
Namanya
terdiri dari tiga kata. Sementara orang-orang memanggilnya dengan nama tengah,
aku lebih suka memanggilnya dengan nama depan. Nama pertamanya adalah sebuah
kaum dari bangsa Yahudi. Nama keduanya adalah sebuah suku di Bali. Nama ketiga
tentu saja marga keluarganya.
Dia
membuatku tertawa. Cuma itu yang bisa aku tangkap dari hasil pertemuanku malam
itu. Kurasa itu cukup untuk membuatku ingin bertemunya lagi di suatu hari.
Mungkin ditemani secangkir teh hangat di sore yang dingin dan berhujan
akhir-akhir ini, atau sambil bergelung menikmati tayangan kartun di hari Minggu
pagi.
Saat
hendak berpisah, ia masuk ke dalam taksi sambil mengacungkan jempol kepadaku,
aku tahu bahwa ia telah membuatku menurunkan jangkar hatiku sendiri. Aku tidak
pernah ambil pusing kapan terakhir kali aku melihat kendaraan yang membawa
teman kencanku hilang di ujung sana. Namun, lagi-lagi aku memastikan kendaraan
yang ditumpanginya benar-benar hilang di belokan jalan. Rintik hujan membungkus
malam itu dengan perpisahan yang tak ingin aku lewati.
Ditemani hujan yang masih merintik, aku
kemudian terpaku dan berpikir kalau saja besok pagi aku bisa melihatnya bangun
di sampingku dan menyaksikan matanya membuka dan tersadar bahwa aku adalah
orang pertama yang dilihatnya pagi itu.
Maka, di kepalaku yang penuh dengan
cerita-cerita liar ini mulai punya sebuah rencana untuk membangunkannya esok
pagi dan esoknya lagi.
1.
Esok pagi aku ingin membangunkannya dengan
membuat kopi kesukaannya. Dengan uap yang masih mengepul dari cangkir panas,
aku akan pelan-pelan meletakkannya di nakas di samping ranjangnya. Sesuai
dugaanku, ia akan bangun menghirup aroma kopi yang menepuk lembut hidungnya.
Matanya akan membuka begitu aku menyingkap tirai gorden. Ia akan tersenyum
sambil menepuk lahan kosong di samping ranjangnya. Pelan-pelan aku akan
merangkak naik ke atas ranjang sambil mengambil congkir kopi itu dan kuberikan
kepadanya. Ia tidak langsung menghirup harum kopi miliknya, tapi ia akan
menatap wajahku sesaat lalu langsung mengambil leherku dan membenamkan wajahnya
di sana. Ia menghirup aromaku dulu. Ia malah melupakan kopi miliknya dan sibuk
denganku pagi itu.
2.
Esok paginya lagi aku akan membiarkan
kamar kami tetap gelap. Kamar kami akan selalu gelap seandainya aku tidak
membuka tirai gorden. Cahaya hanya mampu mengintip dari samping gorden jendela
kami. Aku akan mencium-cium wajahnya sampai ia sedikit menggerutu, membuka
matanya, lalu tersenyum dan menarik kepalaku ke atas dadanya. Aku bisa mendengar
jantungnya berdetak. Jantung milikku juga. Ada banyak suara indah di dunia ini:
bunyi lonceng di akhir jam pelajaran kelas, suara terompet di Disney Land,
suara kembang api meledak di akhir tahun, suara tawa bayi, suara lembut dari
mulut ibu yang kau dengar saat kau sakit. Pagi itu aku sadar, ada satu suara
indah di dunia ini yang tidak akan kuleawatkan setiap pagi: suara detak
jantungnya.
3.
Pagi selanjutnya aku punya rencana untuk
memasak sarapan inggris untuknya: sosis, telur mata sapi, krim keju, daging
ayam, dan air jeruk hangat untuknya. Kami akan menghabiskan Minggu pagi untuk
makan di atas ranjang sambil menonton film kartun sepanjang hari. Siangnya kami
akan mandi berdua di bawah pancuran yang sama, memakai baju, dan menuju sebuah
mall untuk makan siang dan mengobrol tentang apapun yang menjadi kesibukan kami
hari ini. Kami akan menghindari kegiatan membosankan seperti belanja bulanan,
menonton film di bioskop, atau membaca buku. Mari singkirkan hal tersebut di
saat kami sedang bosan. Hari ini kami akan melaju menuju sebuah kota dengan
mengendarai mobil. Kami tidak harus tahu ke mana kami pergi, entah itu menuju
laut atau gunung, yang pasti kami hanya ingin lari sejenak dan menghabiskan
akhir pekan ini dengan kejutan yang menyenangkan.
4.
Aku akan terbangun ketika malam hari di
kota yang aku tidak pernah tahu. Ia tidak ada di belakang setir. Ketika aku
keluar dari dalam mobil, suara ombak akan menyapa. Ia telah membuat api unggun
di pantai. Di sampingnya ia telah menyiapkan sebuah kantung tidur berukuran
besar untuk kami berdua bergelung di dalamnya. Matanya masih menatap lautan
sementara angin darat menerbangkan anak-anak rambutnya yang sulit sekali
diatur. Aku akan mengambil tempat untuk duduk di sampingnya, ikut menatap
lautan, ditemani bunga-bunga api yang terbang ke udara dari api unggun di depan
kami.
“Apa yang kamu tunggu selama ini?”
tanyanya, sambil terus menatap ombak yang bergulung.
“Menunggu besok pagi bersama kamu,”
jawabku.
Dia menyunggingkan senyum.
Kami merebahkan badan di dalam kantung
tidur sambil memandang langit malam yang jernih dan bertabur bintang. Tangan
kami terangkat ke udara berusaha menggapai rasi-rasi bintang di atas sana.
“Rasi bintang di atas sana,” aku menunjuk,
“Nggak ada yang kolinear seperti yang kamu tulis di buku kamu.”
Ia hanya menatapku terus menerus.
“Apa?” tanyaku.
Ia hanya menggeleng sambil tersenyum. Lalu
berbisik kepadaku, “Sendiri kita cuma tetesan air, berdua kita adalah lautan.”
Kemudian ia mencium dahiku dan membiarkan badanku rebah di dadanya. Lagi, aku
mendengar suara paling merdu dalam hidupku. Malam ini, aku tenggelam dalam riuh
detak jantungnya.
* * *
5.
Aku dibangunkan suara burung camar, bunyi
ombak bergulung yang lebih besar dari semalam, serta cahaya matahari keemasan
begitu aku membuka mata. Ia masih merangkulku. Dengan mata terpejam, ia
tersenyum, seakan tahu bahwa aku sudah bangun.
“Jangan bangun dulu. Aku masih ingin tidur
di samping kamu.”
Aku memejamkan mataku kembali dan
merangkulnya lebih erat. Ditemani angin laut pagi ini, aku berbisik di telinganya,
“Selamat pagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar