



       #MentoringMoka
       Keping 1

            Lama tidak berjumpa untuk menulis di blog ini? Apa kabar? Saya tahu betul kalau blog ini kini penuh dengan sarang laba-laba. Dari beberapa bulan terakhir menjelang tahun 2014 hingga sekarang baru saya “membersihkan” blog ini dari debu dan sarang laba-laba. Ada banyak sekali cerita, pengalaman, dua kali putus hubungan dengan dua orang (boleh kan sambil curhat? :DD), dan juga terlalu banyak tawa dan tangis yang saya lewati selama tidak menulis di blog ini.

            Mulai saat ini saya akan menulis di blog setidaknya dua minggu sekali karena sebuah insiden. Pelaku insiden itu adalah saya sendiri yang mengambil sebuah keputusan yang berdampak pada dua hal: keluar dari kantor dan memutuskan menulis dengan dimentori seseorang yang saya inginkan menjadi mentor menulis saya sejak lama. Daripada terlalu banyak bridging di dalam post ini lebih baik langsung saya ceritakan ya. J

            Hampir semua orang tahu bahwa kita baru merasa kita ternyata menginginkan sesuatu justru ketika kita telah kehilangan hal tersebut, bukan? Demikian halnya dengan saya. Setelah hampir enam bulan bekerja di sebuah stasiun TV swasta, saya menyadari betul bahwa saya merindukan akar kehidupan saya: menulis. Terkadang ketika didera kebosanan yang amat sangat saat sedang brainstorming dengan produser dan kepala departemen, saya malah menulis puisi di buku catatan yang selalu saya bawa ke mana-mana. Alhasil, isi buku itu seimbang antara catatan pekerjaan kantor dan catatan menulis “indah” saya. Bertambahnya waktu, ternyata saya tidak hanya kehilangan waktu menulis, saya juga kehilangan mentor yang selama ini menjadi tempat saya bertanya segala hal tentang penulisan. Ya, seperti yang beberapa orang mungkin tahu, saya kehilangan Christian Simamora, yang biasa dipanggil Abang, tepat ketika saya membaca farewell letter yang beliau kirimkan lewat email. Sebut saya hiperbolis, tetapi seakan dunia runtuh di atas kepala saya. Saya sadar, meski saya bekerja kantoran saat itu, saya tahu suatu saat saya akan kembali menulis. Kehilangan Abang semakin membuat saya kehilangan arah dan pijakan. Kekhawatiran berkecamuk di dalam kepala saya. Siapa yang nanti akan mementori saya? Siapa yang akan menuntun saya? Siapa yang tidak akan segan-segan mengatakan tidak jika ide saya tidak bagus? Siapa yang akan berbagi cerita dengan saya, bergosip tentang penulis, dan juga project saya?

            Ibaratkan satu buku adalah satu tahun. Saya baru mengeluarkan dua buku. Umur saya di dunia penulisan ini baru dua tahun. Jalan saya masih tertatih. Saya masih butuh dituntun sebelum akhirnya nanti saya berjalan, berlari, bahkan berenang ke negeri lain.

            Saya adalah manusia yang percaya kepada tanda, isyarat, firasat, dan apalah namanya itu. Saya percaya sebuah tanda akan menggiring kita kepada tanda lain yang menjadi jalan bagi saya untuk berjalan. Suatu waktu saya membuka Twitter, yang jarang saya buka, lalu di laman Home saya membaca sebuah sayembara yang diadakan oleh Moka Media. Penerbit itu membutuhkan dua orang penulis yang nantinya akan dibimbing oleh Mas Sulak dan Mbak Dyah Rinni. Penulis impulsif ini tidak berpikir dua kali untuk menyia-nyiakan waktu. Mas Sulak, atau yang bernama asli A.S. Laksana adalah salah satu pendiri dari Jakarta School, sebuah kelas menulis yang telah melahirkan beberapa penulis andal seperti Raditya Dika, Windy Ariestanty, Alexander Thian, juga Christian Simamora, yang biasa dipanggil Abang, yang juga mentor saya. Saya siapkan sebuah bab dari novel pertama saya, lalu saya kirimkan ke redaksi Moka. Dua minggu saat pengumuman tiba, saya tidak diterima.

            Keesokan harinya saya menerima sebuah email dari Moka Media. Sebuah surat kontrak #MentoringMoka. Saya kebingungan. Saya buka sosial media, ternyata benar adanya. Moka Media dan juga Mas Sulak ternyata menambah dua siswa baru. Saya dan seorang yang tidak asing namanya di dunia kepenulisan karena menjadi pemenang di Dewan Kesenian Jakarta dan menjadi nominee di Khatulistiwa Literary Award, Dewi Kharisma Michelia, menjadi teman sekelas satu-satunya di kelas menulis bersama Mas Sulak enam bulan ke depan.

            Saya sudah mengatakan kepada Anda kalau saya percaya kepada tanda, isyarat, firasat atau entah apalah namanya itu, bukan? Saya rasa ini adalah sebuah tanda untuk kembali ke akar kehidupan saya. Saya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan penuh waktu saya di stasiun TV swasta tersebut dan mengambil jalan untuk menjadi penulis di bawah bimbingan mentor dari mentor saya. Saya melakukan ini karena saya bukan orang yang pandai melakukan multitasking kepada dua dunia yang saya jalani dalam waktu yang bersamaan. Saya belum pandai membagi waktu, hati, dan pikiran saya kepada dua dunia yang berlawanan. Lebih tepatnya, saya tidak bisa mengabdi kepada tempat yang tidak mampu menghargai saya selayaknya manusia. Menulis adalah penyembuh saya dan saya akan seperti Po, sang Panda, yang akan belajar dari seorang Master Shifu.

            Kesempatan yang Moka Media dan Mas Sulak berikan kepada saya adalah sebuah kesempatan yang saya percaya akan membuat saya berdiri, berjalan, melompat, bahkan berenang ke negeri seberang. Saya akan berlayar ketika kaki ini telah mantap untuk berlayar di atas kapal yang kuat. Sebab ini yang saya yakini: kapal yang diam dalam pelabuhan adalah kapal yang aman, tetapi bukan untuk itu sebuah kapal diciptakan. Saya akan berlayar, terus berlayar….

Senin, 31 Maret 2014

Surat untuk Mantan


Hai, Kamu, maaf aku harus tulis lewat surat karena akan kepanjangan kalau aku nulis lewat chatting atau SMS. Kamu, semakin besar harusnya aku semakin belajar bagaimana caranya harus menghadapi hidup, bukan? Dan kamu salah satu orang yang membuat aku belajar bagaimana caranya menjadi terus kuat dan "hidup". :)


Entah kamu sadar atau nggak, aku udah 3 tahun 6 bulan hidup tanpa kamu, ketika  akhirnya kita harus saling terpisah dan hidup tanpa hubungan lagi. Ketika akhirnya kamu kuliah di Belanda, lalu kamu pulang lagi ke Jakarta dan semuanya semakin berbeda. Kadang, aku mikir, kenapa ya kita harus banget hidup dalam sebuah hubungan, lalu menggalaukan diri sendiri dan mellow? Jadi, aku baca sebuah artikel yang ditulis Sharmi Shotu kalau sebuah hubungan itu cuma tipuan dunia. Kita percaya bahwa kita telah disatukan dengan orang lain dalam proses ritual atau kata-kata, "Aku suka, jadi kamu mau jadi pacar aku?" lalu orang di depannya mengangguk dan jadian, ketimbang kita harus percaya pada hukum alam yang bilang kalau kita harus menerima dan merengkuh kesendirian kita baru setelah itu kita bisa mengalami cinta sejati. Aneh, ya? Atau aku yang tiba-tiba jadi aneh nulis begini ke kamu? Hehe.

Aku masih sayang sama Kamu, tapi sekarang sama sayangnya seperti aku sayang Mamaku, keponakanku di Duren Sawit, anjing-anjingku di rumah, buku-bukuku di rumah. Aku, pada akhirnya, belajar kalau cinta sejati akhirnya nggak pernah mengenal ikatan atau hierarki. Dan bukan mustahil kalau akhirnya aku cinta sama kamu tanpa merasa kamu harus ada dalam kehidupan aku, Kamu. 

Setelah baca tulisan Mbak Sharmi, aku tahu sekarang aku lega, Kamu. Karena aku ikhlas. Dan kamu, mantan terbaik yang pernah ada dalam hidup aku. Aku yakin masa depan kita berdua cerah. Aku harap suatu saat kita bisa lagi ngopi-ngopi tanpa rasa canngung. Atau lewatin malam bareng lagi di rumah kamu di Pondok Kopi atau di rumahku di Cinere? Atau nyanyi lagu "I Don't Miss Your Water"-nya Craig David dengan sangat soulful di dalam mobil kamu?

Akhirnya, lewat surat ini, aku cuma mau bilang, kalau akhirnya, aku bisa berjalan terus. Tiga tahun enam bulan ini, aku masih terperangkap selalu mikirin kamu dan itu membuat aku nggak bisa terima orang baru yang datang buat aku. Beberapa orang udah berkorban atas keegoisan aku dengan mempersalahkan kamu. Mulai sekarang dan baru sekarang, aku mau lepasin kamu, seperti kamu bisa lepasin aku. Aku lega akhirnya bisa nulis ini. Lega bisa sejujur ini. Kamu, aku bisa move on mulai sekarang. :)



Milikmu dalam Kemurnian,
Diego.


"Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth Bernard Batubara"

Kamis, 19 September 2013

Surat (Cinta) untuk Cinta

Cinere, 1 September 2013


Halo, Cinta Rutatiko, apa kabar? Mungkin lo akan baca surat ini pas lo udah ada di dalam burung besi di ketinggian awan sana menuju Prancis, negara yang lo impikan dari dulu. Beberapa hari yang lalu kita baru aja selebrasi atas kelulusan kita. Gue, lo, Medina, Aisis, Ciki, Joni. Kita travelmates banget nih ceritanya ya hahahaha.

Oh, sebelum gue mulai cerita, please banget, ini formatnya surat dan tolong hilangkan semua unsur-unsur intrinsik sastra dari kepala kita karena sepanjang surat ini gue hanya mau ngobrol sama lo. Jangan ada format makalah 4-4-3-3, atau latar belakang pendahuluan sama batasan penelitian skripsi, apalagi alur-alur konflik di sini. Gue cuma mau ngobrol, Cinta, mau ngobrol.... hahahaha.... *ala-ala jawab Sayur Oyong iya-tidak-bisa jadi Eat Bulaga*

Gue masih inget banget pertama kenal lo di kampus waktu gue lagi ngobrol sama Mio dan lo ada di belakang Mio kayak malu-malu gitu pengin ikutan ngobrol tapi cekikikan aja. Hahahah, gue baru tahu dari mulut lo sendiri kalo lo emang segitunya pengen temenan sama gue hahahaha. Iya-iya, Ta, gue tau lo bakal jitak gue pas baca bagian ini. Itu selalu jadi bagian yang pengin bikin lo muntah, tapi harus lo akui, semua itu penah keluar dari mulut lo, kan? 

Gue nggak ngerti sih dari mana akhirnya kita jadi deket banget, sampe akhirnya gue sering nginep di kosan Mio terus kita sering makan malam di Burjo sama Uti juga, sampe kadang kita udah capek ngobrol dan nggak sengaja ketiduran. Yap, bisa dibilang gue sangat dekat sama anak Perancis 2009 and I love Sastra Perancis 2009. Entahlah bagaimana menggambarkannya, tapi persahabatan kalian amat sangat hidup dan gue cukup iri sama kekeluargaan di jurusan kalian.

Terus yang gue inget lagi adalah kita cukup sering ketemu di Kafkor karena Raja Minyak kita, Aisis, kerjaannya beli kimbab goreng di Kafe Korea hahahaha. Kebetulan anak Kresenbud BEM 2012 sering ngumpul di Kafkor. Lo sama Ari, Fiqrie, Faisal, Ara juga suka ngumpul jadilah kita sering ngobrol. Biar gue rekap ulang, tapi maaf ya kalo salah. Karena sering banyak ngobrol dan sama-sama suka traveling dan kita pernah nggak sengaja ketemu di Bali tahun 2011 karena nginep di hotel yang sama, Balimanik Beach Inn, di daerah Kuta ya hahaha. Nggak lama tahun 2012 awal tercetus deh ide kita buat jalan ke Malang, Surbaya, Madura. Jujur, Ta, perjalanan waktu itu membuat gue yakin kalau lo, Aisis, dan Medina adalah sahabat baru gue. Apalagi dengan insiden gue hampir pingsan di Bromo, black out, hahahaha, sumpah itu kacau banget, tapi unforgetable.

Tapi serius, Ta, traveling kita ke Malang, Surabaya, Sudirman semakin membuat kita... wait? Gue nulis apa tadi, Sudirman? Demi apa Sudirman?! Maksud gue kan Madura.--Yaudah sih tinggal dihapus aja sebenernya drama banget, tapi gue males ngapusnya lagi asik ngetik gimana dong? Yaudah ya lanjut aja.--Traveling kita ke tiga kota itu membuat gue semakin tahu tentang insight, value-value yang ada di dalam kepala lo, dan juga bagaimana lo menghadapi perasaan lo yang pernah hancur. Itu sih inti traveling bagi gue. Karena gue percaya perjalanan sejauh apa pun asal ada partner yang menyenangkan, perjalanan nggak akan terasa jauh. Dan itu berlaku saat gue jalan sama kalian. Oh, I promise I'll keep those secrets thingy safe in mine. I was in your shoes, jadi tenang aja, Dahling. 

Jujur sih, Ta, kesimpulan gue tentang lo saat jalan itu adalah you are great a companion. Bukan backpacker yang menye-menye macam princess. Pun dengan Medina, nggak ada ribet-ribetnya sama sekali. Gue suka sama cewek yang sangat tough. Karena gue anaknya seneng banget menilai orang lain secara cepat, gue bisa menilai bahwa dengan sikap lo yang seperti ini, lo akan jadi orang sukses karena lo juga pekerja keras sesungguhnya.

Pulang dari Bromo, kita jadi punya ritual bertiga sama Medina, kadang Ari sama Ara ikutan juga. Kadang Aisis juga ikut walaupun suka sibuk sendiri. Jumat Curhat, oh, gue kangen banget sama Jumat Curhat kita. Setelah seminggu yang melelahkan habis kuliah dan nulis ngejar deadline dari editor, Jumat Curhat tuh semacam reward buat gue untuk curahin unek-unek. And you're my favorite trash bin hahahaha. Gue bakalan kangen wisata kuliner setiap Jumat sama lo dan nggak akan mulai curhat kalau tempat atau makanannya belum enak hahaha.

Saat nulis ini gue lagi denger lagu Hometown Glory. Sampai di bagian ini jujur gue agak galau. Bahkan mungkin gue akan galau setiap denger lagu yang ada kata-kata "cinta"-nya. Gue inget gue pernah nanya sama lo, "Ta, setiap denger lagu yang ada cinta-cintanya, lo merasa terpanggil nggak, sih?" Dan lo menjawab, "Gue udah kebiasaan karena keseringan, ada orang yang manggil 'cinta' untuk nomina atau 'Cinta' untuk pronomina karena udah kerasa bedanya banget lewat feeling." Mari kita berikan tepuk tangan yang meriah untuk anak Sastra, Saudara-saudara yang terkasih di dalam Tuhan.

Kita punya sahabat, tapi mungkin nggak sebanyak teman dekat, dan teman dekat nggak sebanyak teman-teman yang setiap hari bertemu, apalagi nggak sebanyak teman-teman yang cuma mampir datang dan pergi. Buat gue lo adalah kriteria pertama yang gue sebutkan. Gue pernah berpikir bahwa sebuah persahabatan seharusnya punya jangka waktu yang lama sebelum diputuskan apakah seseorang pantas jadi sahabat kita, tapi semakin beranjak umur, gue sadar hal itu nggak lagi perlu dipikirkan. Lo, Medina, Aisis, dan Ari Dewayanti adalah sahabat baru gue.

At the end, gue mau mengucapkan terima kasih untuk persahabatan kita, untuk Jumat Curhat kita, untuk jalan-jalan ke Malang, Surabaya, Madura kita, untuk curhatan dan ketawa kita tiap malam di Burjo, untuk motivasi yang selalu lo kasih buat gue setiap Jumat Curhat, untuk selalu terima-terima aja setiap gue dan Aisis nge-bully lo, untuk kesabarannya di dalam kereta dari Jakarta-Malang selama 24 jam, dan untuk sifat pemaaf lo yang luar biasa (sebab dari lo, gue belajar untuk memaafkan diri gue sendiri).

Hari ini lo akan pergi ke Prancis, tempat yang kita idam-idamkan untuk ke sana. Gue yakin gue akan ke sana suatu saat. Bahkan kalau bisa Travelmates musti ke sana semua. Terus tiba-tiba gue kebayang sama semuanya tentang kita, Ta. Duduk-duduk di Kafkor ngalor ngidul nungguin gue abisin makanan bekel yang dibuat nyokap gue, kadang lo juga ikut nyemilin. Ah gue baru inget lagi, terus pas lo sama Medina jadi asisten gue pasti lagi taping buat trailer Travel in Love sama Waskitha sama Gea dari pagi sampe malem. Dan lo yang nggak pernah absen dateng semua acara promo gue dari launching sampe talkshow ke perpus sama fakultas. Bentar, Ta, ini lagu Hometown Glory-nya keputer lagi. Berjanjilah lo akan dengar lagu ini setiap lo kangen rumah karena gue semakin kangen sama lo setiap denger ini Adele nyanyi kayak mau nangis. Sialan lo, Del. *ceritanya akrab*

Cinta, saat gue nggak mampu lagi untuk berpisah sama salah satu terbaik gue, gue nggak tahan untuk lepas kacamata gue dan membenamkan wajah gue ke dalam bed cover. Dan gue nangis.
.....
.....
.....
Titik-titik di atas ceritanya jeda lagi nangis. Sebel, nggak? Baiklah Cinta, benar kata Fiqri, sebaiknya gue nggak nangis kalau nanti dadah-dadah sama lo di bandara. Harusnya kita bahagia biar nggak memberatkan lo untuk pergi. You should go. Buat hati dan pikiran lo semakin kaya. Kita sama-sama berjuang ya. Gue yakin suatu saat entah kapan, di masa depan, kita akan ketemu lagi dan masing-masing jadi orang sukses. Cinta Rutatiko, see you at the top. Atas kesediaan Saudara membaca surat perpisahan saya, saya ucapkan terima kasih.



Salam Hormat,

D


Diego Christian

Selasa, 27 Agustus 2013

Life After Campus


Ini bukan graduation speech atau pidato formal semacamnya yang saya ciptakan dengan teliti. Ini hanya thought yang saya buat di tengah malam untuk melepaskan rasa cemas saya.


Saya baru saja melihat album foto wisuda sarjana tahun lalu milik senior saya di sebuah jejaring sosial. Mengagumkan rasanya karena dalam hitungan hari saya akan mengalami hal serupa. Saya kembali melihat pada surat keterangan lulus sementara yang baru saya dapatkan seminggu yang lalu. Ada banyak jalan, juga banyak hal yang harus saya alami sampai akhirnya saya mendapatkan surat tersebut. Jalannya tidak melulu indah dan damai, tapi kadang terjal dan banyak drama. 

Dalam hitungan hari saya akan melepas banyak hal dan meraih hal baru di depan sana. Teman-teman selama empat tahun yang telah membuat saya belajar. Buku-buku yang telah saya baca dan menambah perspektif saya tentang hidup. Tempat-tempat baru di penjuru Indonesia yang saya datangi bersama teman-teman kampus dan para sahabat yang menyukai traveling. Cinta yang berlabuh dan juga akhirnya harus berlayar ke tempat yang tidak pernah kita duga.

Empat tahun, ada banyak cerita yang mengesankan, pun cerita yang mengenaskan. Tak heran saya selalu menulis di buku coretan saya dengan judul halaman, "Tahun 2013 pertama kali saya mengalami..." Menyenangkan saat membaca kembali halaman dalam buku tersebut dan saya telah mengalami untuk pertama kalinya hal-hal tersebut.

Rencana saya mungkin bisa berubah, tapi ini yang hendak saya lakukan sampai setahun ke depan. Saya hanya akan menulis sampai bulan April, melunasi deadline yang kian menumpuk seperti virus di dalam kepala saya. Rencananya saya akan menulis minimal empat buku sampai bulan April. Delapan bulan tanpa hal apapun adalah hal yang cukup untuk dibilang tidak mustahil menyelesaikan empat buku. Selama bulan-bulan tersebut mungkin saya akan mengambil pekerjaan freelance untuk menambah pemasukan saya memasuki dunia yang baru. Di bulan April saya akan mengambil tes masuk pascasasrjana di UI. Sudah jelas dalam pikiran saya, saya yakin mengambil pascasarjana Psikologi di UI.

Dan rencana itu kandas sudah. Itu rencana sebelum saya diterima bekerja di sebuah perusahaan trading sebagai executive consultant. Saya tahu saya harus bekerja untuk beberapa alasan. Salah satunya karena keuangan. Saya juga tidak tahu bagaimana saya akan membagi waktu antara bekerja kantoran dengan menulis. Satu hal yang saya ketahui ketika saya harus dituntut menjadi corporate slave selama beberapa bulan ke depan: saya rindu waktu menulis saya. Benar kata pepatah yang bilang kita baru sadar kita telah benar-benar mencintai sesuatu ketika kita kehilangannya. Dan saya kehilangan waktu-waktu berharga yang pernah saya habiskan bersama aksara.

Saya nggak tahu apakah ini gerbang menuju fase quarter life crisis dalam hidup saya. Anggaplah saya drama, tapi mustahil ada penulis yang hidupnya tidak pernah drama. Mereka semua kan raja dan ratu drama. Yang saya harus lakukan saat ini mungkin mencoba menikmati daripada saya harus menelan pahit-pahit semboyan hidup saya yang selama ini saya pegang teguh...

Life is all about choices. You have to pick one and enjoy.